Transisi Energi Itu Hanya Omong Kosong: Kebijakan yang Keluar Malah Melindungi Penggunaan Energi Fosil

Transisi Energi Itu Hanya Omong Kosong: Kebijakan yang Keluar Malah Melindungi Penggunaan Energi Fosil

Transisi Energi Itu Hanya Omong Kosong: Kebijakan yang Keluar Malah Melindungi Penggunaan Energi Fosil (Pixabay.com)

Masih ingat moonwalk sang Raja Pop, Michael Jackson? Seperti halnya energi terbarukan di Indonesia, regulasi energi terbarukan dan transisi energi mirip dengan moonwalk: gerakannya terlihat maju, tapi ternyata berjalan mundur.

Mari kita refleksikan sejenak perkembangan energi di Indonesia. Beberapa tahun terakhir memang listrik di negeri ini mayoritas dipasok dari pembangkit listrik yang berasal dari energi fosil batubara. Kemudian 2019, viral lah film Sexy Killers besutan Dandhy Laksono yang membuka mata kita semua tentang dampak negatif dari pembangkit listrik yang berasal dari batubara ini.

Seiring berjalannya waktu, pada penghujung 2022 tepatnya saat Indonesia menjadi tuan rumah KTT G20 di Bali. Indonesia dengan berani mendeklarasikan aksi konkretnya untuk transisi energi yang berkelanjutan. Salah satu strateginya adalah dengan mempercepat penutupan pembangkit listrik berbasis batubara dan juga mengembangkan energi terbarukan yang adil dan berkelanjutan.

Berangkat dari itu, pemerintah mulai fokus membuat berbagai kebijakan dan menawarkan solusi-solusi yang ada demi terwujudnya percepatan transisi energi. Tapi, kebijakan yang dibuat oleh pemerintah justru rancu, dan memperlihatkan bahwa pemerintah “gagal move on” dengan energi fosil batubara.

Solusi-solusi yang ditawarkan kiranya masih dirasa semu, bahkan palsu. Sehingga, apa yang sudah menjadi komitmen kui gur upaya setengah hati pemerintah pindah ning energi terbarukan.

Transisi energi merupakan keharusan

Saya sepakat transisi energi menjadi hal yang absolut dan sudah menjadi keharusan yang dilakukan. Mengingat dampak dari emisi yang dihasilkan dari energi fosil semakin meningkat.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), pemerintah menetapkan target bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada bauran energi primer nasional pada Tahun 2025, dan 31 persen pada Tahun 2050.

Kemudian pemerintah juga meningkatkan komitmen pencapaian NDC (National Determined Contribution) pada 2030 dengan target penurunan emisi sebesar 31,89 persen tidak kondisional dan 43,20 persen kondisional. Dengan harapan berbagai kebijakan pemerintah dan investasi ini mampu mengakselerasi peluang pencapaian nol emisi karbon (NZE) pada 2060 atau lebih cepat sesuai dengan Perjanjian Paris.

RUU EBT “ganjil”, transisi hanya buaian belaka

Frasa “energi baru” masih mantap dipertahankan oleh pemerintah dalam pembuatan RUU EBT yang kini berubah menjadi RUU EBET. Sementara hal tersebut sangat kontradiktif dengan Perjanjian Paris, kesepakatan KTT iklim COP26, dan komitmen Indonesia sendiri dalam mengakhiri pendayagunaan PLTU batubara.

Dalam Pasal 9 draf RUU EBET (versi 5 Mei 2022), menyebutkan bahwa sumber energi baru terdiri dari beraneka macam mencakup nuklir, hidrogen, gas metana batubara (coal bed methane), batubara tercairkan (coal liquefaction), batubara tergaskan (coal gasification).

Padahal, peningkatan energi listrik hasil gasifikasi batubara ini juga berpotensi menghasilkan emisi CO2 dua kali lipat dibanding pembangkit listrik dari gas alam. Piye, ngeri tenan to? Kondisi ini tentunya semakin mempersulit ikhtiar transisi energi yang digiatkan oleh pemerintah karena masih mempertahankan batubara lewat dalih “energi baru”.

Pembebasan royalti pada produk turunan batubara, nggo opo?

Hal yang paling mengejutkan adalah terbitnya regulasi kontroversial pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja (Perpu Ciptaker) Pasal 128A dengan membebaskan royalti sebesar 0 persen guna perusahaan tambang batubara yang melangsungkan proyek hilirisasi batubara seperti gasifikasi batubara dan pencairan batubara.

Pastinya kondisi ini kian memperlihatkan keberpihakan pemerintah terhadap industri ekstraksi. Dan hal tersebut akan memperpanjang umur energi batubara.

Dengan kata lain, perusahaan yang melangsungkan hilirisasi batubara tidak perlu membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang bersumber dari sumber daya alam. Sementara itu, PNBP di sektor mineral dan batubara (minerba) pada 2022 saja bisa menambah profit untuk negara hingga mencapai Rp183,35 triliun.

Dengan adanya ini sama saja dengan menggratiskan sumber daya alam. Berujung semakin mempermudah kegiatan eksploitasi tanpa tindakan yang bertanggung jawab.

Solusi semu dan palsu dalam transisi energi

Berbagai ikhtiar yang dilakukan pemerintah tidak sepenuhnya melahirkan jalan keluar yang konkret dan tepat sasaran. Apalagi pada prosedurnya, beberapa dinilai dianggap sebagai solusi semu dan solusi palsu.

Solusi semu adalah solusi yang belum terbukti dari sisi nilai ekonomi dan teknis. Tapi, sudah memiliki strategi andalan seperti energi hidrogen dan energi bio biomassa.

Sedangkan solusi palsu adalah solusi yang memiliki konsekuensi negatif pada ikhtiar penurunan emisi jangka panjang. Umumnya memiliki dampak pada lahan dan hutan. Bahkan memiliki sifat memperpanjang umur industri energi fosil seperti energi nuklir dan produk turunan batubara.

Ekspektasi tak seindah realitas

Di tengah komitmen dan cita-cita yang menggelora dari pemerintah guna menyegerakan akselerasi transisi energi, laju transisi energi Indonesia malah mengalami degradasi. Dalam laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2023, sampai penghujung 2022 pangsa energi terbarukan dalam bauran energi primer di Indonesia malah menurun. Penurunannya dari 11,5 persen pada 2021 menjadi 10,4 persen pada 2022.

Kondisi ini diakibatkan oleh peningkatan pada pangsa energi batubara sebesar 43 persen. Sedangkan, hal tersebut sangatlah berdampak terhadap eskalasi emisi karbon di atmosfer. Hal itu semakin mengulur komitmen Indonesia mencapai 23 persen bauran energi terbarukan pada 2025.

Sampai saat ini, semangat transisi energi Indonesia yang menggelora tak seindah realitas di lapangan. Gaya-gayanya ingin mengakselerasi transisi energi. Tapi, beraneka macam kebijakan dan jalan keluar yang diterbitkan malah condong “melindungi” batubara lewat narasi-narasi yang manipulatif. Ra mashok blas.

Penulis: Muhammad Iqbal
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Pembangkit Listrik Tenaga Bualan Mardigu dan Barisan Energi Alternatif Abal-abal Lainnya

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version