Tokyo Revengers: Awalnya Mahakarya, Berakhir Jadi Sampah

Tokyo Revengers: Awalnya Mahakarya, Berakhir Jadi Sampah

Tokyo Revengers: Awalnya Mahakarya, Berakhir Jadi Sampah (Akun Instagram @tokyorevengersofficial)

Bagi kalian yang belum tamat baca manga Tokyo Revengers, saya beri peringatan, artikel ini berisi spoiler. Tanggung sendiri risikonya, ya.

Mau tak mau, saya harus mengatakan ini. Meski harus menerima risiko diserang fans Baji dan Mikey sedunia, tak mengapa, tapi, kebenaran harus saya sampaikan. Tokyo Revengers, adalah manga dengan ending paling buruk. Sampah, menyedihkan, apa pun itu, pantas disematkan pada manga ini.

Saya tidak bisa memahami, kenapa manga dengan tingkat bunuh-bunuhan yang lumayan banyak, punya ending yang sebelas-dua belas dengan film-film Disney. Seakan-akan, mangaka tertekan oleh para fans yang tak terima dengan matinya tokoh favorit mereka. Seakan-akan, ending dibuat memang untuk main aman, atau malah berusaha menyenangkan segala pihak.

Kau tau apa yang terjadi ketika kau berusaha menyenangkan semua pihak? Betul, bencana.

Tokoh mati memang sebaiknya tetap mati. Dihidupkan, boleh, tapi kalau ujungnya seperti Tokyo Revengers, saya pikir itu mah bodoh. Ada alasan kenapa tokoh mati dibiarkan tetap mati, dan tentu saja salah satunya adalah pengembangan tokoh utama.

Meninggalnya Kawachi Tesshou memberi ruang untuk Kiyohiro Yoshimi menunjukkan kapabilitasnya, dan memberi pelajaran pada Murata Shougo agar jadi pemimpin Busoh Sensen (T.F.O.A) yang baik. Matinya Jiraiya adalah katalis bagi Naruto, agar ia bisa jadi ninja yang lebih hebat.

Hell, bahkan matinya Portgas D. Ace adalah hal yang dibutuhkan, agar The Summit War of Marineford punya arti untuk semua tokoh. All I want to say is, tokoh mati punya alasan, dan alasan itu baru terlihat jika tokoh tersebut tetap mati.

Saya tak tahu kenapa dengan gegabah, semua tokoh yang mati, atau berakhir mengenaskan, dihidupkan kembali di akhir cerita Tokyo Revengers, dan diberi akhir yang bahagia. Ini manga delinquent apa Disney goes manga?

Awalnya bagus, lama-lama jadi hancur

Bicara manga delinquent, kita tidak bisa melepaskan diri dari Crows dan Worst. Dua manga bikinan Takahashi Hiroshi tersebut tak bisa dimungkiri, adalah salah satu manga delinquent terbaik. Bisa dibilang, manga tersebut jadi kiblat atau indikator untuk menentukan manga tersebut berkualitas atau tidak. Tokyo Revengers pun tak bisa luput dibandingkan dari manga ini, sebab ya, genrenya sama. Wong nama gengnya aja mirip. Manji Empire, basisnya di Tokyo. Terus Tokyo Manji Gang… sambungin sendiri ya.

Di dua manga tersebut, ada tokoh meninggal yang jadi katalis untuk pengembangan tokoh. Kematian Jinnai Kouhei dan Kawachi Tesshou jadi turning point untuk banyak tokoh. Meski matinya tokoh tersebut tak berpengaruh banyak untuk Suzuran, tapi tokoh-tokoh lain terlihat punya pandangan baru dalam hidup setelah kejadian tersebut.

Misal, Parko dan kawan-kawan jadi lebih memaknai hidup dan tak lagi seberingas dulu setelah kematian Jinnai Kouhei. Murata Shougo dan Tsukishima Hana seakan-akan hanya bertarung demi “greater cause”. Terlihat dari Hana yang tak memberi kesempatan kawan yang terluka untuk bertarung lagi.

Semenjak kematian tersebut, cerita beralih ke tone yang lebih “hangat” dan cerita yang lebih berkembang. Sepertinya memang formulanya begitu: kematian, bikin orang-orang yang hidup untuk bertarung, merevisi lagi makna kehidupan bagi mereka.

Sebenarnya, Tokyo Revengers sudah dalam “jalur yang benar”. Takemitchy punya determinasi tiap ada tokoh yang mati, dan ceritanya berkembang. Tapi masalahnya, penyelesaiannya jadi itu-itu melulu. Setelah mentok, akhirnya diambil cara paling konyol: hidupkan semua tokoh yang mati, kasih akhir yang bahagia.

Padahal sebenarnya, manga itu nggak harus punya akhir yang bahagia. Bouya Harumichi itu nggak punya ending yang bahagia lho. Apanya yang bahagia kalau ngulang kelas? Tiap tokoh pun nggak harus punya ending yang bahagia. Jiraiya itu contoh bagus, dia memang harus mati dan dibiarkan mati. Kenapa? Kalau dia masih ada, saya pikir, Naruto akan tetap jadi ninja yang medioker.

Sebenarnya ya, Tokyo Revengers itu udah bermasalah semenjak Three Deities arc. Terlihat kalau manga ini jadi trying too hard untuk lanjut. Seakan-akan, dipaksa jadi happy ending. Kita menemui kasus ini pada Naruto. Banyak orang setuju, seharusnya Naruto berakhir pas Pain arc. Cukup, nggak harus lanjut. Sasuke nggak harus balik Konoha, Kaguya tak perlu ada. Dan ketika dipaksa, jadinya bencana. Bencana itu bernama Boruto.

Akhir yang amat sangat naif, serta plot yang terlalu dipaksa, bikin Tokyo Revengers jadi manga sampah. Manga yang awalnya punya cerita level dewa, jadi manga yang bikin mengumpat. Rasa-rasanya, ending Bleach dan Attack on Titan jadi kelihatan mendingan.

Sumber gambar: Akun Instagram @tokyorevengersofficial

Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Review Tokyo Revengers Live Action: Terburu-buru dan Sangat Melelahkan

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version