Sumpah, gue nggak bermaksud menakut-nakuti kalian para maba yang baru saja lolos seleksi. Selamat, serius. Kalian hebat. Tapi, izinkan gue sebagai kating yang sisa hidupnya habis di jalanan AH Nasution ini memberikan sedikit disclaimer biar kalian nggak kaget-kaget amat kuliah di UIN Bandung.
Gini ya. Di brosur atau imajinasi liar kalian, kuliah di Bandung itu pasti visualnya estetik. Udara dingin menusuk tulang, jalanan Braga yang basah sisa hujan, outfit lapisan tiga kayak mau winter di Eropa, terus ngopi cantik di Dago Atas sambil bahas eksistensialisme. Indah banget, kayak FTV SCTV 10 pagi.
Tapi, begitu takdir melempar kalian ke Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati alias UIN Bandung, ya bubar jalan itu semua. Mari kita bicara jujur dari hati ke hati bahwa UIN Bandung itu bukan di Bandung. Itu di Cibiru. Itu aja dulu.
UIN Bandung nggak di Bandung
Buat yang belum tahu, Cibiru itu adalah sebuah glitch dalam simulasi Kota Bandung. Sama warga lokal, sini biasanya disebut DISKOTIK (Di Sisi Kota Saeutik). Memang, secara KTP, masuk Kota Bandung. Tapi secara vibes? Cibiru lebih mirip perbatasan Meksiko di film “Sicario”. Panas, berdebu, dan hukum rimba berlaku di aspalnya.
Elo nggak akan menemukan vibes Dilan yang nanyain cita-cita kamu dengan lembut. Yang ada suara sopir angkot Cileunyi-Cicadas yang teriak, GESER NENG! MASIH MUAT DUA PANTAT LAGI! padahal di dalam udah kayak ikan sarden dipresto.
Neraka bernama bundaran Cibiru
Kalau kota punya Gedung Sate sebagai ikon, UIN Bandung punya Bundaran Cibiru. Ini bukan sekadar bundaran, tapi kawah candradimuka. Tempat di mana kesabaran, keimanan, dan skill berkendara diuji sampai titik darah penghabisan.
Pagi hari di Bundaran Cibiru itu ibarat simulasi “Mad Max”. Motor dari arah Rancaekek dan Cileunyi menyerbu kayak Orc di “Lord of the Rings”. Truk-truk kontainer segede Gaban melenggang santai di jalur kanan, sementara angkot ngetem seenak udel di belokan.
Gue pernah berangkat kuliah wangi dengan gaya kalcer lengkap. Sampai kampus? Muka gue abu-abu, Bro. Rambut lepek kena asap knalpot bus Damri. Outfit anak UIN Bandung yang paling valid itu bukan coat tebal, tapi jaket parasut anti-angin plus masker medis dua lapis. Kalau perlu pakai kacamata las biar mata nggak kelilipan pasir.
Dingin? Apa itu dingin?
Bandung, kan, dingin, Kak?
Hahaha. Ketawain aja 1374526 kali.
Cibiru dan sekitarnya (Cipadung, Manisi, Panyileukan) itu punya mikroklimat sendiri. Kalau Dago lagi hujan romantis, Cibiru itu panasnya bisa bikin aspal meleleh. Matahari di sini rasanya ada tiga, dan semuanya nyorot langsung ke ubun-ubun pas elo lagi jalan kaki dari gerbang depan ke Gedung Syarkum.
Makanya, jangan heran kalau lihat mahasiswa UIN Bandung outfit-nya agak ajaib. Atasnya pakai hoodie tebal (demi gaya), bawahnya celana bahan cingkrang, tapi mukanya banjir keringat. Itu bukan tren fashion, itu bentuk penyiksaan diri demi validasi sosial “Anak Bandung”.
Kosan murah anak UIN Bandung
Tapi ya, nggak adil kalau gue cuma sambat doang. Ada satu hal yang bikin UIN Bandung itu ngangenin. Yap, harga kosan yang masih masuk akal buat sobat misqueen.
Di mana lagi elo bisa nemu kosan di gang sempit Cipadung yang harganya masih ramah di kantong mahasiswa bidikmisi? Atau makan di warteg sekitaran Manisi yang porsinya brutal banget? Dengan modal ceban (10 ribu), elo udah bisa kenyang bego.
Terus kulturnya itu lho. UIN Bandung itu melting pot yang aneh. Elo bakal nemu mas-mas gondrong pake kaos band metal lagi diskusi fiqih muamalah sama mbak-mbak bercadar di selasar masjid.
Elo bakal lihat anak Sastra Inggris yang gayanya British banget makan seblak pedas level setan di pinggir jalan. Dan nggak ketinggalan anak-anak kalcer pake sepatu garis tiga sama celana jeans sobek di dengkul.
Plus ada percampuran antara kesalehan ritual dan kebangsat-an tongkrongan anak UIN Bandung yang menyatu secara harmonis. Paginya setor hafalan Quran, malamnya push rank sambil misuh-misuh di warkop. Seimbang. Yin dan Yang kearifan lokal.
Pesan Moral (kalau ada aja)
Jadi, buat kalian yang sudah terlanjur nyemplung di UIN Bandung, nikmatin aja. Lupakan mimpi jadi Milea atau Dilan. Di sini kalian dididik jadi survivor.
Mental kalian bakal ditempa jadi sekeras batu kali. Kalau kalian bisa lulus tepat waktu dengan kondisi harus menembus macetnya Soekarno-Hatta atau Cibiru tiap pagi, percayalah, tantangan hidup apa aja setelah wisuda bakal terasa enteng.
Dan ingat, kalau ditanya orang Jakarta kuliah di mana, jawab aja dengan pede di Bandung Timur. Biar misterius dikit. Nggak usah jelasin kalau Timur-nya itu udah mepet Sumedang.
Dah ah, mau ngerjain skripsi dulu. Dosen pembimbing gue susah ditemui. Ngalahin hilal.
Penulis: Indra Mulyana
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Nama Resmi UIN Memang Terlalu Sulit untuk Dihapal
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
