Indonesia menempati posisi lima besar jumlah penduduk terbanyak di dunia, yang mana komposisi penduduk itu tersebar dari Sabang sampai Merauke. Masing-masing wilayah biasanya diisi oleh komposisi suku tertentu. Tak mengherankan jika beragam adat istiadat tercipta, antara satu daerah dengan daerah lain tak bisa disamakan.
Ibarat bunga yang ada di taman, masing-masing suku tersebut berperan sebagai bunga yang memperindah taman yang bernama Indonesia. Demikian juga suku Batak memiliki suatu adat istiadat yang sangat berbeda dengan suku lain yaitu soal pendirian tugu.
Tugu merupakan bangunan yang sakral bagi orang bersuku Batak. Bagi orang awam yang sedang melintas di Tanah Batak akan terheran-heran akan melihat banyaknya tugu yang bertebaran di sepanjang jalan. Pernah suatu hari, saat saya di angkutan umum dari Medan menuju Toba seorang ibu bertanya kenapa tugu begitu mewah di daerah Tanah Batak. Mendapat pertanyaan tersebut saya berprasangka bahwa si ibu tersebut merupakan pendatang yang baru pertama kali ke tanah Toba. Lantas dengan senyum aku mulai menjelaskan apa itu tugu kepada beliau.
Tugu bukanlah sekadar ornamen bangunan yang dibuat untuk sekadar perhiasan ataupun ikon suatu kota, melainkan suatu bangunan yang menyimbolkan suatu keutuhan akan suatu turunan atau kelompok marga tertentu. Bisa dikatakan kesuksesan suatu marga tertentu ditunjukkan jika sudah terdapat tugunya. Kesuksesan yang dimaksud tak sekadar materi saja, tapi juga kerelaan meluangkan waktu. Maksudnya pembangunan tugu tersebut bukanlah atas prakarsa satu atau beberapa orang dari marga tersebut, tapi harus melalui musyawarah antara penyandang marga tersebut, di mana pun komunitas marga itu tersebar.
Contohnya jika ada marga X yang berada di Jakarta, bukan berarti pembangunan tugu yang direncanakan harus dari koceknya saja karena ia kaya ataupun pejabat yang berpengaruh, tapi yang bersangkutan malah harus mengajak sesamanya yang marga X di daerah lain untuk meniatkan diri membangun tugu sebagai lambang persatuan mereka di daerah asal marga mereka muncul (bona pasogit).
Tentu hal tersebut membuat suatu komunitas marga X tersebut harus mempunyai rasa memiliki dan persatuan yang utuh agar bisa mencapai tujuan tersebut. Dengan mengandalkan materi seseorang saja dianggap sebagai suatu yang tabu (tokka). Orang yang status sosialnya tinggi dari marga X itu akan menjalin komunikasi dengan sesama marga X yang berdiaspora serta sudah mendirikan paguyuban marga X di daerah diasporanya. Masing-masing perwakilan diaspora akan mengirimkan perwakilan untuk membahas pembangunan tugu tersebut. Tak cukup hanya sekali saja perwakilan diaspora itu hadir. Ibarat membuat suatu perjanjian diplomatik, masing-masing perwakilan diaspora memberi rancangan bagaimana bentuk tugu tersebut dibuat serta jumlah kontribusi yang diberikan per komunitas diaspora. Jika berjalan lancar atas proses yang dilakukan tersebut, tugu pun pun mulai dibangun.
Jika pembangunan tugu sudah selesai, para penyandang marga X tadi beserta perwakilan diaspora akan berkumpul di bona pasogit mereka untuk merayakan keberhasilan tersebut. Keberhasilan itu bisa dicap bahwa mereka sudah mampu mengesampingkan rasa ego masing-masing serta mampu membuat persatuan keluarga yang utuh. Diiringi tabuhan gendang dari pemusik (pargonci) dan tarian tortor, masing-masing penyandang marga X tadi tersenyum puas atas jerih payah mereka. Nasihat “arga do bona ni pinasa” telah ditunaikan oleh mereka. Para marga-marga yang lain pun akan mengucapkan keberhasilan pembangunan tugu marga tersebut. Mereka yang menyandang marga X itu dipandang sudah memiliki status sosial yang tinggi (sangap) serta memiliki kesatuan jiwa (hasadaan).
Melihat prosesnya yang begitu ribet dan memakan waktu yang banyak, tak mengherankan jika belum semua marga di suku Batak memiliki tugu. Secara tersirat pembangunan tugu tersebut memiliki syarat bahwa salah satu penyandang marga tertentu harus memiliki status sosial yang disegani seperti jenderal atau pengusaha besar agar dapat menghimpun anggota marganya yang berdiaspora.
Bisa disimpulkan eksistensi tugu begitu penting bagi suku Batak, tak mengherankan jika setiap golongan marga harus bekerja keras agar marga yang disandangnya tidak dipandang sebelah mata. Selain itu rasa persatuan harus juga dimiliki komponen suatu marga agar pembangunan suatu tugu dapat berjalan lancar tanpa mesti dihambat oleh perselisihan pendapat yang tajam dan membuat persatuan yang menjadi tujuan semula pembangunan tugu jadi tak terealisasi
BACA JUGA Hal yang Perlu Anda Ketahui Jika Jatuh Cinta pada Perempuan Batak atau tulisan Johan Gregorius Manotari Pardede