Tukang kajat adalah kunci utama kenduri, tapi eksistensinya mulai tergerus waktu
Ada banyak hal yang bikin saya betah liburan di rumah mbah, salah satunya di sana sering banget dapat berkat. Iya, nasi berkat itu lo. Bagi pikiran bocah saya, dapat berkat merupakan kemewahan karena di tempat tinggal saya jarang sekali ada berkatan begitu. Saya rasa di desa mbah saya ini kenduri lebih sering diadakan daripada di kota saya, apa-apa diselamati.
Sebenarnya, undangannya nggak sebanyak hajatan di kota, hanya tetangga sekitar rumah saja. Tapi, kebetulan si mbah saya ini dikenal sebagai tukang kajat di desanya, jadi sering banget diundang di acara kenduri-kenduri warga. Malah kadang diundang sampai ke desa sebelah. Di zaman susah pangan dulu, tukang kajat menawarkan keuntungan yang menggiurkan, minimal keluarga bisa makan enak.
Di desa, tukang kajat memainkan peran yang sangat krusial dalam kenduri. Ibarat kata, kenduri kurang afdal tanpa kehadiran tukang kajat. Jika tukang kajat yang diundang berhalangan hadir, acara kenduri bisa-bisa diundur jamnya sampai pihak penyelenggara mendapat tukang kajat pengganti. Tugas tukang kajat sendiri adalah mendoakan sesuai hajat dari si penyelenggara kenduri menggunakan bahasa daerah.
Dalam kenduri masyarakat Jawa tradisional, setiap jenis kenduri memiliki ubarampe yang berbeda-beda. Setiap komponennya memiliki makna filosofis masing-masing. Tukang kajat akan mendoakan masing-masing jenis ubarampe sesuai dengan makna filosofisnya sehingga akan diperoleh suatu kesatuan harapan atas penyelenggaran kenduri tersebut.
Ubarampe pada setiap jenis kenduri juga khas dan nggak boleh tertukar karena akan menghasilkan pemaknaan doa yag berbeda. Misalnya untuk kenduri yang berhubungan dengan kematian akan dijumpai buceng ungkur-ungkur (nasi tumpeng yang dibelah vertikal lalu diposisikan saling membelakangi), yang melambangkan bahwa tugas si mayit di dunia sudah mungkur. Pada kenduri yang berkaitan dengan kehidupan biasanya akan disertakan kulub urap dengan harapan pemilik hajat akan senantiasa sehat dan segar bugar sebagaimana sayuran. Serta masih banyak ubarampe lainnya yang saya nggak hafal detailnya saking rumitnya. Tukang kajat juga bertugas mengarahkan keluarga pemilik hajat untuk persiapan ubarampe kenduri ini jika nasihatnya diperlukan.
Di zaman modern ini eksistensi tukang kajat semakin sulit dijumpai. Perihal regenerasi tukang kajat menurut Mbah Kung saya, sifatnya sukarela dan nggak ada tunjuk-menunjuk. Pun tidak harus selalu yang berpendidikan tinggi, yang penting mau dan sudah pernah mantu. Mbah Kung sendiri juga tidak bisa menjelaskan kenapa harus orang yang sudah pernah mantu, sudah dari sananya begitu katanya. Tukang kajat biasanya melakoni perannya sepanjang hayat sebagaimana mbahkung saya ini yang baru berhenti setelah sakit dan tidak mampu beraktivitas secara normal.
Soal penurunan ilmunya juga unik, karena nggak ada yang namanya tutorial atau buku tertulis. Jadi ya mengandalkan telinga dan ingatan saja. Mendengarkan kajatan di setiap kenduri, lalu mengingatnya. Namun nggak semudah itu juga untuk hafal, banyak kasus tukang kajat yang tiba-tiba blank di tengah merapal doa walaupun bukan pengajat pemula. Ya bisa ditebak, kajatnya jadi mbulet nggak karuan. Hal-hal seperti ini yang membuat orang ciut nyalinya untuk mengajukan diri sebagai tukang kajat. Terlebih di zaman yang semakin modern ini pola pikir manusia semakin simpel, sehingga kenduri ala tradisonal dan tukang kajatnya semakin ditinggalkan.
Masih menurut cerita Mbah Kung saya, mengajatkan itu tidak bisa dipelajari secara sembarangan karena bisa kualat. Harus benar-benar ada wujud ubarampe untuk dikajatkan di depan kita. Dari cerita turun temurun orang-orang zaman dulu, dikisahkan terdapat seorang tukang angon kebo yang mau belajar mengajatkan secara otodidak. Tukang angon ini membuat ubarampe pura-pura yang terbuat dari kotoran kerbau lantas latian mengajatkan.
Selang beberapa waktu si pengangon ini mulutnya perot. Menurut orang pintar, tukang angon ini ditapuk danyang karena main-main dengan hajatnya dan hanya bisa sembuh jika memakan ubarampe “pura-pura” yang dibuatnya tadi.
Saya tidak bisa sepenuhnya menjamin kebenaran cerita tersebut. Hanya saja saya mengambil hikmah bahwa mengajatkan itu adalah prosesi yang sakral dan tidak bisa dipermainkan sembarangan karena menyangkut komunikasi manusia dengan Tuhan.
Saya dulu juga pernah bertanya menyoal tukang kajat ini menurut perspektif keagamaan pada Mbah. Tidakkah cukup peran seorang pemuka agama dalam memimpin doa pada suatu acara kenduri seperti di kota-kota? Toh sama-sama meminta kebaikan dan mengungkap syukur pada Tuhan. Menurut Mbah, hal ini tergantung pada kepercayaan masing-masing. Kalau si mbah dulu ketika merapal doa selama mengajatkan tetap meminta kebaikan dan mengungkap syukur kepada Gusti Yang Maha Kuasa, bukan kepada danyang.
Menyebut leluhur dalam rapalan doanya itu hanya sebatas untuk mendoakan kebaikan mereka di alam sana saja. Bukan meminta kebaikan dan keselamatan pada mereka. Lha wong mati butuh donga, kok malah dijaluki donga, ya to?
Mau percaya atau tidak itu hak pribadi masing-masing yang penting tidak boleh menghujat kepercayaan dan tradisi orang lain. Desa mawa cara, negara mawa tata. Begitu sekiranya pesan mendiang kakek saya.
Penulis: Erma Kumala Dewi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Menggugat Mekanisme Pembagian Ingkung dalam Kenduri yang Tidak Adil