Tentang Mantan yang Tak Bisa Digantikan Pasangan Anyar

Alasan Historis, Logis, dan Klinis di Balik Kecintaan Pada Momen Ambyar terminal mojok.co

Alasan Historis, Logis, dan Klinis di Balik Kecintaan Pada Momen Ambyar terminal mojok.co

Belum lama ini, sambil mbrebes mili teman saya bercerita kalau mantan dia yang dulu berpacaran sama dia sampai enam tahun, mau tunangan dan melangsungkan pernikahan tahun ini.

Ini kesekian kalinya buat saya menerima sambatan soal mantan. Dan saya juga lupa sudah berapa modifikasi kiat move-on yang saya berikan kepada teman-teman saya, saking banyaknya yang curhat, terutama di usia-usia siap nikah seperti sekarang.

Susah move-on itu biasa. Yang bikin kontroversial—bahkan bagi teman-teman saya yang susah move on itu—adalah kenapa mereka susah melupakan mantan padahal sudah punya pasangan.

Bukan, ini bukan tentang mantan teman saya yang sempurna. Bahkan, pasangan sah beberapa teman saya jauh lebih baik daripada bekas kekasih mereka. Masalahnya, disodorkan model Jefri Nichol atau Chelsea Islan sekali pun, mereka bakal tetap susah melupakan mantan.

Ada saja yang dicari-cari soal kekurangan pasangan sah mereka, kalau sudah ngomongin mantan. Misalnya, pasangan baru ini nggak tahu kalau cemilan itu ejaan tidak baku dari camilan (coba suruh pasangannya follow Ivan Lanin). Atau, pasangan baru ini nggak paham soal film-film Nouvelle Vague—mentok paling cuma tahu soal Avengers. Macam-macamlah alasan mereka.

Namun, alasan-alasan itu cuma sekadar ornamen buat menutupi alasan besar yang sebenarnya sulit buat mereka akui: apa yang terjadi antara teman-teman saya dan mantan mereka itu sebenarnya belum benar-benar usai.

Analoginya seperti ini: di Hari Minggu, kamu kedatangan seorang tamu spesial. Kamu seneng banget karena dia membawa keceriaan di rumahmu. Kemudian, kamu pun berharap kalau dia nginep saja, nggak usah pulang. Namun, beberapa waktu kemudian, tamu yang satu ini bilang kalau dia mau pergi dulu sebentar. Sayangnya, dia tidak kunjung kembali, sekadar buat pamit atau bilang kalau dia tidak kerasan di rumahmu.

Begitulah akhirnya nasib teman-teman saya: terpaksa harus melupakan sesuatu yang sebetulnya belum usai.

Teman saya yang baru curhat itu, tiba-tiba ditinggal mantannya tanpa pamit setelah sore sebelumnya, mereka asyik cuddling di kos-kosan.

“Maaf aja nih, PSK aja dikasih duit dan ucapan terima kasih kok setelah berhubungan seksual. Lha aku, ditinggal gitu aja.”

Begitu dulu cerita teman saya itu kepada kami, gank-nya, tidak lama setelah putus.

Ada juga teman saya dan pacarnya yang sudah mufakat untuk putus, tapi ujung-ujungnya, toh dia tidak benar-benar bisa melupakan sang mantan, sampai sekarang. Meskipun, si doi ini beda agama dan pasti sulit bagi mereka untuk bersatu.

Masalahnya bukan karena mereka sudah sepakat untuk mengakhiri hubungan saja. Jauh di dalam lubuk hati teman saya, dia masih sangat mencintai sang mantan dan belum benar-benar rela melepaskannya pergi—perasaannya belum selesai.

Si dia bisa saja punya wajah tertampan dan juga semua infinity stones buat menguasai dunia, tetapi kalau perasaanmu sama dia sudah selesai, ya sudah. Tidak ada lagi lagu Mantan Terindah-nya Kahitna buat dia.

Masalah selesai atau tidaknya perasaan itu sebetulnya bisa diselesaikan dengan kejujuran dari awal. Banyak orang yang pura-pura bisa move on tepat setelah putus dan berlomba-lomba menunjukkan pada mantan bahwa mereka baik-baik saja —padahal sebetulnya masih ada ribuan kata yang menunggu untuk mengalir, tumpah tepat di depan sang mantan.

Apa susahnya mengatakan bahwa sebenarnya, kita sangat terpukul dengan kepergian dia? Apa sulitnya sih, protes sama mantan kalau perilaku dia tidak berkenan di hati kita, bahkan cenderung melecehkan? Mengapa kita harus sok-sok tidak peduli di awal, kalau pada akhirnya selalu mengingat mantan sampai mampus?

Pada akhirnya, ribuan saran yang saya berikan kepada teman-teman, hanyalah menjadi angin lalu yang ditiup kencang oleh bayang-bayang mantan di hati mereka. Dasarnya memang mereka curhat sama saya, bukan buat cari solusi bagaimana supaya mantan bisa dilupakan dan pasangan sah bisa lebih dicintai.

Seperti seorang pencandu narkotika dan zat adiktif lainnya, mereka ketagihan rasa sedih dan perih saat mengingat mantan. Apa ya, rasanya itu kayak waktu makan mangga muda. Kecut, bikin sebel, tetapi nagih.

Yah, pada dasarnya manusia itu cenderung terobsesi sama hal-hal yang sulit mereka miliki.

Exit mobile version