Ada satu hal yang lumayan menyebalkan jika saya pulang ke kampung, yaitu tidak semua tempat makan/belanja menyediakan QRIS. Bukannya saya pemuja cashless, tapi ada satu hal yang benar-benar bikin saya males ambil uang, yaitu males bayar tukang parkir ATM.
Silakan anggap saya pelit atau kere, ora urusan karo dapuranmu, tapi saya nggak ada seneng-senengnya bayar tukang parkir di ATM. Modal ngomong kiri-kiri, berdiri sambil megangin tongkat, 2 ribu didapat. Enak tenan uripmu.
Sori kalau saya terkesan nggak ada empati bilang begitu enak hidup mereka. Sebab, untuk pengalaman saya pribadi, ancen enak nyawang kerjane mereka. Saya nata motor sendiri, keluarin motor sendiri, nyebrang sendiri. Terus fungsinya tukang parkir tuh apa aku tanya?
Kalau mereka nggak ada sumbangsihnya, uang 2 ribu yang saya keluarkan itu buat apa? Apa bedanya sama semacam upeti karena pake ATM di bank tersebut?
Padahal ya, nggak ada bank yang cukup goblok narik tarif nasabah untuk ambil uang di ATM mereka. Lalu apa fungsi tukang parkir ATM? Opo?
Ra ono kan? Ancen. Gimana nggak misuh-misuh wis.
Susahnya jadi kelas menengah
Sekarang isu daya beli masyarakat menurun sedang gencar-gencarnya. Saya pun mengalami ini. Meski keuangan saya tidak menurun, tapi saya jadi hati-hati membelanjakan uang karena apa-apa naik drastis. Pokoknya setelah pengeluaran pokok semacam KPR dan listrik sudah terbayar, tahan uangnya. Agak mengerikan untuk belanja di masa sekarang.
Inilah yang bikin saya makin mangkel dengan tukang parkir. Yo pie maneh, sekarang saya terpaksa mengambil uang tak berani sebanyak biasanya karena ingin menjaga keuangan, tapi tetep wae harus menyiapkan uang untuk membayar jasa mereka yang—ngapunten—nggak ada gunanya untuk saya.
Oke, pancen hanya dua ribu rupiah yang saya keluarkan saat ambil duit di ATM. Masalahnya, tetap saja saya harus bayar tukang parkir lain saat, katakanlah mampir beli lauk. Lha ini nggateli, mosok kabeh-kabeh diparkiri. Lha punya legitimasi apa mereka ini kok menarik parkir di tiap sudut kota?
Jadi kaum menengah itu benar-benar berat. Salah sedikit, terpeleset ke jurang kaum miskin. Boros sedikit, tak punya cadangan menghadapi hari. Harga barang naik dikit, susah untuk terbeli. Lagi naruh pantat di jok, udah disemprit tukang parkir. Gatheeeeeeeeeeel.
Baca halaman selanjutnya
Nggak mau bikin tukang parkir makin kaya
2 ribu nggak bikin saya miskin, tapi tukang parkir jadi makin kaya
Beberapa kali saya ngakali tukang parkir ATM dengan membayar pakai uang besar. Tentu itu berhasil. Tapi beberapa kali kemudian, saya dibalas dengan sengak dan menaikkan nadanya. Tentu itu bikin saya mendidih, punya hak apa dia menaikkan nada bicaranya pada saya?
Tapi saya hanya bisa menahan diri. Ada anak istri yang saya bawa. Dan itu mungkin yang dirasakan banyak orang. Banyak orang memilih untuk menitipkan sumpah serapah pada uang 2 ribu yang mereka berikan karena malas ribut. Malas berurusan dengan orang-orang yang jelas tak perlu dianggap keberadaannya. Tak sedikit konflik terjadi gara-gara orang menolak bayar parkir, bahkan di tempat yang harusnya bebas parkir, macam Indomaret yang sudah membayar retribusi parkir pada pemda.
Sedikit cerita, saya juga pernah kena hal serupa. Saya nolak bayar karena jelas-jelas di minimarket tertera parkir gratis. Ban motor saya ditendang, padahal posisi saya sedang di atas motor. pengin saya pisuhi, tapi takut diminta serlok, diajak ngopi. Yo terima bali aku. Cok, mosok tuku rokok dadi geger, goblok.
Makin hari, keresahan saya pada tukang parkir, terlebih tukang parkir ATM, makin memuncak. Saya tak ikhlas harus membayar jasa yang bahkan tak saya rasakan sama sekali. Mungkin kalian anggap saya berlebihan, 2 ribu memang tak bikin saya miskin. Tapi, mungkin baiknya kalian tak bertanya saya, tapi pada usaha-usaha yang jadi sepi karena ulah tukang parkir.
Amarah dan sumpah serapah mereka, jelas lebih tajam ketimbang belati-belati yang terasah.
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya