Berkaca pengalaman saya tinggal di Amerika selama 3 tahun, ada baiknya kalian yang mau kabur aja dulu memahami ini.
Siapa yang tidak ngelus dada dan tepok jidat melihat ulah pemerintah Indonesia yang peraturannya macam cek ombak. Ditambah dengan tekanan ekonomi, sempitnya lapangan pekerjaan, dan muramnya jaminan masa depan, sangat masuk akal jika warga usia produktif mulai berpikir untuk hengkang dari Indonesia.
Terlepas dari urusan nasionalis dan tidak nasionalis, kabur aja dulu ke luar negeri bukan cuma perkara pindah tempat tinggal kemudian bekerja (atau belajar) dengan nyaman dan tidak ada kendala seperti yang disuguhkan di media sosial. Layaknya iceberg yang menyimpan bongkahan es lebih besar dan lebih dalam di bawah permukaan, berpindah negara punya banyak sisi lain yang tidak melulu nampak indah.
Berkaca dari pengalaman tinggal di Amerika Serikat selama tiga tahun belakangan, hal-hal berikut penting untuk dipikirkan sebelum oke gas kabur dari Indonesia. Siapa tahu, kaburnya mau ke America, the land of dreams, they said.
Menetapkan tujuan yang jelas agar tidak terlunta-lunta
Dari tren yang sering muncul di media, ada dua tujuan utama saat pindah keluar negeri: lanjut studi atau bekerja. Ya ada juga yang bertujuan menikah, tapi persentasenya tidak banyak karena nyari jodoh itu sesusah nyari pekerjaan. Baik ingin lanjut studi maupun bekerja, perlu diingat bahwa studi atau kerja itu bukan tujuan akhir. Mereka cuma alat untuk tujuan yang lebih besar.
Studi lanjut, misalnya, dipilih karena bisa jadi strategi meningkatkan daya saing. Bukan rahasia lagi jika lulusan luar negeri memiliki bargaining point lebih tinggi di Indonesia. Atau, pergi ke luar negeri untuk bekerja karena ada utang keluarga yang perlu dilunasi, dan rupiah tak kunjung membaik sehingga dollar menjadi pilihan.
Punya tujuan yang lebih besar dari sekedar FOMO itu krusial. Karena tinggal di luar negeri, hidup bisa sesak. tanpa tujuan yang kuat, risiko terlunta-lunta jadi lebih besar.
Sudah siap dengan keribetan ngurus paspor dan visa?
Mengurus aplikasi paspor dan visa memang relatif mudah, hanya perlu kesabaran, ketelitian dan tentu saja uang yang cukup. Jika untuk paspor kita hanya perlu mengisi aplikasi online dan membawa lampiran KTP, KK, akta kelahiran, dan foto diri saat ke kantor imigrasi, level keribetan mengurus visa agak naik sedikit. Ini berkaca pada pengalaman saya saat mau tinggal di Amerika ya.
Meskipun setiap negara memiliki peraturannya sendiri, pada umumnya permohonan izin tinggal ini perlu menyertakan surat keterangan sponsor, surat keterangan kerja/belajar (terutama untuk visa pertukaran pelajar atau studi lanjut), dokumen keuangan (slip gaji atau tabungan), surat keterangan kesehatan, dan jadwal perjalanan plus bukti tiket pesawat.
Artinya, permohonan visa itu harus sudah disertai kejelasan bahwa kita tidak akan jadi gelandangan di negara tujuan, atau bahkan jadi imigran gelap. Untuk biaya, yang perlu diingat adalah uang yang disiapkan bukan hanya untuk membayar administrasi aplikasi paspor dan visa, tapi juga pritilannya yang banyak. Waktu itu, saya menghabiskan nyaris tujuh juta untuk pembuatan visa Amerika, di luar biaya administrasi. Cek kesehatan berkali-kali, dan harus vaksin macam-macam cukup menguras tabungan.
Apakah siap tinggal di Amerika dan jauh dari kenyamanan?
