Tragedi Kemanusiaan di Balik (Tidak) Lucunya Profesi Badut Jalanan

juliari batubara badut jalanan sedih tawa mojok

badut jalanan sedih tawa mojok

Sejak kecil saya paling nggak suka dengan yang namanya badut. Badut apa pun itu. Apalagi badut sulap yang biasa ada di acara ulang tahun anak-anak. Dalam imajinasi saya, badut adalah sosok karakter yang nggak lucu sama sekali. Riasan warna-warni yang mencolok ditambah senyum khas yang malah bikin saya ketakutan. Alasan-alasan itu lah yang membuat acara ulang tahun saya semasa kecil, tidak menarik sama sekali.

Namun, tentunya banyak juga anak-anak di belahan dunia manapun yang menganggap badut sebagai karakter yang lucu dan menyenangkan. Ya, terserah saja. Sah-sah saja. Tapi, maaf saya tidak.

Ketika beranjak dewasa, saya semakin mengenal karakter badut yang justru berbeda dengan apa yang saya tahu semasa kecil. Waktu kecil, badut digambarkan dengan sosok ceria yang selalu tertawa dengan kostum yang meriah. Namun, sekarang saya menyadari kalau badut bagaikan cerita sedih seseorang yang harus terkurung dalam pakaian meriah dan harus pura-pura bahagia.

Rasa-rasanya setiap melintasi sepanjang jalan, pernah tidak sih melihat orang-orang yang mengenakan kostum seperti badut? Ya, memang kostum badut yang saya maksud bukan seperti badut pada umumnya. Badut dengan riasan dan pakaian cerah warna-warni. Bukan badut sulap seperti itu yang saya maksud. Tapi, mereka yang berkostum animasi kartun seperti Upin Ipin atau Masha and The Bear sambil membawa wadah sebagai tempat uang.

Sekali waktu saya pernah menemukan mereka yang berprofesi sebagai badut jalanan ini hanya satu dua orang saja. Namun, seiring berjalannya waktu dan banyaknya tempat yang saya kunjungi, semakin sering saya menemukan mereka yang berprofesi sebagai badut dengan kostum aneka kartun yang tentunya disukai anak-anak.

Setiap kali bertemu dengan mereka yang berprofesi sebagai badut jalanan, saya jarang melihat orang asli di baliknya karena tertutup dengan kostum kartun besar yang tentunya juga berat. Bapak saya pernah bilang “Mungkin itu anak-anak muda yang coba cari duit.” Hmmm, mungkin iya ya, pikir saya.

Ternyata perkataan bapak saya itu salah. Beberapa kali akhirnya saya menemukan kalau mereka yang berprofesi sebagai badut pinggir jalan itu justru bukan anak-anak muda. Laki-laki dan ibu-ibu lanjut usia yang nggak jarang bahkan membawa anak-anak mereka untuk ikut cari uang di pinggir jalan.

Tempat-tempat yang biasa mereka diami adalah tempat yang sekiranya ramai orang berlalu-lalang. Saya rasa mereka mulai bekerja sangat pagi dan pulang sangat malam. Kenapa begitu? Karena saya pernah melihat mereka sudah siap sedia ketika matahari baru muncul di ufuk Timur. Alias masih pagi buta! Semangat bekerja yang patut ditiru oleh anak-anak muda zaman sekarang saya rasa.

Hingga larut malam pun nggak jarang saya masih menemukan mereka sedang berjalan atau berdiam diri di emperan toko kelontong. Saya nggak berusaha untuk melebih-lebihkan sih. Tapi, saat itu saya mbatin kok kasihan sekali ya. Padahal, saya kira badut itu tugasnya menghibur orang lain lho. Kok menurut saya nggak ya. Malah bikin sedih.

Yang paling saya nggak tahan, ketika ibu-ibu yang mengenakan kostum animasi besar itu berjalan sambal menggendong anaknya yang tertidur pulas di punggungnya. Bisa dibayangkan betapa lelahnya ibu itu mulai bekerja dari pagi buta hingga larut malam. Apalagi sambil menggendong seorang anak.

