Tukang Ojek Bercadar: Progresif atau Salah Kaprah?

Tukang Ojek Bercadar: Progresif atau Salah Kaprah?

Tukang Ojek Bercadar: Progresif atau Salah Kaprah?

Ada seorang perempuan bercadar yang jadi tukang ojek yang jadi berita di media online, serta jadi perbincangan di media sosial. Unik? Iya. Janggal? Bisa jadi.

Bagaimana kita harus memahami kejadian seperti itu? Apakah ini bisa disebut tanda bahwa ajaran Islam itu ramah terhadap perempuan, serta memberi ruang kebebasan yang luas kepada mereka? Atau, ini semata soal salah kaprah saja? Sebenarnya apa sih cadar itu? Kenapa seorang perempuan muslimah memakai cadar?

Kalau kita cari dalil-dalil yang secara tegas menyatakan kewajiban memakai cadar bagi perempuan, jawabannya: tidak ada. Yang ada adalah dalil-dalil yang ditafsirkan menjadi anjuran atau kewajiban memakai cadar bagi perempuan. Salah satunya adalah hadis yang cukup masyhur dalam pembahasan soal pakaian perempuan.

Diriwayatkan bahwa Nabi melihat Asma puteri Abu Bakar yang memakai baju tipis, kemudian beliau menegurnya. “Kalau perempuan sudah dewasa tidaklah pantas dilihat tubuhnya kecuali ini dan ini.” Ketika mengatakan hal itu, Nabi menunjuk muka dan telapak tangannya.

Itu menurut versi sebagian besar ulama. Berdasarkan hal itu maka disimpulkan bahwa aurat perempuan adalah seluruh tubuh, kecuali muka dan telapak tangan. Tapi ada versi lain yang mengatakan bahwa yang ditunjuk oleh Nabi itu adalah telapak tangan dan mata. Artinya, yang boleh terlihat hanyalah telapak tangan dan mata. Karena itu muka perempuan harus ditutup dengan cadar.

Kalau kita tanya kepada para perempuan yang berjilbab soal motif mereka pakai jilbab, jawabannya tentu saja untuk menutup aurat, sebagaimana diperintahkan oleh Nabi, yang kemudian jadi ajaran Islam tadi. Kita sampingkan saja orang-orang yang memakai jilbab karena tekanan sosial atau mengikuti mode saja.

Saya sering usil mempermasalahkan “kesahihan” alasan itu. Dalam pengamatan saya, tidak semua perempuan berjilbab itu menutup aurat. Lho, kok? Benar, kenyataannya begitu. Banyak yang berjilbab, tapi yang masih terlihat lebih dari muka dan telapak tangan. Banyak yang terlihat lengan dan betisnya.

Kalau mau dipelajari lebih teliti, sebenarnya tuntutan soal pakaian ini tidak berhenti sampai di situ. Para ulama sepakat bahwa pakaian bukan sekadar menutupi kulit, tapi juga untuk menyamarkan bentuk tubuh perempuan. Jilbab sebenarnya bukan kain penutup kepala atau rambut. Jilbab adalah satu set pakaian longgar, yang menutupi tubuh perempuan dari kepala hingga kaki. Jilbab itu salah satu poin penting saat memakainya adalah menutupi buah dada perempuan agar tak tampak menonjol.

Nah, kalau dilihat dalam kaca mata yang lebih teliti itu, makin banyak perempuan berjilbab yang sebenarnya tak memenuhi syarat sesuai tujuan awal yang disebut tadi, yaitu menutup aurat. Aurat bukan sekadar soal kulit terlihat atau tidak. Tapi lebih ke soal apakah sosok molek perempuan itu terlihat atau tidak.

Berbasis pada prinsip ini saya merasa heran ketika ada tuntutan agar perempuan anggota Polri dan TNI diizinkan berjilbab. Tuntutan ini kemudian dikabulkan. Kalau dinilai dalam kaca mata pendapat ulama yang saya sebut tadi, pakaian seragam berjilbab bagi anggota Polri dan TNI tadi tidak memenuhi syarat.

Masalahnya sebenarnya tidak berhenti sampai di situ saja. Maksudnya, tidak berhenti sampai di soal pakaian saja. Kalau memakai jilbab dimaksudkan untuk menjalankan syariat Islam secara menyeluruh, alias kaffah, pertanyaan berikutnya adalah, apakah menjadi tantara, polisi, tukang ojek, dan sebagainya itu dapat dibenarkan menurut syariat Islam?

Tentu saja akan ada banyak pendapat. Tapi kita perlu memberi garis bawah, bahwa yang sedang kita bahas adalah pendapat konservatif, bukan pendapat liberal. Pendapat bahwa perempuan wajib memakai jilbab itu adalah pendapat konservatif.

Sebenarnya pendapat itu satu paket dengan aturan di urusan lain, yaitu bahwa perempuan dan laki-laki tidak boleh bercampur. Juga bahwa perempuan seharusnya tidak boleh banyak-banyak keluar rumah. Perempuan tidak boleh bepergian jauh dari rumah. Mencari nafkah bukan tugas mereka. Apalagi bekerja pada pekerjaan laki-laki seperti menjadi tantara, polisi, sopir, tukang bangunan, dan tukang ojek.