Banyak kemudahan di Indonesia yang saking gampangnya jadi taken for granted. Contoh paling dekat: makanan. Gorengan, kerupuk, dan segala makanan bermicin memang bukan makanan sehat. Tapi jujur aja, siapa yang bisa bertahan tanpa mereka? Saat pindah ke Amerika, selamat datang di dunia burger, sandwich, dan cookies. Saya yakin kebanyakan orang Indonesia hanya akan bertahan sebulan. Setelah itu craving makanan Indonesia bisa terasa seperti krisis eksistensial.
Masih tentang kemudahan dalam hal makanan, warteg yang tersebar di banyak sudut perkotaan juga gampangnya pesan antar makanan dengan biaya yang masuk akal, akan jarang dijumpai. Kalau di Indonesia kita bisa dapat nasi padang dengan rendang plus es teh dengan Rp25.000. Tapi, kalau tinggal di Amerika, untuk sekadar beli sandwich isi ayam aja bisa lebih dari 10 dolar. Di Amerika, makan enak butuh effort, dan dompet yang lebih tebal.
Kenyamanan lain yang tidak kita jumpai lagi kalau tinggal di negara lain adalah transportasi. Memang betul bahwa transportasi publik di negara maju sudah sangat baik. Tapi nyatanya, seperti di tempat saya tinggal, tidak punya kendaraan pribadi artinya perlu meluangkan waktu berkali-kali lipat dengan naik bis kota. Belum lagi harus berjalan dari rumah sampai ke halte bus.
Saya bukannya malas, tapi coba bayangkan saat perlu ke suatu tempat tapi sedang hujan salju. Suhu bisa di bawah minus 10°C. Setelah itu harus menunggu bis datang. Awalnya seru, sampai akhirnya kamu berdiri di halte, bertanya-tanya apakah ini cobaan atau hukuman. Di lain musim, suhu mencapai 40°C.
Kalau di Indonesia rata-rata panas sepanjang tahun, di negara empat musim macam Amerika kita dipaksa untuk beradaptasi dengan empat kali pergantian musim. Ditambah moda transportasi yang terbatas, tantangan cuaca dan tidak adanya kendaraan pribadi berpotensi jadi tantangan besar untuk bepergian.
Sebelum tinggal di Amerika, sudah siap dengan bahasanya?
Saat hendak pindah ke Amerika, saya yakin betul kalau saya sudah bisa berbahasa Inggris. Lha saya ini guru bahasa Inggris dan sudah membekali diri dengan banyak menonton TV series. Rasanya untuk masalah bahasa baik di konteks akademis dan keseharian, saya tidak akan mendapatkan kesulitan.
Hingga akhirnya, realitas menampar. Dunia nyata tidak seperti di layar kaca. Banyak momen saya blah-bloh nggak bisa nangkep apa yang orang lain katakan. Bahkan di kelas, saya pernah curhat ke profesor dan dengan memelas, “Bisa nggak minta teman-teman ngomong lebih pelan?”
Ketidakmampuan berkomunikasi pasti menimbulkan frustrasi. Belum lagi, saat kita bicara dengan aksen dan terbata-bata, kita bisa mendapat tatapan judgemental seolah kita ini orang yang lebih rendah, baik secara akademis ataupun derajat sosial. Jadi, sudahkah siap dengan bahasanya? Dan yang lebih penting, siap menerima kesulitannya?
Memutuskan akan tinggal di negara mana dan dengan tujuan apa adalah pilihan masing-masing. Yang terpenting keputusan itu bukan hanya karena ngikuti tren dan grusa-grusu melihat negera lain kaya haven—tempat suaka. Coba tanya ke diri sendiri dulu, sudah siapkah melepaskan kenyamanan sederhana di Indonesia dan menyambut tantangan baru.
Jangan sampai niat memperbaiki nasib dengan kabur aja dulu malah jadi pindah dari satu masalah ke masalah lain.
Penulis: Lanoke Intan Paradita
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Kabur Aja Dulu: Yang Tidak Dikatakan Influencer Itu Kepadamu
