Tiga Alasan Kenapa Parkir ‘Syariah’ Itu Penting

parkir syariah

parkir syariah

Belakangan ini jagat dunia persilatan per-medsos-an kita digoyang oleh sebuah unggahan foto yang menunjukkan pemisahan antara area parkir laki-laki dan perempuan di RSUD Kota Depok. Jelas, tanggapan pro dan kontra muncul dari para netizen terkait hal ini, kalau tidak demikian bukan netizen “wkwk land” namanya.

Mereka yang mendukung kebijakan parkir ‘syariah’ ini sudah barang tentu mengatakan bahwa kebijakan ini sudah sesuai dengan ajaran agama karena khalwat—bercampurnya lawan jenis—baik orang atau pun cuma motornya, dalam satu area itu hukumnya haram. Ingat loh, haram!

Sebagai mayoritas, umat muslim kan harus menjalankan ajaran agamanya dengan kaffah dong. Biar Islamnya tidak setengah-setengah—nanggung! Sedangkan, mereka yang menolak, sebagian mengatakan kalau kebijakan ini nggak penting banget—”masak ya motor harus dipisah, emang mereka bisa berbuat mesum po?”

Saya sendiri sebenarnya juga agak heran dengan kebijakan ini, tetapi setelah saya pikir-pikir, kok ya ada benernya ya. Setidaknya ada tiga alasan yang saya temukan setelah berkontemplasi merenungkan fenomena ini. Sebenarnya alasannya cukup sederhana juga sih. Begini, mohon disimak baik-baik biar tidak salah faham.

Pertama: Indonesia akan hancur karena tidak bersyariah

Ya sudah barang tentu dong, sebagai mayoritas, kelompok muslim punya hak untuk menjalankan tuntunan agama dengan sedetail-detailnya. Eits, jangan salah! Tidak hanya orangnya saja, bahkan propertinya juga harus Islami. Misalnya, jilbab kan juga ada yang syar’i dan ada yang tidak. Pun demikian dengan kulkas yang tidak mau ketinggalan. Ada yang halal dan ada yang kurang halal- kalo tidak boleh dibilang syubhat atau haram. Apalagi ini soal motor yang nilainya jauh lebih mahal.

Hayo jelas no, pihak managemen RSUD pasti sudah berpikir masak-masak untuk meleyani para pelangganya dengan full service. Semacam li ikromi dluyuf—untuk memuliakan tamu—dalam istilah arabnya. Seperti halnya dalam prinsip marketing, pelanggan adalah raja. Sedangkan dalam istilah syariatnya, tamu—pengunjung—adalah raja. Bener kan? Pengunjung kan juga tamu bagi pengelola Rumah Sakit.

Apalagi di Depok yang pemerintah kotanya juga begitu memperhatiakn soal tarbiyah—pendidikan agama—dan sangat mengesahkan rancangan Perda syariah. Jadi, ya malah lebih bagus to kalo instansi pemerintah sudah mulai nyicil menerapkan peraturan yang bernuansa syariah. Kalo tidak begitu ya kapan disahkannya peraturan syariah. Sekali lagi saya tegaskan, harus dicicil.

Dan hal yang paling penting dan perlu diingat, Indonesia akan hancur jika tidak segera menerapkan hukum syariat. Paling tidak kalo Indonesia belom bersyariat, parkiran di Depok aja dulu deh nggak apa-apa, biar kehancuran negara tercinta ini bisa sedikit ditunda. Atau bahkan dicancel, kan udah ada lahan parkir di Depok yang pasang badan.

Kedua: Motor juga punya gender loh!

Saya sih kurang sepakat dengan mereka yang kontra dengan parkir syariah ini dengan alasan, “emang motor punya gender, kok harus dipisah segala?” “Aish, jangan salah donk. You know nothing, Jon Snow!

Kalo kalian bilang motor nggak ada gendernya, pasti kalian ini generasi yang kurang memahami kearifan lokal, tidak pro rakyat, antek asing. Jangankan motor, bapak-ibuknya motor, sepeda onthel  atau pit aja jelas-jelas punya gender kok—apalagi motor yang notabene anaknya.

