Ketika saya baca artikel “Keunggulan UIN Dibanding Perguruan Tinggi Negeri Lain, Biaya Kuliah Lebih Terjangkau Salah Satunya”, saya merasa sel-sel cringe dalam diri saya bereaksi. Ya gimana, tulisan tersebut adalah adalah tulisan memuji UIN yang paling nggak masuk akal. Bagaimana bisa UIN jadi lebih baik dibandingkan kampus-kampus negeri lain? Sedangkan dari segi fasilitas, lokasi, prestasi, bahkan sampai UKT saja mahal. Aneh-aneh saja.
Saya sampai punya pendapat mbaknya ini mahasiswa baru ya, makanya bisa ngomong kayak di atas. Jangan-jangan, malah nggak pernah ngobrol sama alumni kampusnya, atau cuman kuliah lalu pulang, makanya bisa bilang UIN itu lebih baik dari kampus negeri macam UI, ITB, UGM dan lain sebagainya.
Faktanya, dan ini nggak boleh dimungkiri lagi, UIN itu nggak lebih bagus dari mereka. Jadi nggak usah dibikin seakan lebih bagus. Selevel aja belum tentu.
Daftar Isi
Kurikulum fokus Keislaman? Nanggung!
Memang namanya ada Islamnya, tapi UIN itu hanya kampus negeri yang memasukkan nilai keislaman dengan nanggung, Mbak. Nggak banyak, tapi nggak dikit. Tetapi, nggak bisa dibilang Islami juga. Kok bisa? Ya, mata kuliah yang berbau Islam paling hanya beberapa doang. Cuman jadi mata kuliah wajib. Sisanya? Belajar disiplin masing-masing. Berlebihan rasanya kalau segitu dibilang kurikulum Islami.
Menghafal juz 30? Itu mah bukan Islami, tapi bare minimum, Mbak. Cuma, karena ini akhir zaman, jadinya menghafal juz terakhir itu jadi wah sekali. Terus mengenal agama lebih baik? Itu mah balik ke individu masing-masing. Kampus mah juga bodo amatan. Kecuali mahasiswanya masuk ma’had aly yang disediakan kampus, baru tuh diperhatikan agamanya. Kalau yang ngekos? Boro-boro.
Gaul makanya, anak UIN juga sama saja kayak anak kampus lain.
Kalau mau yang Islami mah jangan masuk UIN, masuk pesantren sekalian. Dari mulai bangun sampai tidur, isinya cuma ibadah saja. Itu baru Islami.
UKT UIN Murah? MURAH?
UKT UIN mana murah? Iya murah, tapi pas dulu saya baru masuk, sekitar tahun 2015 sampai 2017 itu masih murah. Kenapa murah? Karena belum pakai sistem UKT. Saat saya masuk dulu, bayar uang semester itu cuman kisaran sejutaan doang. Di fakultas saya rata. Mau itu jurusan yang agama, sampai jurusan yang umum. Sejarah Peradaban Islam dan Sastra Inggris itu sama bayarannya, bayangin.
Kalau sekarang? Murah dari mana. Sejak pakai sistem UKT, golongan di atas golongan 1 saja itu naiknya hampir 100%, Bos. Kalau murah itu, naiknya nggak sampai segitu. Lagian, yang dapat golongan 1 itu nggak seberapa banyak. Bahkan, UKT di UIN saja nggak bisa dicicil, loh.
Fasilitas UIN nggak seberapa, harus bayar pula
Saat saya dulu masih mahasiswa dan di himpunan, meminjam fasilitas kampus itu nggak bayar. Seperti student center, kalau mau mengadakan acara di sana itu gratis buat mahasiswa. Sekarang? Mahasiswa pun harus bayar. Memang sih, ada harga “khusus” buat pembeda antara umum dan mahasiswa. Tapi, masa tetap harus bayar sampai sejutaan? Yang bener aje.
Student Center UIN nggak bagus-bagus amat, banyak kursi rusaknya, bahkan kamar mandi dan toiletnya aja sering bau. Segitu kudu bayar. Mending dibagusin dulu standarnya, dirapikan dulu sampai bisa dikatakan nyaman. Kampus nggak bisa mengelola dengan baik, beban biaya pemeliharaan malah dari bayar sewa dari mahasiswa.
Banyak jalur masuk jadi standar lebih baik? Aneh banget
Alasan mengapa UIN banyak jalur masuknya, ya, karena kampusnya di bawah instansi kementerian lain. Tidak seperti UI, ITB, UGM dan kampus lainnya yang di bawah Kemendikbud. UIN di bawah Kemenag, jadinya punya jalur tambahan. Banyak masuk jalur kok dibilang jadi lebih baik, aneh sekali.
Kenapa persepsinya nggak diubah. Kenapa nggak mikir, kalau banyak jalur masuk itu tandanya emang kampusnya bukan favorit, jadi buka banyak jalur masuk biar orang bisa jadiin UIN pilihan alternatif. Karena saat kampus impiannya habis jalur masuknya, UIN ternyata masih ada jalur lain yang belum habis, nih.
Tidak usah pakai kata-kata naif dengan bilang kualitas pendidikan itu tergantung dari individu masing-masing, karena sistem pendidikan memang sangat berpengaruh, coy. Kalau sistem itu bagus, orang-orang di dalamnya juga otomatis bagus. Kalau sistem pendidikan dan fasilitasnya jelek, masa yang didorong kemampuan individu sendiri.
Lagian, yang bagus di tengah sistem jelek itu seberapa banyak, sih? Nggak banyak, kocak.
Penulis: Nasrulloh Alif Suherman
Editor: Rizky Prasetya