Timnas U17 Imbang ketika Piala Dunia U17 di Surabaya Diwarnai Chaos Terkait Shuttle Bus bikin Penonton Sempat Bingung Waktu Mau Pulang

Timnas U17 Imbang, Piala Dunia U17 Surabaya Agak Bikin Kecewa (Dokumen pribadi)

Timnas U17 Imbang, Piala Dunia U17 Surabaya Agak Bikin Kecewa (Dokumen pribadi)

Sentakan dari kereta Sancaka pagi itu terasa halus. Sebuah sentakan yang membuat hati ini bungah. Sudah lama tidak naik kereta dan saya kangen betul. Pagi itu, bersama kawan saya, Muhammad Mujib, kami menuju Surabaya untuk menonton timnas Indonesia U17 berlaga di Piala Dunia U17.

Perjalanan terasa cepat dan saya agak sedih. Kenapa harus sampai secepat ini. Saya masih ingin berlama-lama melepas rindu dengan kereta api. Namun, tak apalah, excitement dalam diri untuk akhirnya nonton di stadion mengalahkan keinginan saya untuk lama-lama di Stasiun Gubeng, Surabaya.

Ya, sudah sangat lama saya tidak menonton sepak bola secara langsung di stadion. Kalau tidak salah mengingat, kali terakhir saya datang ke stadion adalah memenuhi undangan liputan PSS Sleman. Dan itu, terjadi jauh sebelum pandemi. Lama tidak “nyetadion”, sekali masuk stadion, kok ya, timnas U17 berlaga di Piala Dunia U17. Agak gila juga pikir saya.

Ketika banyak orang meragukan Piala Dunia U17

Dua hari sebelum keberangkatan ke Surabaya, saya sempat mengobrol dengan beberapa kawan di rumah. Kebanyakan dari mereka meragukan Piala Dunia U17 akan memetik kesuksesan. Baik kesuksesan bagi timnas U17, maupun penyelenggaraan. Saya memikirkan betul opini mereka dan agak sulit membantahnya.

Ada dua alasan yang membuat saya agak sulit membantah opini mereka. Pertama, timnas usia muda memang biasanya agak lebih bisa bersaing dengan timnas negara lain. Namun, timnas usia muda, hingga dewasa, mempunyai satu kelemahan. Sebuah kelemahan yang akan saya jelaskan nanti.

Alasan kedua, sejak pertengahan 2023, sudah banyak event di Indonesia yang batal atau tidak dikelola dengan baik. Event yang saya maksud adalah gelaran konser musik. Hal ini, meski terlihat tidak mempunyai keterkaitan dengan sepak bola, cukup masuk akal. Mau bagaimana, yang akan mengurusi hajatan sebesar Piala Dunia U17 di Surabaya tetap manusia. Dan, manusia-manusia itu adalah manusia Indonesia.

Kawan-kawan saya tidak mendoakan hal-hal jelek. Namun, mereka yakin pasti ada saja masalah yang terjadi dan biasanya terjadi ke aspek yang “remeh”. Sebenarnya, yang namanya masalah terjadi juga di semua gelaran Piala Dunia, bukan hanya Piala Dunia U17 di Surabaya. Namun, sekali lagi, opini mereka masuk akal dan memang terjadi.

Penonton timnas U17 berebut shuttle bus

Saya merasakan sendiri masalah itu. Salah satunya terkait shuttle bus. Jadi, pihak panpel Piala Dunia U17 menyediakan shuttle bus gratis. Suporter diimbau untuk berkumpul di titik kumpul dan shuttle bus akan menjemput. Bus-bus itu akan mengangkut suporter timnas U17 ke Stadion Gelora Bung Tomo (GBT). Sebelumnya, pihak panpel menegaskan bahwa kendaraan pribadi, tidak boleh masuk kawasan GBT.

Menurut saya, kebijakan ini baik adanya. Namun, sekali lagi, manusia yang mengurusi soal shuttle bus dan suporter timnas U17 melakukan kelalaian. Saya agak sulit menemukan kata yang tepat. Jadi, ya “lalai” adalah kata yang tepat. Mereka lalai untuk mengatur siapa saja yang berhak masuk shuttle bus, baik dari titik kumpul maupun kepulangan setelah pertandingan.

Saya dan Mujib berangkat dari hotel menuju titik kumpul di Ciputra World. Di sana, kami dan rombongan menunggu shuttle bus. Namun, yang terjadi adalah chaos. Suporter timnas U17 yang sudah menumpuk berebut naik bus. Sebetulnya, jumlah bus itu mencukupi untuk mengangkut suporter. Namun, sejak awal, panpel tidak membuat antrian sehingga suporter seperti zombie yang memperebutkan otak manusia di dalam bus.

Situasi lebih chaos terjadi selepas pertandingan. Kali ini, suporter dari semua titik kumpul memadati lapangan parkir GBT Surabaya. Sehingga, bus yang baru masuk parkiran BGT sudah diserbu suporter timnas U17 yang hendak pulang. Mereka berdesakan, saling mendorong, saling menjepit.

