Tingkat Egaliter Seseorang Diukur dari Tempat Duduknya

Tingkat Egaliter Seseorang Diukur dari Tempat Duduknya Terminal Mojok

Sebuah ungkapan klasik yang sering kita dengar mengatakan, “Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.” Jika bicara relevansinya, tentu peribahasa itu cukup relevan. Ketika seseorang duduk akan terlihat sama rendahnya, begitu juga saat berdiri juga nampak sama tingginya. Jika kita bicara kesetaraan, tentu lebih memilih berdiri sama tinggi. Memang benar bahwa saat seseorang berdiri tinggi badannya berbeda, tetapi secara tingkatan dianggap sama. Hal ini justru berbeda dengan duduk. Saat seseorang duduk, ternyata malah menampakkan perbedaannya. Perbedaan tersebut salah satunya nampak dari alat atau tempat duduknya. Semakin bagus tempat duduknya, maka semakin tinggi kedudukannya.

Istilah tempat atau alat untuk duduk disebut dengan kursi. Pada umumnya, kursi dicirikan dengan benda yang memiliki empat kaki penyangga yang menopang alas duduk serta ada penyangga pundak yang sejajar dengan dua kaki belakangnya.

Definisi tersebut mungkin bisa disepakati bersama menurut bahasa Indonesia, tetapi dalam bahasa Jawa, mendefinisikan tempat duduk tidak semudah itu. Hal ini karena ada banyak sekali tempat duduk dan sebutannya dalam bahasa Jawa. Penyebutan tersebut sekaligus menandakan tingkat egaliter orang-orang yang mendudukinya.

Pertama adalah lesehan. Sebenarnya lesehan ini adalah posisi duduk, bukan tempat duduk. Alas duduk lesehan bermacam-macam sehingga tidak mungkin untuk dibakukan dalam satu alat saja. Alas duduk lesehan biasanya berupa karpet, tikar, daun, bahkan sandal bisa jadi alas duduk atau mungkin tidak memakai alas duduk sama sekali.

Orang yang suka duduk lesehan biasanya memiliki jiwa egaliter yang tinggi. Mereka memiliki sifat tenggang rasa, karena dalam kondisi dan situasi apa pun kedudukannya tetap sama. Saat duduk bersila, selonjoran, sekalipun tiduran, ada perasaan sama bahwa mereka duduk sejajar dan dalam posisi yang sama rata, sama rasa.

Tempat duduk kedua adalah dhingklik. Dhingklik adalah tempat duduk yang terbuat dari selembar papan berukuran kecil, kira-kira 30 cm x 15 cm, dengan dua penyangga yang memiliki tinggi proporsional. Dhingklik merupakan tempat duduk yang sederhana, sampai-sampai ada ungkapan yang mengatakan “wong cilik lungguhe dhingklik” atau rakyat itu duduk di dhingklik.

Sebenarnya, keberadaan dhingklik merupakan sebuah sarana interaksi yang terbuka dan egaliter setelah lesehan. Ketika beberapa orang sudah berkumpul dalam forum dhingklik, biasanya mereka akan membaur dan merasa sama. Kalau orang-orang di desa, biasanya mereka duduk menggunakan dhingklik di sekitar tungku untuk menghangatkan tubuh sambil ngopi atau sekadar ngobrol sana-sini.

Saya masih ingat beberapa waktu yang lalu saya pergi jagong bersama teman-teman. Pembahasan kami pun bermacam-macam mulai dari vaksinasi, kuliah daring, pilkada serentak, bahkan sampai urusan mancing pun jadi bahan diskusi asik dan penuh canda tawa di forum dhingklik.

Walaupun terkesan sederhana, dhingklik sebenarnya juga mengajarkan etika. Dalam mengatur posisi duduk, seseorang diwajibkan mampu beradaptasi dengan keadaan. Tidak boleh duduk mengangkang atau selonjoran sehingga menghalangi orang lain. Duduk yang pas adalah sewajarnya dan luwes. Inilah yang menjadi pegangan hidup bahwa kebebasan maupun sikap egaliter itu hendaknya jangan terlalu bebas, tetapi juga ada beberapa patokan yang perlu diperhatikan.

Tempat duduk yang ketiga adalah lincak. Jika digambarkan, lincak memiliki bentuk seperti dhingklik, tapi lebih panjang dan besar. Jika kaki penyangga dhingklik cukup dua, maka kaki penyangga lincak dibuat empat bagian. Kita bisa menemui lincak sebagai tempat duduk di warung makan, angkringan, maupun warung kopi pinggir jalan.

Jika kita bandingkan dengan dhingklik, orang-orang yang duduk di lincak tidak sebebas mereka yang duduk di dhingklik. Kesamaan antara egaliternya orang yang duduk di dhingklik dan lincak angkringan adalah serba luwes. Apa saja yang disampaikan tidak kaku dan mengalir begitu saja. Mulai dari aspek politik, ekonomi, bahkan urusan skripsi yang tidak kunjung kelar menjadi bahan pembicaraan.

Hal yang membedakan adalah obrolan-obrolan yang menjadi buah bibir di masyarakat biasanya lebih serius, walaupun diselingi oleh guyonan. Di sinilah biasanya muncul jarak agar obrolan santai tetap hangat, serta menghindari perpecahan yang mungkin muncul dari kesalahpahaman.

Tempat duduk yang keempat adalah kursi. Seperti yang sudah disampaikan, kursi sangat berbeda dengan lincak maupun dhingklik. Kursi adalah simbol kesempurnaan dan kenikmatan dalam duduk. Selain unsur kenikmatan, kursi merupakan simbol etika tinggi dan kekuasaan.

Biasanya, kursi memiliki relasi dengan meja. Keduanya mencerminkan sikap-sikap formal dan “kaku” dalam berkomunikasi lantaran hanya ada di beberapa tempat seperti ruang tamu, ruang rapat, dan sebagainya. Di sinilah mulai nampak perbedaan bahwa privasi dalam berbicara sangat diperhatikan.

Dalam posisi duduk misalnya, seseorang yang berada di kursi tidak boleh duduk jegang karena dianggap tidak sopan. Tidak hanya posisi kaki saja, dalam mengatur posisi tempat duduk pun ada pembedanya. Dalam forum-forum resmi, kursi VVIP pasti memiliki posisi dan fasilitas yang berbeda dengan kursi biasanya. Jika posisi kursi makin ke belakang, maka kedudukan seseorang semakin berbeda.

Sebagai simbol kekuasaan, kursi melambangkan derajat atau pangkat dalam pemerintahan. Orang yang mampu menduduki kursi ini bukan sembarang orang, yakni hanya orang-orang terpilih saja yang bisa duduk di atasnya. Dari atas kursi tersebut, mereka bisa memerintahkan siapa yang duduk di bawahnya. Maka, sering kita mendengar kompetisi orang-orang yang menginginkan kursi kekuasaan itu.

Sikap egaliter atau tidak, sebenarnya merupakan sebuah relativitas saja. Artinya ada juga yang memiliki “kursi bagus”, tetapi sikapnya merakyat seperti “lincak” atau “dhingklik”. Sayangnya, jarang sekali orang yang bersikap demikian, apalagi setelah duduk di kursi kemudian duduk di dhingklik atau lesehan. Hanya mereka yang memahami penyifatan tempat duduk saja yang mampu menjalankan sikap egaliter tak berbatas.

BACA JUGA Pandawa Adalah Simbol Yin-Yang, Mengajarkan Keseimbangan dalam Diri Manusia dan tulisan Mukhammad Nur Rokhim lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version