Ada relasi apa sebetulnya antara ukhti-ukhti di Instagram dengan fantasi laki-laki?
“Bahkan dia nyuruh aku buat pakai handsock yang biasa dipakai mbak-mbak cadaran itu, lho!”
“Terus kamu mau?”
“Ya, nggak, dong!”
“Pinterrr.”
Saya dibuat bingung saat kemarin bercakap-cakap dengan kawan perempuan saya. Dia bilang kalau dulu pernah ada laki-laki yang memintanya untuk mengubah penampilannya menjadi lebih “syar’i”. Padahal, kalau dilihat-lihat, kawan saya ini juga sudah menutup aurat dan berpakaian sebagaimana muslimah pada umumnya. Berkerudung, memakai rok, dan baju yang nggak ketat-ketat amat.
Tidak hanya dia, sebelumnya, saya juga mengenal beberapa perempuan yang menjadi korban fenomena ini. Entah dengan sukarela atau tidak, tapi yang pasti, mereka mengubah penampilannya menjadi lebih syar’i atas dorongan pacar laki-lakinya.
Awalnya mereka terlihat biasa saja, memakai pakaian seperti perempuan yang lain. Berkerudung yang nggak lebar-lebar amat, memakai baju dan rok yang sewajarnya. Bahkan sesekali bercelana. Namun, kian hari kian berubah. Baju dan rok yang dahulu sedikit memperlihatkan bentuk tubuhnya, kini berevolusi menjadi gamis panjang dan kerudung yang sangat lebar. Mereka menutup seluruh tubuhnya tanpa menyisakan sedikit ruang bagi orang lain untuk mengenalinya.
Tidak ada jawaban yang memuaskan ketika ditanya tentang alasan mereka mengubah penampilannya. Dulu, asumsi kami bahwa dia terkontaminasi oleh ideologi Islam konservatif. Padahal tidak. Itu hanya salah satu efek dari ego laki-lakinya.
Mungkin bagi sebagian laki-laki, melihat perempuan bercadar, bergamis, dan berkerudung lebar itu sangat indah dan meneduhkan. Rasanya seperti melihat masa depan, bersama calon istri yang romantis, agamis, dan mampu membawa anak-anaknya ke surga.
Saya menebak, laki-laki semacam itu pasti terjebak dan berfantasi dengan romantisme ukhti-ukhti di Instagram. Gambaran perempuan dengan bulu mata yang lentik dan mata yang cantik, dibalut dengan kalimat ciamik ala romantisme percintaan “syariah”.
Belum lagi kalimat-kalimat yang menggambarkan mudahnya meminang perempuan yang cukup hanya dengan hafalan surah. “Mas, sudah sampai mana hafalan surah Ar-Rahman-nya?” Sambil terpancar sebuah foto perempuan berpakaian ala ukhti dan tersenyum manis ke kamera. Gambar-gambar seperti ini tentu akan semakin memuluskan laju fantasi laki-laki.
Melihat itu, laki-laki pasti ingin mendapatkan yang serupa. Dengan membayangkan melamar perempuan berpakaian tertutup rapat dan nantinya bisa diajak terbang ke surga berdua.
Sekilas ini bukan perkara yang mengkhawatirkan. Namun, kalau fantasi ini dibubuhkan dengan power abuse-nya laki-laki, racikan dua bahan itu menjadi masalah yang sangat menggelisahkan.
Masalahnya, kalau laki-laki ini tidak mampu mendapatkan pasangan yang sebelumnya memang sudah bercadar dan berpakaian ala ukhti-ukhti (yang mana ini sangat sulit), mereka akan meminta perempuan seadanya untuk berdandan persis seperti fantasinya. Dan celakanya, ini sudah terjadi. Beberapa perempuan sudah mengubah pakaiannya mengikuti imbauan dan fantasi laki-lakinya. Tentu ini adalah tindakan yang menyebalkan.
Suguhan keelokan ukhti di Instagram menandakan adanya standar kecantikan yang baru. Hal ini membuat fantasi laki-laki menjadi semakin edan nggak ketulungan. Laki-laki menggebu-gebu untuk memiliki perempuan idaman menurut standar Instagram. Mata yang bulat dan bulu mata yang lentik dikombinasikan dengan cadar dan gamis yang begitu menawan. Mereka terbawa oleh Islamisasi seksual yang menggelikan.
Kengerian ini menjadi agak mending ketika tren di Instagram hanya sebatas perempuan berpakaian ukhti-ukhti. Bagaimana kalau berubah, dan muncul tren baru yang menggambarkan betapa cantik dan indahnya perempuan yang memakai baju renang? Bisa jadi laki-laki akan mendesak pasangannya untuk memakai baju renang setiap saat.
Kalau standar kecantikan perempuan terus melekat dengan dominasi media sosial, dengan rumus yang sama hal ini juga bisa berlaku sebaliknya. Baik laki-laki atau perempuan, intervensi terhadap ekspresi diri itu sangat menjengkelkan. Keduanya kerap didikte dengan sikap dan pakaian tertentu untuk diikuti, supaya mereka mencapai level menjadi laki-laki atau perempuan idaman.
Memangnya laki-laki juga mau kalau disuruh untuk mengubah penampilannya demi perempuan? Memanjangkan jenggot, memotong celana supaya cingkrang, dan menghitamkan kening, misalnya?
Saya jamin laki-laki tidak akan mudah menerima itu. Kalau memanjangkan jenggot dan mencingkrangkan celana sepertinya masih bisa diusahakan. Bagaimana dengan menghitamkan kening? Saya nggak kebayang kalau laki-laki setiap kali salat harus membentur-benturkan keningnya ke lantai tanpa menggunakan sajadah. Sangat menyakitkan.
Mengintervensi perempuan dalam hal pakaian adalah tindakan yang menjijikkan. Hal ini memperlihatkan bahwa kita tidak siap menerima pasangan dengan sukarela. Memaksa pasangan untuk berpakaian ala ukhti-ukhti itu sama dengan memisahkan diri perempuan itu dari tubuhnya sendiri. Tindakan tersebut tentu tidak bisa dibenarkan. Apa pun alasannya.
Terakhir, menyuruh perempuan untuk bergamis juga harus modal, dong! Jangan kira harga gamis itu murah. Kalau mau sedikit agak elegan, mbok ya gamisnya dibelikan. Entah bakal dipakai atau tidak, itu urusan belakangan. Selain itu, tahu diri dan bersyukur itu juga penting. Kalau Anda masih suka pakai celana bahan dan sepatu futsal, jangankan perempuan idaman, tidak mendapatkan hinaan saja itu sudah lumayan.
BACA JUGA 4 Tipe Akhi yang Wajib Ukhti Ketahui dan tulisan Muhammad Farih Fanani lainnya.