Tetaplah Bahagia walau Tidak Berguna

bahagia walau tidak berguna, Quarter Life Crisis: Kenapa Kita Sangat Peduli Terhadap Angka

Quarter Life Crises: Kenapa Kita Sangat Peduli Terhadap Angka

Tetaplah bahagia walau tidak berguna adalah judul yang pas untuk menggambarkan saya sekarang. Relate af sama kehidupan sampai saya jadikan bio twitter wqwq.

Fase transisi kehidupan remaja menuju dewasa yang sedang saya alami emang rentan sama perasaan ingin menyerah, putus asa, pesimistis, bodo amat, dan-ya-udahlah-sama kehidupan. Fase transisi ini emang disebut fase di mana lagi galau-galaunya, wqwq. Galau sama kehidupan pribadi, galau sama kehidupan kampus, organisasi, nilai, teman kampus, teman kost, galau pengen sukses, galau pengin kaya, galau sama orang tua, dan tentunya galau tentang cinta.

Waktu pas sambat di Twitter, saya agak kaget soalnya banyak yang merasakan hal yang sama. Saya senang ternyata saya tidak sendiri. Dan perasaan yang saya alami sekarang adalah hal yang sangat wajar. Saya teringat kata-kata ‘apa cuma saya yang…’  tanpa sadar kata-kata tersebut adalah ajakan untuk membentuk sebuah komunitas yang merasakan hal serupa, walaupun memang ajakannya sedikit menyebalkan.

Orang bilang fase menuju orang dewasa ini adalah sebuah titik kehidupan baru. Dan alih-alih menyerah sama kehidupan, seharusnya kita bersemangat menyongsongnya.

Saya kadang iri sama orang yang terlihat sudah menemukan jalannya. Seperti mereka sudah tahu apa yang ingin mereka lakukan. Sementara saya masih saja mencari-cari.

Kadang saya juga ingin meniru teman-teman saya sudah menemukan jalannya tadi. Misalnya, aktif organisasi, berprestasi, melakukan banyak kegiatan volunteer, ikut ini-itu, namun kenyataannya saya tidak bisa.

Biasanya saya akan berlindung dalam pikiran kalau menjadi orang yang biasa-biasa saja sebenarnya tidak buruk-buruk amat, meskipun ya saya sadar kalau prestasi—entah dalam hal apa pun itu—adalah hal yang penting kalau kita hidup di dunia yang memberikan banyak apresiasi pada mereka yang berprestasi dan menganggap remeh pada orang yang tidak punya prestasi.

Saya jelas sangat insecure, tapi percuma juga sih menjadikan standar orang lain sebagai ukuran keberhasilan kita. Toh manusia kan katanya punya bakat, keinginan, dan kemapuan yang berbeda-beda. Nggak baik juga rasanya kalau terlalu memaksakan diri padahal kita punya jalan yang berbeda. Hal yang sering saya lupakan adalah pentingnya memahami diri sendiri terlebih dahulu.

Dalam fase ini saya kira orang memang sering kali tidak fokus pada diri sendiri dan hanya fokus pada orang lain. Padahal kita adalah main actor dalam kehidupan kita, bukan jadi orang ketiga atau penonton kehidupan kita sendiri. Berbuatlah sesuatu jangan diam, tidak mengapa pelan karena kehidupan memang bukan perlombaan yang harus cepet-cepetan.

Tidak mengapa belum ada pencapaian berarti dalam hidup. Toh masih banyak waktu. Kita hanya cukup berusaha dan memahami. Memahami apa yang seharusnya kita pahami dan bukan memaksakan. Kegagalan tidak mengapa, sangat wajar untuk gagal dan jangan menghakimi diri sendiri.

“Tidak mengapa”, “coba pahami dirimu”, dan “mulai dengan apa yang ingin kau lakukan” emang perkara yang tidak mudah. Memahami diri dan menemukan apa yang ingin dilakukan kelak adalah memang tujuan saya, tapi bagaimana? terlalu sulit hingga saya terlalu nyaman untuk tidak ngapa-ngapain karena bingung bagaimana memahami diri sendiri, yang seharusnya diri sendiri adalah orang yang paling saya pahami.

Dari semua keadaan, yang terpenting adalah bahagia. Dalam fase transisi yang pelik seperti ini kita harus tahu apa yang membuat kita bahagia. Karena sesulit apa pun perasaan akan mudah hilang kalau kita bisa membawa diri kita untuk bahagia. Bahagia kita yang buat.

Berusaha bahagia dengan keadaan apa pun. Bahagia dengan apa yang kita jalani sekarang dan bahagia dengan apa yang kita punya sekarang. Menjadi diri saya dengan banyak kelemahan tetap menjadikan saya bahagia. Scroll twitter seharian, nonton drama, fangirling dan melakukan hal tidak berguna lainnya membuat saya bahagia dan itu tidaklah buruk, lakukan apa yang kamu senangi.

Dalam kehidupan setiap orang, kebahagiaan punya arti yang berbeda-beda. Jangan membuat dan menuntut standar kebahagiaan orang sama. Bisa saja bangun tidur pukul 09.00 pagi adalah kebahagiaan menurut saya tetapi menurut orang lain adalah kesengsaraan. Tugas bagi kita yang sering pesimistis, putus asa, dan bodo amat adalah mencari dan membuat kebahagiaan itu.

Cari dan temukan dimana dia, tidak mengapa lambat, ingat tidak mengapa menjadi orang yang biasa, asal kita bahagia dan tidak berpura-pura serta menyakiti diri sendiri itu sudah lebih dari cukup. Jika tidak ada yang mencintaimu, tidak ada yang mengapresiasi hal-hal yang kamu lakukan, tidak ada yang mendukungmu, tidak ada yang memahamimu, percayalah masih ada satu orang, dan itu dirimu sendiri. So, be nice for yourself.

Tetaplah bahagia walau tidak berguna~ hehe, setidaknya walaupun kamu merasa tidak berguna untuk saat ini, merasa semua ini sulit dan berat tetaplah bahagia, tetaplah lakukan hal-hal yang membuatmu bahagia.

Twitteran, nonton drama, fangirling, lakukan saja, tidak masalah. Dengan bahagia, pelan-pelan kamu bergerak, pelan-pelan memulai, pelan-pelan capai goalsmu, pelan-pelan akhirnya sukses. Saya percaya bahagia membuatmu sukses bukan sukses membuatmu bahagia.

Akhirnya langkah pelanmu itu membawamu untuk memahami dirimu, mengenal dirimu, mengetahui apa yang ingin kamu lakukan, menyayangi dirimu dan mencintai dirimu. Suatu saat kamu akan menemukan betapa bergunanya dirimu dan kamu akan terkejut betapa istimewanya dirimu selama ini. Tapi pertanyaannya sekarang adalah, kapan? Hehe:)

BACA JUGA Resep Kebahagiaan di Tengah Keambyaran Ala Epicurus dan tulisan Rahmatia lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version