Ah, saya paling benci perasaan dalam diri saya ketika melihat mereka di pinggir jalan raya, di perempatan lampu merah, atau di depan jalur masuk supermarket. Sedih dan marah.

Pernah sekali waktu saya menghampiri salah satu badut pinggir jalan. Saya merasa kasihan dia berdiri di pinggir jalan siang bolong, jadi saya berikan dia minum dan makanan alih-alih saya beri uang. Entah kenapa kelihatannya orang di balik kostum besar dan pengap itu pasti kehausan dan kelaparan. Apalagi di siang hari, cuaca sedang terik-teriknya.

Orang itu berterima kasih berkali-kali sambil memegangi tangan saya. Hal kecil seperti itu sebenarnya bisa membuat saya menangis sejadi-jadinya. Jadi, saya tahan saja sampai saya pergi dari tempat itu. Malu lah saya nangis di tempat umum. Jujur, hingga sekarang pun saya nggak tahu lho orang itu laki-laki atau perempuan. Bapak-bapak, ibu-ibu, atau anak muda. Entahlah.

Kalau sedang kebetulan lewat di jalanan ramai, saya nggak jarang menemukan mereka duduk termenung di trotoar pinggir jalan sambil sesekali memeluk lutut. Entah apa tujuan mereka sebenarnya, tapi sekali lihat saja saya bisa langsung paham dan merasakan perasaan lelahnya seperti apa. Ditambah lagi mungkin juga pendapatan mereka nggak seberapa.

Profesi badut pinggir jalan ini saya kira berbeda ya dengan profesi badut sulap yang biasa ada di acara ulang tahun anak-anak. Mereka yang mencari uang menjadi badut pinggir jalan cenderung pendapatannya nggak menentu. Belum lagi tempat yang berpindah-pindah. Berbeda dengan badut yang sengaja disewa di acara ulang tahun anak-anak. Sudah pasti mendapat bayaran sesuai kesepakatan.

Namanya badut berkostum, biasanya profesinya menghibur banyak orang. Apalagi anak-anak. Memang sih adik saya yang masih balita kalau lihat badut dengan kostum Upin Ipin pasti sangat senang. Berbeda dengan saya yang malah sedih lihatnya. Profesi badut sekarang ini sebenarnya mau menghibur atau bikin sedih sih.

Kalau saya lihat selama ini, mereka yang berprofesi sebagai badut pinggir jalan memiliki dua wajah. Wajah yang saya maksud, ketika mereka bertemu dengan orang banyak, mereka berusaha sekuat tenaga untuk menghibur dengan bertingkah lucu. Terutama di depan anak-anak. Beda lagi kalau sudah selesai bekerja dan keadaan sudah sepi. Mereka bisa menunjukkan rasa lelah, capek, haus, dan lapar.

Saya bahkan nggak melihat profesi badut jalanan ini adalah profesi yang menyenangkan apalagi menghibur. Tidak lucu sama sekali. Tak lain dan tak bukan, saya hanya bisa melihat tragedi kemanusiaan di dalamnya. Perasaan sedih dan marah yang nggak jarang saya rasakan ketika melihat mereka, tentu sangat mengganggu mental saya. Bayangkan saja kalau melihatnya berkali-kali.

Belum lagi lagu-lagu yang mereka putar, bukanlah lagu yang disenangi anak-anak. Lagu-lagu dengan irama memusingkan yang justru agaknya mengganggu orang-orang dengan volume keras yang menjadikannya begitu bising.

Sejauh ini saya belum menemukan anak-anak di balik kostum badut jalanan nan besar dan pengap itu. Namun, saya rasa ada dan memang ada. Kalau saatnya saya tidak sengaja bertemu dengan anak-anak dibalik kostum badut itu, tentu akan menjadi hal yang sangat mengganggu saya. Sebab, tidak bisa dimungkiri kalau itu adalah eksploitasi anak dan saya paling tidak bisa melihat anak-anak dieksploitasi.

BACA JUGA Jika Pennywise, Si Badut Film It, Nyasar ke Bandung dan tulisan Ayu Octavi Anjani lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version