Pendidikan adalah hal yang sangat penting di era yang mendewakan selembar ijazah digital ini. Pemerintah terus menggembar gemborkan pentingnya untuk bersekolah. Kami orang dari timur Indonesia juga paham dengan hal ini. Itulah kenapa kami terus semangat untuk terus bersekolah walaupun dengan kondisi yang tidak begitu baik.
Tentunya kalian pernah membaca berita bagaimana anak-anak yang rela berjalan belasan hingga puluhan kilometer hanya untuk pergi ke sekolah. Melewati lembah, mendaki gunung, secara harfiah—tidak pernah mematahkan semangat anak-anak timur untuk bersekolah.
Ketika siswa siswa di ibukota sudah merasakan yang namanya laboratorium komputer, orang timur mah boro-boro laboratorium komputer, atap ruang kelas aja masih ada yang bocor. Entah siapa yang mau disalahkan, walaupun saya nggak yakin pemerintah sudah berupaya dengan keras untuk membangun pendidikan di daerah timur Indonesia.
Saya akan membagi sedikit pengalaman sebagai orang timur (yah walaupun gak timur timur amat) bagaimana kondisi sekolah saya dulu.
Mungkin sedikit miris lucu, tapi ini nyata boi, selama saya bersekolah dari sekolah dasar sampai saya kuliah, kenapa toilet nggak pernah ada yang bener. Pasti selalu ada masalah. Bikin malas pergi ke toilet. Padahal kan toilet ini adalah fasilitas yang vital yang tidak kalah pentingnya bagi para siswa maupun guru. Penting sekali—utamanya dalam kelancaran menerima pelajaran.
Waktu saya masih jadi siswa Sekolah Dasar (nama sekolah tidak akan saya sebutkan, untuk menjaga nama baik sekolah), toiletnya bermasalah. Pintunya gak bisa ditutup boi. Kuncinya rusak, jadi kalo buang air harus sambil megangin pintunya. Mentok-mentok diganjal pake batu atau kayu. Bayangin aja, kau lagi boker—sambil mengejan—kau juga sambil megangin pintu. Karena sekali ada yang datang dan ngedorong pintunya, kelar idup kau boi. Bisa jadi aib seumur hidup. Kalau di film-film bisa boker sambil main HP, di sini mustahil.
Waktu saya masuk SMP, lebih parah lagi boi. Nggak ada toilet sama sekali. Nihil. Pertama kali ke toiletnya, bukan debu lagi yang ada, malahan dijadiin gudang. Alhasil, kau gak bisa boker atau bahkan sekedar kencing di tempat yang damai boi. Kalo mau kencing, harus masuk semak. Yah nasib.
Suatu ketika, pas mau masuk pelajaran matematika, saya kebelet boker boi. Nggak mungkin ke semak dong. Sudah berusaha nahan, sambil megang batu kerikil di tangan malah, tapi tetap aja gak bisa. Si kampret tetap memberontak mau keluar. Rasanya kayak lagi jatuh cinta lah, rindunya susah ditahan, berat. Alhasil, terpaksa saya harus pulang ke rumah.
Dengan meminjam sepeda teman, saya gowes tuh sepeda dengam kecepatan maksimal. Bayangin aja boi, rasanya mau boker tapi harus mengayuh sepeda di kondisi jalan yang kurang bagus sejauh kurang lebih satu kilometer. Keringat dingin lah kau. Pas tiba di rumah, bak satria baja hitam yang loncat dari belalang tempurnya saat menghadapi musuh, tanpa basa basi saya turun dengan sepeda terbanting. Mau boker aja perjuangannya luar biasa.
Pas masuk SMA, kirain toiletnya bakal kayak yang saya nonton di TV. Toiletnya bersih, ada kaca buat cermin. Perfect dah. Taunya nggak jauh beda boi—walaupun nggak separah waktu saya SD dan SMP, tapi tetap aja kondisinya memprihatinkan—bikin ragu buat ke toilet. Toiletnya udah bau, temboknya penuh dengan kata-kata mutiara dan lukisan lukisan karya siswa, plus letaknya persis di samping kantin sekolah. Kalau mau ke toilet, takut kedengaran ‘bunyi’-nya sama yang lagi makan di kantin. Sekolah ini bukan sekolah kecil boi. Salah satu sekolah ternama di Kabupaten. Ratusan siswa ada disini buat belajar, tapi toiletnya hanya ada dua bilik, bersampingan. Hanya dibedakan tulisan di pintunya, laki laki dan perempuan. Sedangkan Guru punya toilet tersendiri.
Setelah tiga tahun di SMA, saya masuk kuliahlah di salah satu universitas di kota provinsi. Bisa dibilang salah satu yang di perhitungkan lah di Indonesia. Dan ya, toiletnya sudah lebih mendingan, walaupun belum bisa dikatakan baik. Menurutku. Bayangkan saja, toilet untuk sekaliber salah satu universitas ternama di Indonesia, pintunya masih ada yang rusak. Masih harus diganjal pake batu atau balok. Toiletnya kadang juga mampet boi. Nggak bisa sama sekali dipake meditasi. Tak jarang kami mahasiswa memakai toilet yang sebenarnya diperuntukan untuk dosen-dosen. Yah walaupun kondisinya tidak lebih baik. Pintunya udah bolong. Harus ditutupin pake kertas biar nggak ada yang ngintip.
Pernah kampus saya dipercayakan untuk meng-handle sebuah kegiatan nasional dari DIKTI—perhelatan yang sangat besar dan dihadiri berbagai macam universitas dari seluruh Indonesia. Ada semacam angket yang dibagikan kepada peserta untuk mengetahui tingkat kepuasan peserta kegiatan terhadap penyelenggaraan kegiatan. Rata-rata tingkat kepuasan peserta acara ini adalah sekitar 80 persen, tapi ketika tiba di poin kepuasaan mengenai pelayanan toilet (kurang lebih seperti itu poinnya), hanya mencapai sekitar 20an persen. Miris, tapi itulah faktanya.
Kalau kondisi toiletnya seperti itu, gak heran sih kenapa cewek sukanya gerombolan kalau ke toilet. Selalu minta di temenin buat jaga depan pintu. Takutnya ada yang masuk tiba tiba. Yah, begitulah faktanya.
Saya penasaran dengan fasilitas toilet sekolah-sekolah di Jawa sana. Apakah memang seperti yang kami bayangkan lewat tayangan-tayangan TV, atau malah sama saja dengan kami yang ada di timur ini? Apakah ketimpangan pendidikan hanyalah imajinasi kami?
Saya yang awam ini kadang berpikir, dana BOS buat sekolah sekolah sebenarnya diperuntukan untuk apa sih. UKT mahal mahal yang dibayarkan mahsiswa tiap srmester itu untuk apa. Apakah memang dana-dana itu tidak ada peruntukannya untuk toilet, atau gimana? Mungkin saya yang kurang paham dengan mekanisme peruntukan dana pendidikan ini.
Entah siapa yang salah. Orang orang birokrasi institusi pendidikan, atau memang siswanya saja yang kurang baik. Boker sambil latihan silat.