Nggak percaya? Coba aja tanyakan pada bapak-bapak dan emak-emak kalian. Saya jamin deh, kalo kita bilang “motor lanang (cowok)” pasti mereka bakal merujuk ke motor macam CB150R, Vixion dan gengnya. Kalo kita bilang “motor wadon (cewek).” Jelas mereka bakal nunjuk motor sejuta umat macam Supra X dan jami’yah arisannya. Nah kalo motor matic gimana? Ya tetep aja, Itu motor wadon, Bambang! Mung beda generasi aja. Anggap saja itu cewek generasi millennial yang sudah bisa dandan pake pensil alis.

Jadi, jangan semena-mena kita mendiskriminasi motor dengan menihilkan gender mereka. Camkan itu, kisanak! Soal persyaratan untuk dikenai hukum syariat seperti aqil (berakal) dan baligh (dewasa) itu mah urusan lain. Yang penting dia punya gender; motor lanangdan wadon tidak boleh bersama, apalagi sampek larut malam. Berabe loh. Bisa nambah beban kredit kalo sampai mengasilkan motor yang ketiga.

Ketiga: Mendinglah

Nah ini, alasan yang paling penting, core of the core dari alasan-alasan sebelumnya; “mendinglah, dari pada nggak ada parkiran, hayooo!”

Coba bayangkan, kalau di fasilitas umum segede Rumah Sakit Daerah tidak ada parkirannya. Bisa berabe kan. Pemerintah Depok tentunya juga bakal pusing tujuh keliling kalo didemo sampek berjilid-jilid hanya karena nggak nyediain parkiran. Nggak seksi banget deh isunya. Pun demikian dengan pengunjungnya. Nah wong yang sudah ada parkiran aja seringkali mereka merasa tidak aman dan ada saja kasus kemalingan. Apalagi kalo tidak ada coba; beneran, berabe loh! Ini serius.

Kalau kisanak semua masih gak percaya, belajarlah dari pengalaman kawan saya ini. Alkisah, kawan saya adalah seorang mahasiswa kampus berlabel agama yang sudah semester sekarat. Once upon a time, teman saya ini setelah sekian lama gak ngampus dan suatu hari dia harus pergi ke kampus. Eits, yang jelas bukan untuk urusan kuliah, tapi acara lain yang ada gratis makannya.

Ketika sampai di kampus, dengan tertib dan rapi dia memarkir motornya di area parkir. Ndilalah¸ pas mau pulang, nah kok helmnya amblas. Tak tanggung-tanggung helm model fullface yang cukup bermerk. Sebut saja NHK yang untuk ukuran mahasiswa udah bisa dipakek naik motor sambil ndangak—menengadah. Ajoooor jum!!

Bayangkan, bagaimana jengkelnya kawan saya ini, udah sampai ke ubun-ubun. Lama nggak ngampus, sekalinya ngampus, helm kesayangan harus jadi tumbal. Padahal sudah diparkir di tempat yang sesuai dengan SOP tata kelola kampus. Cuk deh!

Sayangnya kisah tersebut tidak selesai sampai disini saja.

Apa boleh buat, kawan saya harus beli helm lagi dong buat mobilitas sehari-hari. Setelah nabung selama tujuh purnama, akhirnya belilah dia helm fulface merk KYT—meskipun bekas. Ya masak motor sport mau beli helm retro. Kan nggak match ciiin.

Jancuuuk! Ilang maneeeh!”—dengan logat Suroboyoan yang mantap dan jelas nendang. Cuma wirid itu yang bisa dirapalkan oleh kawan saya ini, ketika dia keluar dari kantor dosen pembimbingnya dan melihat helm yang baru beberapa hari dibeli raib untuk yang kedua kali.

Kisanak semua tentu tidak mau mengalami kejadian yang serupa seperti kawan saya kan. Maka dari itu, parkir ‘syariah’ itu penting banget dan harus didukung. Makanya, saya sangat mendukung adanya parkir ‘syariah’. Daripada nggak ada parkirannya dan pengunjung merasa pengunjung lebih aman. Terakhir, dengan adanya parkir ‘syariah’, Indonesia juga nggak jadi bubar dan kita—beserta property kita—juga bisa kaffah dalam menjalankan syariat Islam.

Hidup khilafah, eh, syariah ding!

Exit mobile version