Toleransi Terhadap Perbedaan Kadar Kebahagiaan

toleransi kebahagiaan

toleransi kebahagiaan

Saya meyakini bahwa setiap individu hidup dalam frekuensinya masing-masing dengan perjuangan dan pengorbanan yang berbeda pada tiap pengambilan keputusan. Seringkali di antara kita lebih memilih menghakimi dibanding berdiskusi terhadap perbedaan dasar pemikiran. Padahal berbeda sudut pandang bukan berarti bermusuhan.

Suatu ketika dua orang teman saya sedang berdiskusi dan dihadapkan pada pendapat yang berbeda soal di usia berapa mereka akan menikah. Teman saya yang pertama, dia lebih memilih untuk menikah sebelum usia 30 tahun, sedangkan pendapat kedua, memilih setelah 30 tahun bahkan sebelum 40 tahun pun bukan masalah baginya.

Bagi saya yang hanya menjadi penengah dan pendengar, pendapat mereka berdua tidak ada yang salah, toh itu pilihan masing-masing. Bahkan, poin yang mereka utarakan melalui dua sudut pandang pun menarik.

Pertama, menurut teman saya yang ingin menikah sebelum usia 30 tahun, pada usia itu kondisi psikologis sudah cukup matang untuk mengemban tanggung jawab sebagai orang yang membina rumah tangga. Jika memiliki anak pun rentang perbedaan antara usia orang tua dan anak tidak terpaut jauh.

Selain itu, dalam mengurus anak, mengerjakan pekerjaan rumah, jika tidak ada asisten rumah tangga pun tidak menjadi masalah karena masih ada cukup tenaga untuk mengurus ini-itu. Baginya, di usia sebelum 30 tahun adalah soal produktif dalam bekerja juga dari berbagai aspek.

Dengan yakin teman saya menambahkan kembali bahwa menikah itu menambah berkah dan rezeki sekaligus pelengkap ibadah kepada Tuhan. Jika memang niatnya adalah baik sudah tentu disegerakan menikah menjadi opsi utama.

Teman saya yang satu lagi punya pendapat lain terkait ingin menikah di usia maksimal 40 tahun—bahkan dia sempat mengoreksi jika memang belum bertemu jodohnya ya nikmati saja hidup selagi masih single. Toh, itu bukan suatu permasalahan dan dosa besar—begitu menurutnya.

Lanjutnya, masih banyak yang bisa dilakukan meski menyandang status single. Berkumpul dengan teman, misalnya. Jika sudah menikah, belum tentu bisa mendaki gunung, travelling, nongkrong sampai tengah malam dan melakukan kegiatan lainnya sesuka hati. Sebab sudah ada istri yang selalu menanyakan kabar dan menunggu di rumah.

Fokus kepada karir pun bisa dilakukan jika memang belum juga menemukan jodoh. Selain sambil berusaha menemukan pasangan yang dirasa cukup ideal, mengumpulkan rezeki pun bisa dilakukan untuk modal di masa depan. Lagi, menurut teman saya, saat masih single adalah waktu di mana bisa menghabiskan waktu bersama orangtua, sekaligus membalas kebaikan yang sudah diberi.

Pendapat yang mereka jabarkan memiliki landasan yang kuat—karena itu bagi saya tidak ada yang salah di antara keduanya. Rasanya, mereka pun bisa menjawab dengan baik jika di hari raya bertemu dengan saudara lalu ditanya, “kapan nikah?” Ya, walaupun pertanyaan itu tidak perlu dianggap serius, karena buat saya itu hanya basa-basi tanpa menghiraukan kondisi. Lagipula kalau ingin menikah di hari lebaran dan saat itu juga—memangnya ada staf KUA yang masuk?

Dari apa yang mereka perbincangkan, saya menyadari bahwa kadar kebahagiaan seseorang itu berbeda—ada yang bahagia dengan pasangannya, lain juga kebahagiaan yang dirasa oleh mereka yang masih nyaman sendiri.

Lain halnya dengan contoh permasalahan tadi, teman saya yang lain bercerita bagaimana dia merasa bahagia dengan kesibukan yang dijalani, bekerja, berolahraga, merawat hewan peliharaan yang tidak jarang dianggap sebagai sahabat dan menemani kegiatan sehari-hari di rumah.

Lalu, ada juga teman saya yang merasa bisa melepas penat dengan menulis di blog pribadi dan bercerita tentang kesehariannya atau apa pun yang sedang dipikirkannya. Hal seperti ini bisa dijadikan hobi atau paling tidak menghasilkan uang—atau mungkin saya harus segera menginfokan untuk menjadi kontributor di Terminal Mojok?

Ada pula teman saya yang sangat nyaman bekerja sebagai freelancer. Apapun dia lakukan—menjual baju secara online, menjadi distributor, dan segala macam aktivitas lainnya yang dapat menghasilkan keuntungan selama halal dan tidak merugikan orang lain.

Pada akhirnya, perbedaan sudut pandang tidak perlu dibesar-besarkan atau dikategorikan sebagai suatu masalah, layaknya bhinneka tunggal ika, perbedaan kadar kebahagiaan membutuhkan toleransi. Jika itu memang bisa membuat bahagia selama tidak menyakiti orang lain, lakukanlah.

Exit mobile version