Ketika kemarin saya menulis tentang Bandara YIA, banyak yang berkata bahwa saya terlalu prematur dalam menilai. Efek bandara tak bisa instan, dan mungkin memang tak akan terlihat dalam waktu dekat. Saya terima itu, tentu saja. Penulis yang baik, harus bisa menerima kritik. Tapi, akan saya sodorkan hal-hal yang jelas minim kontribusi pada apa pun untuk Kota ini, dan kalian nggak bisa berkilah lagi: Trans Jogja.
Coba, kasih tahu saya, apakah Trans Jogja sudah menjalankan fungsinya sebagai pengurai kemacetan? Tentu saja jawabannya belum, atau malah tidak sama sekali.
Trans Jogja memang masih banyak kurangnya, dan jujur saja saya makin bingung untuk apa kini TJ beroperasi. Sebab, mengurai kemacetan juga nggak, memudahkan juga nggak begitu, lalu apa?
Daftar Isi
Trans Jogja jelas tak berfungsi seperti Transjakarta
Jika kamu berpikir bahwa Trans Jogja digunakan untuk pengurai kemacetan Yogyakarta dan mencontoh Jakarta, itu salah besar! Jogja bukan seperti Jakarta. Hal ini yang harus digaris bawahi. Jogja bukan seperti Jakarta.
Kenapa begitu? Karena Trans Jogja hanya digunakan untuk orang yang tidak buru-buru. Sesederhana itu. Hal ini karena ketidakpastian datangnya Trans Jogja ke halte, sehingga membuat masyarakat tidak bisa mencocokkan dengan jadwal bekerja mereka.
Permasalahannya adalah sekarang coba dihitung saja, berapa persen orang yang tidak buru-buru di jalan? Di setiap sudut kota buktinya masih membutuhkan Pak Ogah, Pak Polisi untuk mengatur jadwal. Ya artinya jelas, orang di DIY buru-buru.
Dengan melihat bagaimana Trans Jogja beroperasi saja, kita sudah tahu, jelas armada ini tidak cocok untuk buru-buru.
Tak menjangkau seluruh DIY
Kritikan kepada penyelenggara Trans Jogja sebenarnya sudah amat sering dilontarkan. Pengendara ugal-ugalan, rute yang hingga kini masih tak familiar, serta kecepatan armada masih jadi hal yang menghiasi lini masa. Dan semua kritikan mengarah pada satu hal: perencanaan yang kurang matang.
Begini. misal kita bicara rute, rute armada bus ini harusnya menjangkau semua kabupaten di DIY. Yogyakarta, Sleman, Bantul, Kulon Progo, dan Gunungkidul harusnya bisa dijangkau Trans Jogja. Ini harga mati, tak bisa ditawar lagi. Ya selama masih menyematkan nama Jogja, ya harusnya menjangkau semua.
Tapi kenyataannya, sudahkah terintegrasi? Jawabnya sih kalian sudah tahu.
Kecepatan Trans Jogja juga jadi masalah. Misal kita bicara Transjakarta, kita bisa bicara ketepatan waktunya. Jelas dong, kalau tidak, nggak mungkin dipakai sebagai transportasi utama. Sedangkan untuk DIY, ah…
Baca halaman selanjutnya
Wisatawan pun bingung
Ada satu hal yang sebenarnya bisa jadi nail in the coffin tentang Trans Jogja, yaitu tidak bisa digunakan wisatawan. Bisa sih bisa, tapi apakah mereka bakal lancar dan paham? Nah, itu isunya.
Coba, para pembaca yang sudah tinggal lama di Jogja, apakah kalian familiar dengan rutenya? Kalau jawabannya tidak, apalagi wisatawan yang paling banter seminggu di Kota Istimewa?
Pernah suatu ketika, saya sedang naik Trans Jogja, ada orang yang masuk ke bus saya. Sepertinya dia tersesat atau mungkin dia tidak tahu arah. Seharusnya dia ke arah utara, namun ini malah ke arah selatan. Kemudian orang tersebut saya tanyai lebih lanjut mengapa marah-marah.
“Mbak, niat saya itu mau keliling Jogja, tapi kok ujung-ujungnya cuman keliling Bantul tok ya? Aku bingung e Mbak, mana transitnya lama banget, busnya datengnya nggak cepat eh. Sakjane aku mau ke Utara e, mau ke Pakem, tapi kok di arahainnya kesini terus, ya saya marah to ya Mbak” ujar wisatawan tersebut.
Benar adanya, bahwa rute peta jalan halte maupun rutenya sangat membingungkan, sehingga wisatawan pun akhirnya tidak enjoy untuk berlibur dengan muter-muter ke DIY.
Saya tak perlu lagi rasanya menuliskan daftar masalah Trans Jogja. Sebab, dari dulu hingga sekarang, masih sama. Sejak awal kemunculannya hingga sekarang, TJ masih tak reliable, dan tetap tak ramah pengguna.
Jadi, sebenarnya Trans Jogja untuk siapa, atau lebih tepatnya, untuk apa?
Penulis: Helena Yovita Junijanto
Editor: Rizky Prasetya