Tanpa Kill the DJ, Jogja Jadi Nggak Istimewa-istimewa Banget

Jogja Istimewa: Realitas atau Ilusi? kill the DJ

Jogja Istimewa: Realitas atau Ilusi? (Bangoland via Shutterstock.com)

Siapa sangka, salah lagu satu lagu hip hop Jawa bisa menguasai tangga lagu Spotify. Apalagi kalau bukan “Cintamu Sepahit Topi Miring” karya Jogja Hip Hop Foundation (JHF). Tentu saat membahas JHF akan kurang tanpa menyebut Kill the DJ. Sosok yang menjadi simbol keistimewaan Jogja. Sosok yang sedang jadi pembahasan banyak netizen yang bisanya hanya julid itu. Hih.

Bukan berlebihan, Kill the DJ dan keistimewaan Jogja ibarat dwi tunggal. Bersama JHF, Kill the DJ menjadi patih penjaga keistimewaan Jogja. Menjadi simbol yang akan membuat Jogja selalu romantis dan istimewa.

Marzuki Mohamad, sang Kill the DJ, memang luar biasa. Tanpa melupakan peran 4 personel JHF lain, Kill the DJ memang istimewa. Dia menjaga keistimewaan, pada saat orang-orang ragu dengan hal itu. Dengan lagu “Jogja Istimewa,” Kill the DJ membakar semangat warga Jogja agar tetap menjaga keistimewaan. Sangat berkobar, sampai siap untuk referendum.

Pada akhirnya Jogja tetap berstatus daerah istimewa. Dan “Jogja Istimewa” menjadi semacam anthem bagi warga Jogja. Meskipun banyak pihak terlibat, tapi Kill the DJ punya pengaruh besar. Maklum, karena Kill the DJ memang seperti Jogja: ISTIMEWA! Dan ketika keistimewaan kini dipertanyakan, sosok Kill the DJ tetap dipuja sebagai patih penjaga status tersebut.

Magis Jogja Istimewa

Lagu “Jogja Istimewa” adalah perisai penjaga kritik pada keistimewaan. Membuat para wisatawan yang merebut ruang hidup terus mengingat Jogja. Dan membuat warga Jogja tetap punya sedikit alasan untuk menjaga keistimewaan. Seperti mantra ketika dikumandangkan, orang Jogja kembali merasakan semangat yang sama ketika isu referendum. Meskipun hidupnya susah dan terjebak kesenjangan sosial yang lebih parah dari rerata nasional.

Seperti lirik lagu itu, Jogja memang istimewa karena orang-orangnya. Ketika warga Jogja masih percaya isi lagu tersebut, Jogja akan istimewa. Tanpa lagu tersebut, mungkin orang Jogja lupa dengan status dirinya. Jogja istimewa hanya menjadi status hitam di atas putih tanpa nyawa. Dengan lagu “Jogja Istimewa,” warga Jogja punya sedikit tenaga untuk menghantam suara penghina daerahnya. Masih punya sedikit nafas untuk tanya “KTP mana boss?! Kalau tidak suka, keluar dari Jogja moass!”

Kill the DJ juga tidak sekadar memuji keistimewaan. Kembali bersama JHF, Kill the DJ merilis “Jogja Ora Didol”, lagu yang membakar semangat isu yang diangkat oleh Mas Dodok. Membuat beberapa orang Jogja mulai melek isu agraria dan gentrifikasi yang mengancam daerahnya. Dengan lirik yang teduh dan menjadi sentuhan lembut di telinga penguasa.

Kill the DJ adalah kunci

Tapi seperti Jogja, tentu romantisnya “Jogja Istimewa” yang tetap meraja. Meskipun hantaman isu miring menerpa, Jogja Istimewa yang juara. Tentu tanpa karya beliau ini, orang Jogja akan terlalu lama tenggelam dalam kritik dan perlawanan memperjuangkan ruang hidup. Sampai lupa kalau Jogja itu istimewa meskipun semua makin susah.

Bahkan beliau, bersama JHF, bisa tampil di dalam Kraton. Diiringi oleh Royal Orchestra, menembangkan lagu di pusat monarki Jogja. Hebat betul.

Jangan salah, itu impian lho. Musisi itu, dimungkiri atau nggak, butuh pengakuan. Ya dari fans, ya dari industri, dan kalau bisa, ya dari penguasa.

Siapa yang tak mau tampil di depan orang paling penting di Yogyakarta? Plus, diiringi Royal Orchestra lagi. Vibesnya benar-benar mewah. Bayangkan “Jogja Ora Didol” diiringi Royal Orchestra.

Saya jadi membayangkan Sex Pistols manggung di depan keluarga Kerajaan Inggris, membawakan “God Save The Queen”, diiringi orkestra. Sid Vicious yang nggak bisa main bass itu pasti malu betul dibuatnya.

Menjaga keistimewaan dari jauh

Tapi tidak hanya sisi musisi dan JHF yang istimewa. Sosok di balik Kill the DJ juga menjadi gambaran orang Jogja yang istimewa. Terus menjaga martabat Jogja dari jauh, alias dari Klaten. Sebagaimana orang Jogja yang terus membela keistimewaan dari jauh, karena Jogja memang “ditinggal ngangeni, ditunggoni ra sugih-sugih.”

Dan seperti mereka warga luar Jogja yang terus memuja romantisnya daerah istimewa ini. Dari jauh melawan suara kontra istimewa warga lokal melalui karya dan opini. Kalau kata orang-orang nih, blz dengan karya.

Kini bayangkan Jogja tanpa Kill the DJ, tanpa JHF, tanpa “Jogja Istimewa.” Di mana romantisnya? Bagaimana orang mengenal keistimewaan Jogja?

Tanpa tri tunggal patih keistimewaan, Jogja hanya akan jadi daerah wisata yang gitu-gitu saja. Tidak ada bahan bakar membela keistimewaan dari suara sumbang buruh, pedagang, tukang becak, pelajar, seniman, pengantin muda, sampai manula. Tanpa blio dan karyanya, Jogja akan sepahit topi miring.

Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Jogja Istimewa: Realitas atau Ilusi?

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version