Situasi yang tak perlu terjadi 

Melihat chaos yang terjadi, sebetulnya panpel bisa mencegahnya sejak dini. Tidak sulit untuk membuat semacam antrean sederhana untuk naik shuttle bus. Siapa yang datang belakangan, antre paling belakang. Yang terjadi adalah ibu-ibu dan anak kecil menjadi yang paling menderita. Mereka harus ikut mendesak dan menjepit dengan tenaga paling minimal.

Lalu untuk mengurai massa suporter timnas U17 di parkiran GBT, panpel juga bisa mengatasinya sejak dini. Misalnya dengan membuat pembagian kluster. Jadi, kluster Ciputra World, berdiri di sisi kiri. Lalu, kluster Osowilangun di kanan. Untuk kluster balai kota ada di tengah. Dan seterusnya.

Kluster ini akan berfungsi memecah massa sehingga tidak terjadi penumpukan di area masuk parkiran GBT Surabaya. Sopir shuttle bus juga tak perlu bingung harus berhenti di mana. Jadi, setelah saya dan Mujib sampai di GBT, sopir shuttle kami bilang gini: “Nanti naik sini lagi saja. Biar gampang. Ini bus 35.” Yang saya dan Mujib temukan adalah kekacauan.

Waktu berangkat, panpel menegaskan bahwa suporter timnas U17 tidak boleh ada yang berdiri di bus. Namun, waktu pulang, suporter berebut masuk dan menjejali shuttle. Bahkan banyak sekali yang harus berdiri. Saya dan Mujib sendiri kebagian berdiri dari GBT sampai Ciputra World. Perjalanan malam itu diwarnai hujan dan kemacetan.

Saran saya untuk panpel Piala Dunia U17 di stadion lain, kalau memang pakai shuttle bus, segera bikin antrean. Jangan terlalu percaya diri manusia Indonesia itu mau tertib untuk mengantre.

Timnas U17 yang mengaduk emosi saya

Bagian ini akan menjelaskan perihal kelemahan timnas U17 yang biasanya terbawa sampai ke timnas dewasa. Izinkan saya menjelaskannya secara singkat.

Jadi, menyaksikan timnas U17 itu selalu lebih menyenangkan ketimbang menonton klub bertanding. Ada rasa persatuan dan kegembiraan di stadion. Namun, di sisi lain, kalau nonton timnas, jangan pernah memasang ekspektasi terlalu tinggi. Kamu sudah bisa menikmati permainan mereka saja sudah bagus.

Timnas U17 berlaga di Piala Dunia U17 dengan membawa rasa grogi. Penonton di belakang saya bilang kalau anak-anak muda ini “grogian”. Selama 8 menit awal, mereka banyak melakukan kesalahan dasar. Misalnya, mereka sering salah passing, mengontrol, dan mengumpan. Saya, sih, maklum, mereka masih sangat muda.

Kalau misalnya Ekuador, lawan timnas di laga pertama Piala Dunia U17, lebih percaya diri dan terorganisasi, ya saya juga maklum. Namun, timnas berhasil keluar dari rasa inferior untuk kemudian mencetak gol lebih dulu lewat serangan balik. GBT Surabaya bergemuruh, rasa suka cita meluap.

Singkat cerita, menit 65 ke atas. Kelemahan untuk timnas U17 mulai terlihat. Sebuah kelemahan yang terjadi hingga timnas usia dewasa, yaitu stamina. Selepas menit 70, banyak pemain yang kram dan kudu diganti. Sebaliknya, timnas Ekuador masih terlihat baik-baik saja hingga pertandingan selesai (90 menit + 15 menit).

Kelelahan di sebuah laga itu masalah besar. Pemain jadi kehilangan konsentrasi. Hasilnya adalah frekuensi salah umpan meningkat, salah umpan bola makin sering, dan kalah duel di berbagai situasi. Untung saja finishing Ekuador bermasalah sehingga di awal Piala Dunia U17, timnas U17 tidak jadi kalah. Itulah kelemahannya.

Harapan untuk hajatan besar

Indonesia bisa berlaga di Piala Dunia U17 karena menyandang status tuan rumah. Ini kesempatan yang baik untuk banyak pihak. Pertama dan yang paling utama, bagi anak muda timnas U17 yang mendapatkan banyak pengalaman. Kedua, bagi Indonesia sendiri karena ini ajang promosi yang mahal sekali.

Iya, event yang sedang berlangsung adalah hajatan sepak bola. Namun, di dalam event ini, ada nama Indonesia yang bergaung luas di penjuru dunia. Meski kompetisi untuk kelas U17, ini tetap Piala Dunia. Exposure yang datang sangat besar dan harus bisa dikelola dengan baik.

Salah satunya adalah dengan tidak mengulangi chaos terkait shuttle bus. Penonton bola itu sejatinya bukan “sekadar penonton”. Mereka adalah pengantar warta yang membawa potensi paling besar. Jika penonton puas, warta yang tersebar akan membawa nada merdu. Kalau ngamuk dan kecewa, ya nada sumbang.

Saya, sih, tidak terlalu kecewa dengan gelaran Piala Dunia U17 di Surabaya. Namun, soal shuttle bus dan ketertiban seharusnya masih bisa diperbaiki panpel. Begitu.

Penulis: Yamadipati Seno

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA 12 Ucapan Membingungkan dari Bung Kus dan Rendra di Laga Timnas Indonesia

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version