Ada sebuah pertanyaan horor yang lebih menakutkan dari “kapan nikah?” bagi kami para mahasiswa atau sarjana Teknik Industri. Pertanyaan itu biasanya muncul di momen sakral kumpul keluarga, dilontarkan oleh seorang om yang tampaknya punya hobi menginterogasi keponakannya soal masa depan.
Dengan penuh percaya diri, sepupu dari Teknik Mesin akan menjawab, “Teknik Mesin, Om. Belajar soal perancangan mesin-mesin.” Gagah. Jelas. Lalu sepupu dari Teknik Sipil menyahut, “Teknik Sipil, Om. Belajar membangun jembatan dan gedung.” Keren. Maskulin.
Lalu, giliran itu tiba. Dengan sedikit helaan napas untuk mengumpulkan energi, jawaban yang keluar adalah, “Teknik Industri, Om.” Om terdiam sejenak, dahinya berkerut. “Oh, industri… Itu yang di pabrik-pabrik, ya? Jadi, belajar apa aja emangnya di sana?”
Dan di sinilah krisis identitas itu dimulai. Upaya menjelaskan pun terdengar seperti orang panik: “Jadi, kami belajar mesin dikit, Om, tapi nggak sedalam anak Mesin. Terus ada manajemennya buat ngatur orang. Belajar ekonomi juga biar ngerti untung-rugi. Ada psikologi industrinya juga. Sama belajar statistik dan program komputer…”
Semakin panjang penjelasan, semakin bingung wajah si om. Akhirnya, ia akan memotong dengan kalimat pamungkas yang terasa seperti vonis, “Oalah… Jurusan gado-gado, ya? Semuanya dicomot sedikit-sedikit, tapi nggak ada yang dalem.”
Jleb. Selamat datang di penderitaan kami anak Teknik Industri. Sebuah penderitaan yang harus dijelaskan berulang kali, dari reuni keluarga hingga wawancara kerja pertama.
Tuduhan pada Teknik Industri yang (jujur saja) ada benarnya
Sebutan “Teknik Gado-Gado” atau “Jurusan Nanggung” memang bukan tanpa alasan. Coba saja intip kurikulum kami. Di semester-semester awal, kami akan duduk manis di kelas Kalkulus dan Fisika Dasar bersama anak-anak teknik “murni” lainnya. Rasanya gagah. Tapi saat mereka mulai menyelam lebih dalam ke dunia termodinamika atau struktur beton, kami tiba-tiba dibelokkan ke kelas Pengantar Ekonomi dan Psikologi Industri.
Rasanya seperti sedang latihan militer bersama Kopassus, lalu tiba-tiba dipindahkan ke kelas tata boga. Hasilnya? Kami belajar soal mesin, tapi tidak sedalam anak Mesin. Belajar program, tapi tidak sejago anak Informatika. Belajar manajemen, tapi tidak selihai anak Ekonomi. Kami bahkan belajar soal kesehatan dan keselamatan kerja, tapi tentu tidak selevel anak K3 murni. Kami seperti turis yang punya paspor ke banyak negara, tapi di setiap negara hanya sempat berfoto di bandaranya saja.
Krisis identitas ini semakin parah saat memasuki dunia kerja. Anak Sipil bisa dengan bangga menunjuk jembatan yang ia bangun. Anak Arsitektur bisa memamerkan gedung yang ia rancang. Lalu, anak Teknik Industri? Apa yang bisa kami tunjuk dengan bangga? Sebuah spreadsheet Excel? Sebuah flowchart proses produksi yang tertempel di dinding pabrik? Sulit sekali untuk pamer.
Pembelaan diri yang lahir dari dunia kerja
Lulus kuliah tidak serta-merta menyembuhkan krisis identitas ini. Justru, di awal-awal dunia kerja, penyakit ini malah semakin parah. Ditempatkan di sebuah tim bersama para spesialis murni, saya, si anak gado-gado, sering kali merasa menjadi anggota paling tidak berguna. Anak Mesin langsung sibuk mengutak-atik mesin, anak Informatika langsung fokus coding, anak Akuntansi langsung berkutat dengan jurnal keuangan. Lalu saya, anak Teknik Industri? Biasanya disuruh membuat laporan atau notulensi rapat.
Namun, setelah bertahun-tahun hidup dengan kegelisahan itu, pencerahan justru datang dari riuhnya pasar dunia kerja, di mana setiap departemen berbicara bahasanya sendiri. Sebuah pola aneh mulai terlihat. Ketika dihadapkan pada sebuah laporan atau masalah dalam rapat, tiba-tiba otak ini seperti memiliki fitur ‘Google Translate’ otomatis. Ia mulai menerjemahkan keluhan dari tim teknis ke dalam bahasa risiko finansial, atau mengubah target penjualan dari tim marketing menjadi implikasi beban kerja di lantai produksi.
