Tolong, Jangan Masukkan Pendidikan Murah sebagai Janji Politikmu

Tolong, Jangan Masukkan Pendidikan Murah sebagai Janji Politikmu

Tolong, Jangan Masukkan Pendidikan Murah sebagai Janji Politikmu (Pixabay.com)

Janji kalau terpilih pendidikan murah akan terwujud? TANGIO, TURUMU MIRING!

Dalam hitungan hari, 2022 akan menjelma menjadi kenangan. Tak lama lagi, kita akan tahun baruan.

Gimana? Bacanya bernada nggak? Kayak pantun, ya? Padahal nggak sengaja, loh. Memang nyatanya 2022 akan segera berakhir, kan? Berganti dengan 2023, yang disebut-sebut sebagai tahun politik. Jelang tahun politik nanti, sebagai salah satu warga negara ini, bolehkah saya mengajukan permintaan kepada kalian, para politikus negeri yang terhormat?

Begini. Dengan tidak mengurangi rasa hormat, meskipun berat, saya berusaha memahami ketika kalian memasang baliho ucapan selamat (apa pun itu), yang wajah kalian lebih mendominasi daripada esensi ucapan selamat itu sendiri. Tapi, yang tidak bisa saya pahami, mengapa kalian selalu memasukkan pendidikan murah dalam janji kampanye kalian?

Sudahlah. Tak perlu janjikan pendidikan murah bagi kami saat kampanye. Kami kenyang. Kenyang dengan fakta bahwa biaya pendidikan di negeri ini tidak pernah murah. Tidak seperti yang selalu dan selalu kalian janjikan di masa-masa pemilu.

Mau bukti?

Baik. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi yang timbul dari sektor pendidikan mencapai 3,81 persen per tahun. Khusus untuk uang pangkal, masih menurut data BPS, naik mencapai 10-15 persen per tahunnya. Bahkan, AIA-Financial Indonesia menuliskan rata-rata kenaikan biaya pendidikan di Indonesia mencapai 20 persen tiap tahun. Sedangkan biaya pendidikan perguruan tinggi swasta mengalami kenaikan hingga 40 persen.

Tak heran jika kemudian BPS juga mencatat bahwa persentase tingkat penyelesaian pendidikan semakin rendah pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Artinya, banyak orang tua yang mengibarkan bendera putih di tengah jalan mereka membiayai kuliah anak tercinta. Nggak mampu. Nggak sanggup.

Lha, sudah tahu kuliah mahal, kenapa nggak dipersiapkan dana pendidikannya dari awal?

Bapak dan Ibu nanyeeaa?

Begini. Berdasarkan data BPS, rata-rata penghasilan masyarakat Indonesia tahun 2022 adalah 2,8 juta. Anggaplah mereka menyisihkan 10 persen dari penghasilannya untuk dana pendidikan. Maka, 18 tahun kemudian ketika si anak mau mendaftar kuliah, sudah terkumpul uang sebesar 60,48 juta. Jika kenaikan rata-rata upah sebesar 6,5 persen per tahun dihitung, maka tabungan mereka di tahun 2040 menjadi 63,75 juta.

Sekarang, mari kita hitung berapa biaya kuliah 18 tahun kemudian. Jika pada 2022 biaya kuliah hingga lulus mencapai 64 juta, maka, nominalnya akan meningkat menjadi 107,89 juta pada 2040 (Kenaikan 3,81 persen per tahun). Jika dihitung-hitung, tabungan orang tua selama 18 tahun hanya mampu untuk membiayai kuliah selama kurang dari 5 semester.

Halah, Mbyakkkk. Hidup itu bukan matematika. Urip kok itung-itungan. Rezeki mah sudah ada yang ngatur. Nggak bakal tertukar. Kalau ditakdirkan kuliah, ya, pasti ada saja jalannya. Lagian, jalan sukses itu nggak harus kuliah!

Sebentar. Soal rezeki sudah ada yang mengatur, sungguh, tak ada keraguan sedikit pun dalam diri saya. Tapi, hal tersebut tidak ada hubungannya dengan apa yang sedang kita bahas, bahkan cenderung mengaburkan fakta yang sesungguhnya. Yaitu fakta bahwa kenaikan biaya pendidikan di Indonesia sulit diimbangi oleh peningkatan gaji masyarakat. Herannya, mimpi pendidikan murah kok ya masih saja terus diobral saat kampanye.

Gitu amat mau mendulang suara. Mbok dipikirkan gimana caranya biar kenaikan biaya pendidikan itu nggak sampai nggilani. Jangan cuma rutin dijadikan janji politik tapi implementasinya nol.

Eh, ke mana aja, Mba? Kan ada bantuan, beasiswa, dll?

Maaf, Pak, Bu, izinkan saya untuk menjelaskan. Adanya bantuan memang turut meringankan biaya pendidikan. Tapi pertanyaannya, apakah sudah tepat sasaran? Bagaimana dengan distribusinya? Apakah sudah merata? Nggak bisa cuma sekadar nyah-nyoh kasih bantuan trus yakin permasalahan selesai. Contoh kasus, ada siswa di sekolah saya yang notabene tidak nelangsa-nelangsa amat, tapi bolak-balik namanya tercantum sebagai penerima bantuan. Sebaliknya, yang tunggakan SPP astaganaga banyaknya malah tidak pernah dapat bantuan.

Termasuk soal beasiswa tidak mampu. Anak seorang PNS, jelas tidak mungkin mengajukan surat keterangan tidak mampu demi mendapatkan beasiswa kuliah anaknya. Pasalnya, keluarga mereka dianggap mampu. Padahal apa? PNS itu, apalagi PNS daerah, gajinya ya segitu-gitu itu. Nggak bisa disamakan dengan Nurhali, PNS terkaya yang hartanya mencapai ratusan miliar. Lagian, ratusan miliar harta Nurhali itu juga bukan didapat dari umpul-umpul gaji bulanan dia sebagai PNS, kok. Tapi dari tanah harta warisan mertua.

Nah, dengan gaji yang segitu-gitu aja, ortu PNS tentu harus kerja keras demi membiayai kuliah anaknya. Ralat. PNS mau kerja sekeras apa pun juga gajinya ajeg, ding! Maka, tak ada pilihan lain selain menggadaikan SK ke bank. Iya, kalau SK-nya belum sekolah. Lha kalau sudah sekolah? Paling cuma dapat jujulan sekian puluh juta dari bank. Sementara biaya kuliah? Sampai ratusan juta~

Sebagai penutup dari tulisan ini, saya ingin mengingatkan bapak dan ibu politisi bahwa janji adalah utang. Ketika kalian menjanjikan pendidikan murah, maka sejatinya kalian sedang menuliskan catatan utang. Dan utang, haruslah dibayar. Padahal, kurang panjang apa coba catatan utang kalian selama masa kampanye? Ya utang di bank, ya utang di percetakan, ehhh masih ditambahi utang janji. Abot… Abot. 

Penulis: Dyan Arfiana Ayu Puspita
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Selamat Datang di Perguruan (Harga) Tinggi

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version