Jika diibaratkan lukisan, Tol Purbaleunyi seperti lukisan wajah yang pewarnaannya tidak sesuai sketsa
Menaati peraturan lalu lintas bukanlah idealisme semata. Bagi yang mengerti mekanisme peraturan-peraturan itu dibuat, pasti tahu kalau semua peraturan itu dibuat demi keamanan dan keselamatan pengguna jalan. Dan hukuman yang berat juga pastinya memaksa pengguna jalan untuk taat pada aturan lalu lintas. Bagaimanapun juga, seringan apa pun kecelakaan, tidaklah menyenangkan.
Khususnya peraturan tentang kecepatan, sudah tidak perlu dipikirkan lebih jauh mengapa kecepatan dalam berkendara harus dibatasi. Tentunya saya juga sebagai pengendara tidak ingin celaka sehingga pengennya sih memacu kendaraan tidak melebihi batas kecepatan yang ditentukan. Apalagi kebijakan ETLE yang bisa secara tiba-tiba mengirimkan surat cinta ke rumah juga menjadi tantangan tersendiri.
Hanya saja, tidak semudah itu menaati batas kecepatan di tol, khususnya Tol Purbaleunyi yang biasa saya lewati setiap hari. Tantangannya begitu berat untuk menaati batas kecepatan dengan berbagai rintangan yang ada.
Saya adalah seorang mahasiswa yang berkuliah di salah satu politeknik negeri yang cukup terkenal di Bandung. Saya biasa melewati Tol Purbaleunyi, masuk tol di Padalarang dan keluar di Pasteur. Hanya jalan-jalan sedikit di daerah Sarijadi, sudah, langsung sampai di kampus tercintaku itu.
Tapi aslinya, Tol Purbaleunyi itu menghubungkan Purwakarta, Bandung, dan Cileunyi. Daerah-daerah penting dan semua orang Bandung pasti tahu.
Tapi sebelum itu, biarkan terlebih dahulu dulu saya jelaskan faktor utama yang menjadi struggle di sini. Karena perjalanannya tidak sesederhana masuk-keluar tol, jalan-jalan sedikit, lalu sampai di kampus.
Daftar Isi
Padalarang yang sibuk
Padalarang adalah salah satu daerah di Bandung Barat, dan dapat saya katakan juga sebagai daerah yang paling sibuk. Karena, banyak jalur masuk dan keluar Padalarang terhubung ke daerah-daerah penting. Entah itu dalam hal produksi, distribusi, maupun jalur transportasi entah itu umum atau pribadi.
Terdapat jalur dari arah Purwakarta, yang kalau ditelusuri terus hingga mentok akan bertemu Jakarta. Selain itu ada dari arah Cipatat yang kalau diteruskan munculnya di Bogor. Selain itu, terdapat juga jalur yang bisa langsung menuju Lembang, salah satu daerah wisata yang kalau hari Sabtu banyak plat B-nya. Dan yang paling penting, Padalarang terhubung juga dengan jalur yang menuju ke Kota Cimahi, dan kalau diteruskan akan menuju ke Kota Bandung, dan ujungnya ke Cileunyi.
Bayangkan saja, berapa truk yang datang dan numpang lewat di Padalarang jika tidak ada Tol Purbaleunyi ini. Tidak hanya truk, masih ada mobil box, mobil van pengangkut paket, bus dari yang besar sampai kecil, sampai ke kendaraan pribadi.
Daerah yang terhubung dengan Tol Purbaleunyi
Seperti yang dijelaskan tadi, Padalarang merupakan daerah yang sangat sibuk. Sehingga, keberadaan tol ini jelas akan memberikan kemudahan untuk transportasi darat minimal roda empat. Dampaknya (yang diharapkan) adalah jalan umum tidak terlalu macet, atau kalau bisa tidak macet sama sekali.
Daerah atau wilayah yang terhubung dengan Tol Purbaleunyi kalau dihitung dari Padalarang, sih, pertama adalah Baros, Cimahi. Daerah ini dekat dengan Leuwigajah, di mana banyak pabrik atau industri yang berdiri. Itu artinya, daerah ini sudah pasti cukup sibuk. Keberadaan tol sangat berguna di sini.
Kedua adalah Pasteur. Biasanya, Si Paling Lembang pasti tahu jalur ini. Terlebih jika nyali dan kesabarannya hanya setipis tisu, terlalu tipis untuk melewati jalur Cisarua. Tapi tidak hanya ke Lembang. Gerbang Pasteur yang biasa saya lewati ini juga mengarah ke ITB tentunya, ada Dago, dan ada gedung milik PT Kimia Farma. Masih ada jembatan Pasupati atau yang sekarang namanya Jalan Layang Prof. Mochtar Kusumaatmadja, yang kalau diteruskan jalannya akan tersambung sampai ke Cileunyi juga.
Ketiga adalah Pasir Koja. Keluar dari tol ini adalah Jalan Soekarno Hatta yang tersambung dengan Cileunyi juga. Tidak perlu ditanyakan seberapa macetnya. Truk, bus, kendaraan pribadi, semuanya memadati jalur ini. Keempat, ada Kopo. Lokasi yang juga tidak perlu ditanyakan seberapa ramainya. Kelima, Buah Batu. Lebih parah dari Kopo.
Terakhir, Cileunyi. Sudah jelas karena ini adalah ujung dari Tol Purbaleunyi.
Jadi, pasti terbayang seberapa sibuknya Tol Purbaleunyi ini jika dilihat dari daerah-daerah yang dihubungkannya. Belum lagi ditambah dengan gerbang-gerbang dari Padalarang ke arah Purwakartanya.
