Bicara manga delinquent, kita tidak bisa melepaskan diri dari Crows dan Worst. Dua manga bikinan Takahashi Hiroshi tersebut tak bisa dimungkiri, adalah salah satu manga delinquent terbaik. Bisa dibilang, manga tersebut jadi kiblat atau indikator untuk menentukan manga tersebut berkualitas atau tidak. Tokyo Revengers pun tak bisa luput dibandingkan dari manga ini, sebab ya, genrenya sama. Wong nama gengnya aja mirip. Manji Empire, basisnya di Tokyo. Terus Tokyo Manji Gang… sambungin sendiri ya.
Di dua manga tersebut, ada tokoh meninggal yang jadi katalis untuk pengembangan tokoh. Kematian Jinnai Kouhei dan Kawachi Tesshou jadi turning point untuk banyak tokoh. Meski matinya tokoh tersebut tak berpengaruh banyak untuk Suzuran, tapi tokoh-tokoh lain terlihat punya pandangan baru dalam hidup setelah kejadian tersebut.
Misal, Parko dan kawan-kawan jadi lebih memaknai hidup dan tak lagi seberingas dulu setelah kematian Jinnai Kouhei. Murata Shougo dan Tsukishima Hana seakan-akan hanya bertarung demi “greater cause”. Terlihat dari Hana yang tak memberi kesempatan kawan yang terluka untuk bertarung lagi.
Semenjak kematian tersebut, cerita beralih ke tone yang lebih “hangat” dan cerita yang lebih berkembang. Sepertinya memang formulanya begitu: kematian, bikin orang-orang yang hidup untuk bertarung, merevisi lagi makna kehidupan bagi mereka.
Sebenarnya, Tokyo Revengers sudah dalam “jalur yang benar”. Takemitchy punya determinasi tiap ada tokoh yang mati, dan ceritanya berkembang. Tapi masalahnya, penyelesaiannya jadi itu-itu melulu. Setelah mentok, akhirnya diambil cara paling konyol: hidupkan semua tokoh yang mati, kasih akhir yang bahagia.
Padahal sebenarnya, manga itu nggak harus punya akhir yang bahagia. Bouya Harumichi itu nggak punya ending yang bahagia lho. Apanya yang bahagia kalau ngulang kelas? Tiap tokoh pun nggak harus punya ending yang bahagia. Jiraiya itu contoh bagus, dia memang harus mati dan dibiarkan mati. Kenapa? Kalau dia masih ada, saya pikir, Naruto akan tetap jadi ninja yang medioker.
Sebenarnya ya, Tokyo Revengers itu udah bermasalah semenjak Three Deities arc. Terlihat kalau manga ini jadi trying too hard untuk lanjut. Seakan-akan, dipaksa jadi happy ending. Kita menemui kasus ini pada Naruto. Banyak orang setuju, seharusnya Naruto berakhir pas Pain arc. Cukup, nggak harus lanjut. Sasuke nggak harus balik Konoha, Kaguya tak perlu ada. Dan ketika dipaksa, jadinya bencana. Bencana itu bernama Boruto.
Akhir yang amat sangat naif, serta plot yang terlalu dipaksa, bikin Tokyo Revengers jadi manga sampah. Manga yang awalnya punya cerita level dewa, jadi manga yang bikin mengumpat. Rasa-rasanya, ending Bleach dan Attack on Titan jadi kelihatan mendingan.
Sumber gambar: Akun Instagram @tokyorevengersofficial
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Review Tokyo Revengers Live Action: Terburu-buru dan Sangat Melelahkan