Tugu Biawak Wonosobo Bikin Orang Nganjuk Iri dan Teringat Luka Lama

Tugu Biawak Wonosobo Bikin Orang Nganjuk Iri dan Teringat Luka Lama Mojok.co

Tugu Biawak Wonosobo Bikin Orang Nganjuk Iri dan Teringat Luka Lama (httpssirs.kemkes.go.idfohomeprofile_rs3311224 - 2025-05-05T130619.276)

Warga Nganjuk memang sudah terbiasa sabar. Sabar menanti info loker, sabar melihat tata kota yang amburadul, sabar melewati jalan berlubang, sabar lewat jalan tanpa penerangan, sabar dengan gebrakan-gebrakan pemerintahnya, dan sabar yang lainnya. Tapi, kesabaran saya sebagai warga Nganjuk langsung pupus ketika menyimak cerita pembuatan Tugu Biawak di Wonosobo yang viral. 

Bagaimana kesabaran saya tidak runtuh, Nganjuk punya banyak sekali tugu dan patung monumen. Bahkan, 8 tugu dibangun hampir bersamaan pada 2022. Namun, tidak ada satu pun dari tugu itu viral seperti Tugu Biawak Wonosobo. Sekalinya tugu di Nganjuk viral, itu karena bentuknya yang nggak jelas, menelan biaya fantastis, hingga material yang mudah rusak.

Sementara, di Wonosobo, satu tugu biawak bisa menggemparkan jagad maya. Tentu saja menggemparkan sebab bentuknya menyerupai biawak asli, penuh makna, dan melibatkan warga sekitar. Terlebih dari itu, tugu ini menggemparkan karena dianggap mengobrak-abrik harga pembuatan tugu di berbagai daerah yang selama ini mencapai ratusan juta, bahkan bisa menyentuh miliaran rupiah.  

Tugu Biawak Wonosobo punya cerita, tugu di Nganjuk bikin bingung saja

Tugu Biawak di Wonosobo terlihat punya konsep yang matang, tidak asal-asalan. Ada alasan yang jelas mengapa memilih hewan biawak untuk dijadikan tugu di Desa Kresak. Tugu ini ingin bercerita bahwa Desa Krasak merupakan habitat endemik biawak. Warga lokal biasa menyebutnya “menyawak”. Singkatnya, tugu tersebut ingin merepresentasikan identitas daerah dan pelestarian ekosistem lokal. Harapannya, orang-orang yang melihat tugu biawak jadi ingat untuk terus menjaga kelestarian alam dan fauna lokal.

Sementara di Nganjuk, kebanyakan tugu dibangun tanpa makna. Tidak sedikit warga yang geleng-geleng kepala ketika melihat sebuah tugu dibangun. Terlebih, bentuknya memang tidak jelas. “Ini maksude opo yo?” begitulah suara hati warga Nganjuk. 

Salah satunya, Tugu Asmaul Husna yang berada di simpang tiga Warujayeng. Orang yang tidak paham seni saja bisa bilang desain tugu itu kureng. Bentuknya kurang menarik cuma seperti lampion. Parahnya lagi, tugu tersebut dibuat bukan genap 99, tetapi cuma 94. Maknanya pun tidak merepresentasikan daerah tersebut. Menurut saya, tugu tersebut jelas buang-buang uang saja. Kalau memang pengin melihat Asmaul Husna, kalian bisa langsung lihat Quran, dinding masjid. Kalau memang ingin melihatnya dalam bentuk tugu, kalian bisa berkunjung ke Makam Gus Dur jelas lebih komplit, nggak bikin kecewa, dan lebih sesuai tempatnya. Mengingat, warga Nganjuk itu multikultural, jadi nggak cocok kalau simbol-simbol agama di tonjolkan menjadi tugu.

Masih banyak tugu-tugu lain yang bentuknya lebih aneh dan tidak mewakili daerah-daerah di Nganjuk. Hal tersebut membuat saya sebagai warga asli bisa sering kebingunan. Keberadaan tugu sejatinya bisa jadi simbol kebanggaan, kalau cuma bikin warga bingung ya buat apa, Pak/Bu terhormat?

Prosesnya cepat, biayanya masuk akal, beda banget sama Nganjuk

Tugu Biawak Wonosobo yang terlihat realistis itu dibangun dengan anggaran yang masuk akal dan jangka waktu wajar. Bayangkan saja, dalam kurun waktu 1,5 bulan dengan anggaran Rp50 juta bisa menghasilkan tugu yang sangat estetis dan menarik banyak masa. Tugu yang digadang-gadang sebagai simbol daerah pun kini bisa menjadi berkah bagi masyarakat setempat. Hal tersebut terlihat dari banyak artikel dan berita yang mengungkapkan bahwa banyak masyarakat dari luar kota rela berkunjung hanya untuk melihat tugu tersebut. Sehingga, hal tersebut pula yang membuka rejeki masyarakat sekitar tugu itu pula.

