Jurus Tarung Derajat simpel dan praktis, memanfaatkan kemampuan gerak otot, otak, dan hati nurani secara realistis dan rasional.
Seorang laki-laki berusia hampir 18 tahun sibuk mencari tempat untuk berlatih bela diri. Tentu saja, tubuh kurus kecilnya jadi alasan utama. Dia sadar bahwa tubuh kecilnya tak akan bisa diandalkan hanya untuk menghajar orang-orang yang kurang ajar. Tidak jadi samsak para perundung saja sudah bagus, atau malah sudah. Apa pun itu, intinya dia merasa bahwa jalan pedang ini harus dia ambil.
Dengan mata nanar penuh determinasi seperti Jin Mu-Won saat memelajari Gathering of Thousand Shadows, ia mencari perguruan yang sekiranya cocok. Namun egonya amat tinggi, dia tak serta merta memilih bela diri yang lumrah. Dia ingin mempelajari “jurus” yang berbeda, dengan mengharap hasil yang berbeda.
Dibantu kecepatan internet yang seadanya, dia jelahi Facebook dengan penuh saksama. Menunggu satu menit, dua menit, dia terdiam. Baru di menit ketiga, laman pencariannya muncul.
Di situlah ia seakan-akan mendapat pencerahan. Seakan bertemu takdir, ia menemukan Tarung Derajat. Seperti para praktisi bela diri dalam sejarah, ia merasa menemukan perguruan yang cocok untuk menempa hidupnya.
Laki-laki kecil tersebut adalah saya, dan inilah mula saya mengenal Tarung Derajat.
Daftar Isi
Bela diri asli Indonesia
Tarung Derajat lahir dari seorang yang bernama Achmad Sudrajat atau biasa dikenal AA’ BOXER. Sang Guru sendiri lahir pada 18 Juli 1951 di Tegalega, Bandung. Tarung Derajat muncul atas dasar niat melindungi diri dari perbuatan yang tidak manusiawi dan tidak bermoral serta untuk merebut, menegakkan, meningkatkan kehormatan diri sendiri, dan keluarga.
Baru setelah penempaan fisik dan mental sang Guru mendeklarasikan berdirinya “Perguruan Beladiri BOXER” pada 18 Juli 1972, di Kota Bandung, Jawa Barat. Kini dikenal dengan “PERGURUAN PUSAT TARUNG DERAJAT”. Pendirian perguruan ini sekaligus sebagai tanda resmi lahirnya Ilmu Olahraga Seni Pembelaan Diri yang bernama “TARUNG DERAJAT”. Dan sampai sekarang dikenal seni bela diri asli Indonesia serta sudah tersebar di berbagai wilayah, termasuk tempat saya latihan dulu.
Tarung Derajat sendiri memfokuskan gerakannya tak cuman pada pukulan atau tendangan. Bela diri ini juga mempelajari teknik kuncian bahkan teknik jatuhan dan menempa fisik dengan pelbagai latihan yang akan memperkuat tubuh. Beragam jurusnya simpel dan praktis dengan memanfaatkan kemampuan gerak otot, otak, dan hati nurani secara realistis dan rasional.
Tarung Derajat dengan slogannya “Aku ramah bukan berarti takut, aku tunduk bukan berarti takut” rasanya masih terngiang-ngiang sampai sekarang.
Latihan fisik yang keras
Tubuh saya berasa “dihajar”. Saya masih ingat betul betapa tangan rasanya seperti ditusuk kerikil saat ujian kenaikan sabuk. Waktu itu, dalam proses ujiannya dari sabuk pertama ke tingkat selanjutnya mengharuskan tiap anggota lari di tengah siang bolong dengan bertelanjang kaki di jalan aspal, sambil sesekali disuruh push up dengan tangan mengepal. Kebayang gimana panasnya? Baiknya nggak usah dibayangin.
Bukan saja ujian kenaikan sabuk yang cukup keras. Latihan rutin yang lumrah ada tiap minggu pun sama kerasnya. Tubuh memar, lebam menjadi hal biasa sepulang latihan. Saya rasa, itulah ciri Tarung Derajat yang lebih berfokus pada kekuatan fisik, mental, dan kekuatan rasional untuk membela diri.
Sayangnya setelah beberapa waktu berlalu, dulu, saat mendekati event pra-PON saya memilih berhenti. Alasannya klasik, Ujian Nasional. Latihan perlahan saya tinggalkan. Dan jujur saja, ini menjadi keputusan yang saya sesalkan hingga kini.
Senang pernah menjadi bagian dari Tarung Derajat
Meski tak sampai selesai, saya bangga dan senang pernah menjadi bagian dari Tarung Derajat. Yah, walaupun nggak sampai “mentas”, tetapi Tarung Derajat memberikan “bekal” yang tak mungkin bisa saya lupakan. Sisa ingatan masih terbayang jelas betapa luar biasanya pernah memakai baju latihan berwarna putih dengan tulisan Tarung Derajat. Bahkan sampai sekarang sabuk berwarna hijau masih rapi tersimpan tanpa satu pun debu melekat.
Kini, pria tersebut tak lagi menyedihkan seperti saat ia berusia 18 tahun. Melawan orang kurang ajar, mungkin mudah. Tapi, hidup itu adalah perpindahan penderitaan satu ke penderitaan lainnya. Kini, pria tersebut menghadapi ujian yang jelas tak akan bisa dilawan dengan badan kuat penuh semangat: asmara.
Penulis: Budi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 5 Penyebab Konflik Berkepanjangan PSHT dan PSHW di Madiun