Sulitnya menaati batas kecepatan
Dari masuk gerbang tol saja, orang yang awam pasti akan dibingungkan dengan jalan yang salah satunya mengarah ke atas dan satunya lagi mendatar. Yang semakin membuat sulit adalah truk-truk yang biasanya parkir di tepi-tepi jalan dan rasanya sangat mengganggu karena membuat kendaraan pada akhirnya berebut jalur.
Sekarang adalah bagian terpentingnya. Setelah masuk tol, bayangkan saja seberapa sibuk daerah-daerah yang dihubungkan oleh tol ini, sehingga terbayang berapa jenis kendaraan dan jumlahnya yang turut meramaikan jalan tol ini.
Sekilas, memang ada tiga lajur di sepanjang jalan tepatnya sebelum persimpangan menuju ke Pasteur. Hanya saja, para pengemudi truk yang sangat baik hati itu berkendara dengan kecepatan 30 sampai 40 kilometer per jam di sisi paling kiri. Sehingga memaksa beberapa truk lain yang kecepatannya lebih cepat 5-10 kilometer per jam menyalip dari lajur tengah. Tinggal sisa lajur kanan. Berapa batas kecepatan minimalnya? 60 km/jam.
“Kalo gitu, ambil lajur kanan, selesai dong masalahnya?”
Oh, tentu tidak. Kadang truk yang pelan-pelan seperti itu pun kadang mengambil lajur kanan. Tapi seringnya, saya tidak akan bisa berlama-lama di jalur kanan itu karena sudah pasti diberi lampu tembak yang menyilaukan bukan main, bahkan ketika di siang hari. Kalau saya tidak memberinya jalan, yang terjadi hanyalah dua kemungkinan: dia menyalip dari sisi kiri dengan memaksa, atau dia mengklakson panjang. Amit-amit kalau sampai meminta menepi dan ngajak ribut.
Jadi, pilihan yang tersedia hanyalah dua: ikut mengebut bersama Si Paling Kencang di lajur kanan, atau ikut merayap dengan para pencari nafkah di lajur tengah dan kiri. Pastinya, sama-sama melanggar batas kecepatan.
Bisa, sih, menaati. Tapi kalau jalurnya sedang kosong.
Jalur yang sangat “mulus”
Bukan Indonesia kalau lubang di jalan tidak berpindah, tidak terkecuali jalan tol. Saya yang tiap hari melewati jalan itu pun sampai tidak bisa menghafalkan di mana saja ada lubang. Ditambal satu, muncul yang baru. Kalau cat semprot yang biasa digunakan untuk melingkari lubang-lubang di jalan tidak pernah luntur, mungkin jalanan sudah berwarna putih.
Jalan yang “mulus” ini diperparah dengan karya seni hasil truk yang entah ODOL atau tidak. Aspalnya rusak, terasa seperti ribuan polisi tidur.
Kelakuan pengendara yang bikin ngelus dada
Satu lagi aspek yang menjadi seni. Yakni kelakuan para pengendara yang membuat saya (salah satunya) dan mungkin pengendara lain ingin berteriak dan kalau bisa menabrakkan diri pada pengendara tersebut.
Kalau untuk mobil pribadi, biasanya mobil-mobil dari luar kota mengebut dengan kecepatan cahaya. Bahkan ketika saya sudah memacu mobil saya hingga kecepatan 100 km/jam pun mobil-mobil itu masih terlihat melesat cepat. Entah berapa kecepatannya. Mungkin seburu-buru itu mereka mengejar sampai ke kantor.
Belum lagi kalau bertemu dengan pengguna wiu wiu tot tot yang semakin hari semakin beragam kelakuannya. Chevron marka diterobos, bahu jalan diambil, dan lain-lain. Kadang tiba-tiba mepet sampai membuat kaget, tapi kami tidak berani mengklakson karena bisa saja urusannya jadi panjang.
Dan itu belum seberapa. Karena truk-truk yang merayapnya luar biasa itu masih membuat resah karena sering kali lampu belakangnya mati total. Jadi, tidak ada lampu rem dan lampu sen. Sehingga, kadang dikagetkan dengan truk yang tiba-tiba merapat ke kiri dengan cepat, atau mendadak lambat, dan lain sebagainya.
Masih belum puas? Masih ada bus luar kota yang suka berhenti seenak jidatnya. Dari jalur kanan bisa tiba-tiba geser ke jalur kiri seolah tidak ada kendaraan lain di sampingnya. Dan berhenti begitu saja. Lalu maju, mengebut lagi, seperti tidak ada dosa.
Sebuah seni yang butuh sentuhan baru
Dan masih banyak lagi hal yang membuat saya lebih banyak berdoa setiap harinya saat melewati jalur tersebut. Namun setidaknya, jalan Tol Purbaleunyi menjadi sangat berseni untuk dilewati dengan kesulitan-kesulitan tadi yang jelas tidak main-main.
Jika diibaratkan lukisan, ini seperti lukisan wajah yang pewarnaannya tidak sesuai sketsa. Banyak cat yang keluar dari garis, dan banyak juga garis yang belum terwarnai. Namun cat yang sudah berada di kanvas tidak bisa dihapus. Perlu seni yang lebih indah untuk menutupi kesalahan-kesalahan tersebut.
Penulis: Fawwaz Alif
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Berhenti dari BPJS Kesehatan Hanya Bisa Dilakukan dengan Satu Cara