Artinya, soal yang harus lebih dahulu dipertanyakan sebenarnya bukan pakaian apa yang sepatutnya dipakai perempuan dalam bekerja sebagai polisi, tantara, atau tukang ojek tadi, tapi apakah mereka memang boleh bekerja seperti itu. Ibaratnya, kita sedang mempertanyakan apakah piring yang dipakai untuk makan itu suci atau tidak, sementara kehalalan makanan yang hendak dimakan tidak begitu dipersoalkan.

Dalam hal perempuan bercadar, tentu soalnya jadi lebih tajam lagi. Derajat konservativisme bercadar jauh lebih tinggi daripada sekadar berjilbab. Perempuan berjilbab bekerja di luar rumah adalah hal yang nyaris mustahil. Apalagi kalau sampai jadi tukang ojek yang berinteraksi langsung dengan laki-laki.

Jadi, apa maknanya ini? Salah kaprah? Ada kemungkinan begitu.

Sama seperti soal perempuan berjilbab yang terlihat lengan dan betisnya tadi. Mereka salah kaprah soal apa yang dituntut oleh syariat. Mereka mengira, tuntutan kepada mereka hanya soal menutup kulit tubuh semata, atau sekadar menutup kepala saja.

Namun, di sisi lain, kita bisa menafsir fenomena ini secara lebih menarik. Syariat adalah seperangkat aturan yang ditetapkan di abad VII. Tentu saja aturan-aturan itu tidak dibuat hanya untuk zaman itu saja. Usaha-usaha untuk membuatnya cocok dengan zaman-zaman berikutnya terus dilakukan. Kita mengenal istilah ijtihad, yaitu usaha intelektual untuk merumuskan aturan-aturan yang belum dirumuskan, untuk menjawab soal-soal baru yang muncul di kemudian hari.

Tapi kehidupan pada belasan abad kemudian menjadi jauh lebih rumit. Tidak hanya rumit dalam arti ada banyak hal yang kita jalani sekarang belum dirumuskan status hukumnya. Interaksi antara umat Islam dengan peradaban bukan Islam menjadi sangat intens dan tidak seimbang.

Selama berabad-abad dunia Islam adalah jajahan bangsa-bangsa non-muslim. Meski kemudian merdeka, dunia Islam tidaklah sepenuhnya merdeka dalam kesehariannya. Cara orang berpakaian, makan, bekerja, dan bergaul, sangat kuat terpengaruh oleh nilai-nilai yang tidak berasal dari ajaran Islam.

Jilbab kembali bisa kita jadikan contoh. Selama berabad-abad jilbab telah hilang dari sebagian besar dunia Islam. Perempuan-perempuan di dunia Islam telah beralih cara berpakaian, meniru cara orang Barat.

Perhatikan foto-foto perempuan Indonesia di tahun 80-an. Tak satu pun dari perempuan-perempuan zaman itu yang berjilbab, termasuk anak istri para ulama. Itu terjadi merata hampir di seluruh dunia Islam. Jilbab baru mulai popular sejak tahun 90-an. Waktu itu para perempuan mulai memakai jilbab secara ekslusif, dalam arti hanya kelompok tertentu saja yang memakainya.

Tahun 2000an pemakainya meluas. Seiring dengan itu, tata cara pemakaian pun menjadi jauh lebih longgar. Tadinya pemakai jilbab memakai baju jubah longgar, kini banyak perempuan berjilbab memakai baju dan celana ketat. Memakai jilbab dengan semangat menjalankan ajaran Islam secara utuh tak membuat para perempuan berbondong-bondong kembali ke rumah, seperti tuntutan kaum konservatif. Mereka hanya mengikuti sebagian pendapat konservatif itu, dan mengabaikan sebagian yang lain.

Lagi-lagi, apakah ini soal salah kaprah? Sebagian iya.

Tapi sebagian yang lain bisa kita maknai sebagai kompromi. Banyak perempuan yang pada pikirannya berniat untuk melaksanakan ajaran Islam secara utuh, seperti dituntut oleh kaum konservatif. Tapi mereka hidup dalam kenyataan bahwa dunia mereka sangat jauh berbeda dari dunia abad VII. Yang terjadi adalah tawar menawar. Akhirnya terjadi berbagai kompromi.

Perempuan berjilbab bekerja di luar rumah, bahkan sampai menjadi tukang ojek, adalah kompromi: di satu sisi harus memenuhi tuntutan hidup abad XXI, di sisi lain harus mempertahankan nilai yang diajarkan pada bad VII. Ringkasnya, perempuan tak sepenuhnya patuh.

Pengaruh budaya luar tadi tidak hanya menyangkut soal-soal fundamental seperti soal bekerja yang terhubung dengan soal nafkah keluarga. Saya pernah menyaksikan video sejumlah perempuan bercadar yang sedang makan di restoran terbuka, bersusah payah menyuap spageti dari balik cadar mereka. Ini bentuk lain dari kompromi tadi. Mereka mencoba bertahan dengan nilai-nilai konservatif, yaitu berpakaian menurut standar konservatif tadi. Tapi godaan gaya hidup liberal berupa kebiasaan hang out di restoran terbuka (bukan di tempat tertutup yang khusus bagi perempuan) tidak bisa mereka lawan.

Ada banyak lagi contoh lain, yang pada intinya memberikan gambaran tentang bagaimana dunia Islam sedang beradaptasi dengan susah payah di tengah derasnya seretan nilai-nilai dari luar Islam.

BACA JUGA Pengalaman Saya Hijrah sampai Berniqab dan Alasan Berhenti Menggunakannya atau tulisan Hasanudin Abdurakhman lainnya. Follow Facebook Hasanudin Abdurakhman.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version