Di situlah saya sadar. Di momen itulah kegelisahan bertahun-tahun itu akhirnya terjawab.
Ya, kami memang jurusan gado-gado. Tapi orang sering lupa, yang membuat gado-gado itu menjadi mahakarya kuliner bukanlah potongan lontong atau sayurnya secara individual. Yang membuatnya menjadi hidangan jenius adalah saus kacangnya—elemen ajaib yang mengikat semua bahan berbeda itu menjadi satu kesatuan yang harmonis. Di Teknik Industri, “saus kacang” itu adalah pola pikir sistem dan optimasi. Inilah yang sering disebut orang-orang keren sebagai helicopter view.
Teknik Industri, si penyeimbang dan penguasa 3 bahasa
Kalau insinyur lain adalah spesialis ‘pohon’—mereka jago merancang satu pohon jadi yang terbaik—maka kami, anak Teknik Industri, adalah spesialis ‘hutan’. Tugas kami adalah memastikan semua pohon tumbuh bareng tanpa saling sikut dan hutannya nggak jadi berantakan. Kemampuan melihat dari atas helikopter inilah yang membuat kami seringkali menjadi orang yang paling ‘rewel’ tapi sekaligus paling dibutuhkan di sebuah proyek.
Contohnya begini: Anak Mesin dengan brilian berhasil membuat Mesin A jadi 20% lebih cepat. Keren! Tapi anak Industri dengan helicopter view-nya akan langsung melihat kalau Mesin A yang ngebut ini malah akan bikin antrean panjang di depan Mesin B yang lebih lambat. Hasilnya? Seluruh sistem malah jadi lebih kacau. Kami yang akan datang dan bilang dengan muka datar, “Percuma satu mesin ngebut kalau yang lain nggak bisa ngikutin, Bos!”
Inilah kekuatan super kami yang tidak terlihat. Kami mungkin tidak bisa merancang mesin, tapi kami tahu cara membuat mesin itu bekerja paling efisien. Kami mungkin tidak membangun pabriknya, tapi kami yang merancang tata letak dan alur kerja di dalamnya. Dan kami mungkin tidak membuat aplikasinya, tapi kami yang merancang pengalaman pengguna (user experience) agar aplikasi itu tidak membuat orang emosi.
Pikirkan begini: Anak Mesin mungkin merancang mesin motor bertenaga super, tapi kamilah yang merancang assembly line agar motor itu bisa diproduksi ribuan unit setiap hari dengan biaya serendah mungkin. Anak Pangan bisa saja menciptakan resep Indomie baru, tapi kamilah yang merancang lini produksinya agar jutaan bungkus bisa sampai ke warung dekat rumahmu tepat waktu. Kamilah “penerjemah” di dunia industri, yang dilatih untuk berbicara dalam tiga bahasa sekaligus: bahasa mesin, bahasa manusia, dan yang paling penting, bahasa uang.
Di dunia yang semakin ruwet, jadi gado-gado adalah berkah
Tentu, dunia akan selalu membutuhkan para spesialis murni yang ilmunya mendalam. Tanpa keahlian mereka, tidak akan ada mesin baru yang canggih atau jembatan yang lebih kokoh. Tapi hari ini, masalah-masalah paling besar di dunia—dari krisis supply chain global hingga revolusi digital—bersifat interdisipliner. Masalah-masalah ini tidak bisa diselesaikan hanya oleh satu keahlian.
Dunia butuh orang-orang yang bisa melihat gambaran besar. Orang yang paham bagaimana keputusan teknis di lantai pabrik bisa berdampak pada laporan keuangan. Orang yang mengerti bagaimana psikologi operator bisa memengaruhi kualitas produk. Dunia butuh para “integrator”. Dunia butuh si saus kacang.
Jadi, lain kali ada yang bertanya, “Teknik Industri itu kerjanya ngapain, sih?”, mungkin jawaban terbaik bukanlah dengan menjelaskan seluruh kurikulum. Jawab saja dengan bangga dan sedikit misterius:
“Kami yang bikin semuanya nggak berantakan.”
Karena di dunia yang semakin ruwet, menjadi spesialis gado-gado dengan krisis identitas mungkin adalah keahlian yang paling relevan dan paling dibutuhkan saat ini.
Penulis: Yulfani Akhmad Rizky
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Pahitnya Jadi Mahasiswa Teknik Industri, Sering Dikira Jurusan Nggak Jelas padahal Lulusannya Hebat
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.



















