Tinggal di Kabupaten Magelang: Dekat Borobudur, tapi Tidak Pernah Merasa Hidup di Tempat Wisata

Tinggal di Kabupaten Magelang: Dekat Borobudur, tapi Tidak Pernah Merasa Hidup di Tempat Wisata

Tinggal di Kabupaten Magelang: Dekat Borobudur, tapi Tidak Pernah Merasa Hidup di Tempat Wisata (unsplash.com)

Saya lahir dan besar di Kabupaten Magelang. Artinya, sejak kecil saya hidup tidak jauh dari Borobudur. Namanya akrab, fotonya sering muncul di buku pelajaran, di baliho jalan, bahkan di kalender yang tergantung di ruang kelas.

Akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari, Borobudur tidak pernah benar-benar menjadi urusan yang istimewa. Bagi saya, Borobudur lebih sering jadi penanda arah daripada destinasi. Patokan jalan. “Belok sebelum Borobudur.” “Lewat belakang Borobudur saja biar tidak macet.” Hubungan kami praktis, bukan penuh kekaguman. Ia ada, tapi tidak mengatur ritme hidup saya.

Orang datang dari jauh untuk melihat Borobudur. Saya justru tumbuh dengan kebiasaan melewatinya tanpa berhenti. Bukan karena tidak bangga, tapi karena sejak awal ia memang tidak ditempatkan sebagai tujuan hidup.

Kadang saya sengaja memperhatikan wisatawan yang datang. Mereka sibuk foto di sana-sini, sementara saya lewat dengan sepeda atau motor kecil saya, sambil menyapa tetangga. Ada satu momen lucu: seorang turis mencoba mencari pintu masuk dari sisi belakang Borobudur, sementara saya hanya tersenyum dan melewati jalan kampung yang sama setiap hari. Rasanya seperti hidup di dua dunia yang bersebelahan, tapi tidak pernah benar-benar bertemu.

Di Kabupaten Magelang, warga hidup dekat tempat wisata tapi hari-hari tetap biasa

Tinggal dekat tempat wisata besar di Kabupaten Magelang seperti Borobudur tidak otomatis membuat hidup terasa seperti liburan. Yang terasa justru dampak-dampak kecil yang praktis. Misalnya jalan ditutup saat libur panjang, arus kendaraan mendadak padat, bus besar masuk kampung. Beberapa warung jadi harus mengatur jam buka lebih awal agar turis tidak terganggu. Semua itu kadang bikin saya harus menyesuaikan rute sekolah atau kerja.

Di luar itu, hidup tetap berjalan seperti biasa. Pasar pagi tetap ramai dengan ibu-ibu yang menawar sayur dan cabai. Sawah tetap digarap. Burung-burung masih berkicau di pagi hari. Warung kopi tetap jadi tempat orang membicarakan hujan, pupuk, harga cabai, dan gosip tetangga bukan soal sejarah candi.

Wisata datang dan pergi. Kami yang tinggal di Kabupaten Magelang tetap menjalani hari. Kadang, keheningan setelah rombongan turis pergi membuat kampung terasa lebih hidup daripada saat ramai.

Borobudur terkenal, candi lain di Kabupaten Magelang terlalu sunyi

Kabupaten Magelang tidak hanya Borobudur. Ada Mendut, Pawon, Ngawen, Selogriyo, dan banyak candi kecil lain yang sering luput disebut. Menurut data BPS Kabupaten Magelang, setidaknya ada 14 candi di kabupaten ini. Tapi hidup dekat Borobudur membuat semua itu seperti berada di bayangan.

Borobudur menyerap perhatian, sementara yang lain kebagian sunyi. Padahal bagi warga lokal, candi-candi kecil itu justru lebih dekat secara emosional. Lebih sepi, lebih tenang, dan tidak terlalu sibuk melayani kamera.

Saya sering sengaja lewat jalur belakang untuk melihat Pawon atau Ngawen sekadar menghirup udara desa yang masih tenang, jauh dari keramaian turis. Kadang saya membayangkan jika Borobudur tidak terlalu terkenal, mungkin orang-orang lokal akan lebih sering mampir. Tapi ternyata, “sunyi” itulah yang membuat saya nyaman. Hidup saya lebih bebas tanpa harus mengatur diri agar pas dengan jadwal turis.

Ketika wisata hanya jadi latar

Hidup di Kabupaten Magelang membuat saya terbiasa dengan satu paradoks: tinggal di daerah wisata, tapi tidak hidup sebagai orang wisata. Borobudur tetap berdiri megah, tapi hidup saya tidak pernah disusun di sekitarnya.

Kami tidak bangun pagi dengan pikiran tentang turis. Kami bangun dengan urusan yang lebih sederhana: kerja, sekolah, pulang, ngobrol dengan tetangga, atau sekadar duduk di teras melihat anak-anak bermain. Borobudur tetap ada di kejauhan, seperti latar yang tidak ikut campur.

Dekat dengan yang besar, hidup dengan yang kecil

Mungkin karena terlalu dekat dengan yang besar, saya belajar satu hal: tidak semua hal harus dirayakan. Ada yang cukup dijalani. Dan bagi saya, itulah rasanya hidup di Kabupaten Magelang. Kami dekat dengan ikon dunia, tapi tetap menjalani hidup dengan ukuran sendiri.

Tanpa harus merasa kalah, tanpa harus ikut ramai. Cukup tetap hadir dalam keseharian yang tenang.

Penulis: Fitria Salma Nur Azizah
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Andai Candi Borobudur Bisa Bicara, Barangkali Ia Akan Bilang, “Aku Lahir di Magelang!”

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version