Kenyataan itu jelas membuat iri banyak warga di daerah lain, terutama daerah-daerah yang punya tugu dengan nilai pembuatan fantastis. Tidak terkecuali warga Nganjuk seperti saya. Bayangkan saja proyek-proyek ruang publik di Nganjuk anggarannya bisa mencapai puluhan hingga menyentuh miliaran rupiah. Proses pembuatannya lama, bahkan tidak sedikit yang jadi proyek tahunan. Lebih geramnya lagi, hasilnya tidak sesuai dengan dana yang sudah digelontorkan. Padahal, kalau diingat-ingat lagi, dana pembuatan tugu atau proyek ruang publik sebenarnya diambil dari APBD yang mana ada duit rakyat juga di situ. Sangat wajar sih orang Nganjuk sakit hati. 

Saya tidak perlu (lebih tepatnya tidak ingin) menuliskan daftar tugu yang bikin orang Nganjuk seperti saya sakit hati. Kalian sebagai pembaca cerdas bisa cek di berbagai pemberitaan yang secara gamblang sudah menampilkan dana pembuatan tugu dan foto hasilnya. Tampaknya, bagi pemerintah setempat, prioritas utamanya adalah yang penting tugu berdiri, soal estetika dan fungsi publik? Pikir keri. Duh, yaapa Nganjuk bisa maju, Pak?

Warga diajak terlibat, bukan cuma jadi penonton

Proses pembangunan Tugu Biawak Wonosobo turut menampilkan solidaritas antar masyarakat, seniman lokal, dan pemerintah setempat. Berdasarkan beberapa artikel yang saya baca, pembangunan tugu tersebut diawali dari ide para karang taruna Desa Krasak yang kemudian didengar oleh bupati. Setelahnya, langsung ditunjuk seniman lokal, Arianto, untuk mengeksekusinya. Dana pembangunan tugu digelontorkan dari program CSR sejumlah BUMD di Wonosobo. Proses ini sekaligus menunjukkan  bahwa pemerintah setempat responsif terhadap aspirasi masyarakat, dan mengeksekusinya dengan langah yang tepat. 

Di Nganjuk, peran warga terhadap tugu-tugu yang tersebar di sana itu nol alias nggak ada sama sekali. Sebenarnya ada dua kemungkinan, warga memang tidak mau terlibat atau warga memang tidak diberi kesempatan untuk terlibat. Kalau saya sih lebih percaya pada alasan ke dua, tidak diberi kesempatan. Kami sering kaget, tiba-tiba saja ada proses pembuatan tugu atau tugu langsung jadi. Lebih kagetnya lagi, bentuknya aneh. Itu mengapa tugu di Nganjuk lebih sering dicaci daripada dibanggakan. Daripada duitnya untuk membuat hal seperti itu, mending dialihkan untuk pembuatan atau perbaikan fasilitas publik lain yang lebih urgen.

Tugu Biawak Wonosobo berhasil membuka luka lama warga Nganjuk

Viralnya Tugu Biawak Wonosobo sebenarnya membuka luka lama warga Nganjuk. Sebab kalau di Wonosobo tugunya viral karena murah, cepat, dan bagus, di Nganjuk justru sering viral karena anggarannya yang bikin geleng-geleng, bentuknya yang jadi bahan olokan netizen, dan baru beberapa hari selesai, sudah mengalami kerusakan.

Sejujurnya ini sangat membosankan. Tinggal di kota yang punya banyak tugu, tapi tidak ada satu pun yang benar-benar bikin bangga. Rasanya seperti punya banyak kenangan, tapi semuanya pahit.

Mungkin sudah saatnya pembangunan di Nganjuk, sekecil apa pun itu mulai direncanakan dengan lebih matang dan melibatkan warga. Minimal, pemerintah setempat rajin update di media sosial soal proyek yang mau dijalankan. Upload desainnya, tanya pendapat warga, terima ruang seluas-luasnya untuk diskusi. Itu perlu supaya warga merasa punya andil, bukan cuma jadi penonton kagetan tiap ada bangunan baru yang nongol. dengan begitu, warga jadi lebih punya rasa memiliki terhadap tugu-tugu itu, terhadap Nganjuk. Pripun jika lain kali menerapkan langkah tersebut, Pak/Bu terhormat?

Penulis: Desy Fitriana
Editor: Kenia Intan

BACA JUGA Dear Bupati Nganjuk, Bangun Banyak Tugu buat Apa, sih? Nggak Ada Manfaatnya buat Warga

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version