“Wah, gemuk banget nih organisasinya…”
“Duh, kebanyakan hierarki!”
“Lho, ini harusnya bisa dikerjain langsung sama 1 orang, nih!”
Mungkin begitulah cara kita memandang soal kondisi organisasi sebuah institusi atau perusahaan yang banyak berisi “baby boomers”. Eh, tapi sebentar. Tradisi palugada begini ternyata juga eksis akhir-akhir ini dan banyak banget mendapat kecaman dari pelaku industri, terutama industri kreatif. Ejekan-ejekan ini banyak hadir di sebuah grup anak-anak agency terbesar (se-Indonesia) di Facebook yang kini postingan lokernya lebih banyak dari postingan sharing ilmunya.
Contohnya, ada seorang employer yang mem-posting informasi loker untuk posisi “videografer”. Di mana employer itu, katakanlah, ya nggak paham-paham banget apa sih itu “videografer”. Intinya dia ingin merekrut individu yang bisa membuat video dengan mengambil gambar lalu mengeditnya. Selain itu, ia bisa mengoperasikan beberapa software yang berhubungan dengan pekerjaan tersebut.
Yang menarik, di kolom komentar di antara timbunan link-link portfolio, ada satu individu yang dengan justifikasi pengalamannya menjabarkan apa sih “videografer” itu. Si fulan ini terlebih dahulu menertawakan informasi loker tersebut. Katanya, ini sih “kerjaan dua orang tapi gaji satu orang”. Menurutnya, untuk mengambil gambar dan mengedit video butuh dua personil karena keduanya adalah disiplin ilmu yang berbeda. Saya paham betul apa maksudnya.
Contoh menarik lagi, yaitu tentang sebuah pekerjaan yang beberapa tahun belakangan ini meroket dan banyak dicari, yaitu seorang social media specialist. Ada seorang social media manager, ada seorang content writer, ada seorang admin, ada seorang analyst, dan ada buanyaaak yang lainnya. Intinya, ia mahir menggunakan media sosial dan paham seluk beluk algoritma dan bisa mengoperasikannya sebagai media yang ampuh untuk menumbuhkan bisnis perusahaan atau brand.
Beberapa hari kemudian, di grup yang sama, ada sebuah loker dari seorang employer yang ingin merekrut “social media specialist” dengan tugas, content writing, graphic design, bisa mengoperasikan Ads, mahir Photoshop, bisa membuat strategi digital, dan yang lainnya. Maka, mudahlah menebak isi respons-respons di kolom komentar. “INI SIH PALUGADA BANGET YA ALLAH MO NANGISSS,” kata seseorang yang paling menancap di ingatan saya.
Nah, saya jadi sedikit tergelitik, sih, sebenarnya. Teringat bagaimana kita ramai-ramai menertawai tradisi “robot” para karyawan atau pegawai senior di sebuah perusahaan mana saja. Di mana ada satu pekerjaan yang harusnya bisa diselesaikan oleh satu personil saja, tapi nyatanya ada lebih dari tiga personil di pos itu. Akhirnya, organisasi jadi gemuk dan cost perusahaan membengkak. Kultur organisasi ini sanggup bertahan belasan hingga puluhan tahun lamanya.
Sedangkan di sisi lain, kita jugalah yang selalu berbangga diri menjadi seorang specialist. “Tugas gue cuma bikin konten. Kalau mau report analisa, lo ke analyst aja.” Begitulah kita yang selalu memegang teguh standar ganda. Kalau peraturan A bikin gue rugi, itu salah. Tapi kalau bikin gue untung, ya bisa diatur, lah. Lha, terus apa bedanya kita dengan mereka, Bambang?
Di dunia yang serba bergerak cepat ini, kita dituntut untuk adaptif dan harus bisa multitasking. Kebayang nggak, di luar sana banyak orang yang diam-diam mempelajari berbagai macam ilmu sekaligus, sehingga ketika dia dihadapkan dengan banyak kesempatan kerja, kesempatannya untuk diterima juga lebih besar. Berapa banyak seorang content creator yang melakukan banyak hal sekaligus mulai dari pengambilan gambar hingga editing seorang diri? Kalau menurut saya sih, yang terpenting selama kita berposisi sebagai pencari kerja, maka yang bisa menentukan kualifikasi pekerja adalah si pemilik usaha atau si employer itu sendiri. Fair, enough?
Memang, sih, kebanyakan adalah perusahaan yang baru saja memulai tim in-house untuk beberapa pekerjaan yang butuh spesialisasi tersendiri, misal, digital marketing. Biasanya, mereka hanya punya seorang digital strategist dan seorang creative designer. Mereka juga mengerjakan semua pekerjaan digital marketing mulai dari manage media sosial, e-mail marketing, hingga website sekaligus. Nah, kalau misal mau jadi seorang spesialis, ya lebih baik ke agency saja.
Saya sendiri saat ini sedang menuntut diri saya untuk menguasai beberapa skill yang memang berhubungan dengan pekerjaan saya. Kenapa tidak? Toh, yang dibutuhkan cuma belajar, belajar, dan belajar. Menjadi multitasker sama sekali tidak masalah buat saya. Banyak skill berarti banyak cuan. Dan yang terpenting, kita harus menghentikan kebiasaan mengejek dan menertawai pemberi kerja yang tidak sesuai keinginan kita. Sekali lagi, mereka beroperasi dengan budget yang bisa jadi terbatas dan beberapa alasan lainnya. Di saat kita menertawai, maka ada banyak pencari kerja yang maju terus pantang mundur. Kata mereka hajar aja dulu, siapa tau perusahaannya nanti berkembang. Nah, loh, nyesel deh nantinya.
BACA JUGA Memasuki Era Penulis Serba Ada dan Serba Bisa