Sebagai perantau yang tinggal di Jogja untuk ngekos dan berkuliah, saya rasa kota ini masih jauh dari kata ideal dalam penyediaan transportasi publik yang merata dan bisa dinikmati seluruh lapisan. Sudah menjadi rahasia umum memang, tapi saya rasa pengalaman pribadi ini harus juga diutarakan. Ketika masih di kota asal, saya membayangkan bisa naik Trans Jogja dari depan kampus lalu berkeliling kota dengan asyiknya. Nyatanya, realita tidak seindah itu.
Setia naik Trans Jogja
Saya pengguna setia bus Trans Jogja. Beberapa trayek dan halte pemberhentiannnya bahkan sudah saya hafal di luar kepala. Transportasi umum yang satu ini sangat membantu kaum pejalan kaki seperti saya yang dulu tidak memiliki motor untuk bepergian. Manfaatnya semakin terasa ketika saya harus berhemat dan tidak rela boncos karena tarif ojol.
Akan tetapi mindset itu hanya sementara. Lama-kelamaan saya bisa nyatakan dengan keras bahwa Trans Jogja adalah sebenar-benarnya transportasi publik yang teramat diskriminatif.
Memang harus diakui, posisi kampus beken yang berlimpah jumlahnya itu letaknya mayoritas di bagian utara Jogja. Daerah selatan seperti tidak menjadi prioritas. Pokoknya nggak usah dijamah.
Dampaknya, sebagai mahasiswa ISI Yogyakarta, saya harus melakukan usaha lebih supaya bisa menikmati fasilitas bus yang satu ini. Di Sewon Bantul, tepatnya di depan kampus ISI dan sekitarnya, bus ini tidak ada yang melintas sama sekali. Nihil dalam rangkaian jalur bus Trans Jogja yang jumlahnya mencapai 15 trayek itu.
Permulaan 2024 ketika awal-awal bekerja di Kotagede Jogja, setiap hari saya harus berangkat naik ojol untuk sampai di kantor. Demi menghemat gaji yang jumlahnya fana itu, saya bertekad agar pulang naik Trans Jogja setiap hari. Hemat uang iya, tapi boros tenaga dan waktu jadi konsekuensinya.
Pulang pergi kerja boros waktu di jalan
Saya selesai kerja jam 6 sore. Biasanya, saya akan naik bus jalur 3B dengan trayek Condongcatur-Giwangan dari halte Trans Jogja PMI Kotagede. Setelah itu saya akan transit di Terminal Giwangan untuk berganti ke bus yang lain. Di terminal Giwangan, saya akan naik bus jalur 9 yang melayani trayek Giwangan-Jombor. Waktu tunggu bus kadang variatif, bisa 15 sampai 20 menit. Namun itu semua belum apa-apa.
Bus jalur 9 akan mengantarkan saya melintasi Jalan Ringroad Selatan, menurunkan saya di halte buruk rupa yang terletak di Kampung Matraman. Dari sana saya akan ambil jalan tembus sejauh 2,5 kilometer untuk berjalan kaki sampai kos yang terletak di belakang kampus ISI. Bayangkan betapa lelahnya harus melakukan itu setiap hari.
Selain naik bus jalur 9, biasanya dari Terminal Giwangan bisa saja saya pilih bus yang melayani rute ke Terminal Ngabean yang letaknya di tengah Kota Jogja. Artinya saya naik bus sampai 3 kali dan berkeliling dulu karena menjauh dari kota. Dari Terminal Ngabean, barulah saya naik bus Trans Jogja Malioboro-Palbapang Bantul, satu-satunya bus yang melewati Jalan Bantul dan menjangkau selatan Jogja.
Sayangnya, paling efektif saya hanya bisa turun di Pasar Niten. Dari sana saya tetap harus berjalan kaki sekitar 1,6 kilometer untuk bisa sampai kos. Pokoknya paling cepat saya sampai di kos pukul 19.45. Itu pun kalau sedang hoki dan tidak ada drama bus terlambat atau hujan turun dan lupa membawa payung.
Perubahan jalur dadakan Trans Jogja
Tercatat Februari 2025 lalu beberapa jalur bus Trans Jogja mengalami perubahan dan pergantian. Saya memang sudah jarang naik bus ini karena sudah ada motor. Sekali waktu ketika situasi mengharuskan naik bus, saya melihat papan pengumuman. Sialnya, bus Trans Jogja tidak lagi melewati Kampung Matraman, tempat saya biasanya turun.
Selain itu, ada trayek lain yang dihapus. Salah satunya jalur 7 yang melayani rute Giwangan-Babarsari. Jalur 8 juga diperpendek dari yang semula rutenya Jogokaryan-Jombor menjadi Ngabean-Jombor.
Sekali waktu saya pernah mengobrol dengan seorang nenek di halte bus seberang kampus UAD 4. Beliau merasakan dampak dan kerugian karena perubahan tersebut. Kebingungan dan harus lebih banyak berganti bus untuk bisa sampai ke tujuan yang kini tidak lagi praktis— walau sejatinya tidak pernah ada yang praktis dari naik Trans Jogja.
Perbincangan dengan sejawat kampus ISI di Sewon Raya
Mengajak teman membudayakan naik Trans Jogja adalah prestasi langka. Teman saya, Sefina (24), berhasil tertular karena saya berikan tutorial naik bus ini. Sebagai mahasiswa ISI yang lekat dengan kerja seni, dia pernah bolak-balik Jogja National Museum selama hampir 3 bulan mengurus dan mengawal pameran ArtJog 2024.
Seperti saya yang menyiasati dengan berjalan kaki dari halte terdekat, Sefina bersiasat memanfaatkan promo ojol untuk sampai ke halte Kasongan. Ketika pulang pun demikian. Turun di Kasongan dan lanjut naik ojol atau minta dijemput teman kosan untuk menghemat uang.
Sungguh usaha yang patut diacungi jempol. Tetapi percayalah, nggak semua orang kepikiran untuk menjalani hidup semerepotkan itu.
Menurut Dhea (23), teman seangkatan saya di ISI perantau dari Jombang, di Jogja itu banyak pendatang, sudah sepatutnya ada transportasi publik memadai dan menjangkau banyak tempat. Terlebih, sebagai mahasiswa ISI Jogja, dia menyadari tingginya mobilitas mahasiswa ISI.
Banyak mahasiswa ISI yang harus pergi ke utara, sebut saja ke Taman Budaya atau Jogja National Museum untuk berkegiatan. Mobilitas mereka tinggi, tapi tidak ada transportasi publik yang bisa dijadikan penenang hati. Kasihan mahasiswa yang tidak punya kendaraan pribadi. Nebeng menjadi andalan, atau dompet kering karena naik ojol menjadi langganan. Mungkin terlalu muluk jika bercita-cita memiliki transportasi publik terintegrasi.
Sebagai warga Jogja saya hanya bisa bermimpi seraya mengutuk falsafah nrimo ing pandum yang bagi saya tidak selamanya relevan, mungkin delusional dan malah meninabobokan. Sudah saatnya Jogja berbenah dan mulai mendengar lebih tajam segala keluh kesah. Saya harap lebih banyak orang bisa menikmati kenyamanan menggunakan transportasi publik di Kota Pelajar ini.
Penulis: Lintang Pramudia Swara
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Trans Jogja Perlu Banyak Belajar dari Batik Solo Trans Supaya Semakin Nyaman.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
