Sudah cukup lama saya nggak mengikuti isu tenggelamnya kota kelahiran saya, Pekalongan. Maklum, sebagai warga yang sudah terbiasa dengar berita itu, saya mencoba menghindarinya. Namun, apa hendak dikata. Seorang teman kantor tiba-tiba menunjukkan sebuah postingan kepada saya. Postingan di Instagram yang ditunjukkan ke saya itu adalah berita bahwa Pekalongan akan tenggelam tahun 2031.
Sejujurnya saya nggak begitu kaget melihat postingan tersebut, tapi melihat tahunnya, ya jadi was-was juga. 2031, Bro! Itu artinya, kurang lebih 9 tahun lagi Pekalongan tenggelam. Coba saya hitung, kalau sekarang usia saya 24 tahun, Pekalongan bakal tenggelam persis ketika saya berusia 32 tahun.
Tentu saya prihatin. Apalagi sebagai warga lokal yang tak berdaya, nggak ada yang bisa saya lakukan, kecuali memperbanyak wirid. Ha pie? Seperti nggak ada langkah yang meyakinkan dari pihak pemerintah, baik tingkat kota maupun provinsi bahkan pusat untuk menanggulangi bencana itu.
Sampai sini perlu saya garis bawahi, siapa tahu ada yang ngamuk. Begini, saya tadi bilang nggak ada langkah yang meyakinkan, bukan nggak ada langkah sama sekali. Ya ada sih langkah pemerintah untuk mencegah Pekalongan tenggelam, tapi langkah-langkah yang ditempuh masih jauh dari kata efektif. Saya tahu apa yang dilakukan pemerintah, terutama Pemkot Pekalongan, itu sudah sangat banyak. Sayangnya, yang banyak itulah yang mubazir. Banyak tapi nggak efektif buat apa? Ngabisin anggaran doang.
Saya ambil contoh satu yang paling ngaco. Mitigasi bencana yang—menurut saya—sangat nggak tepat, yaitu pembangunan tanggul raksasa. Buat yang belum tahu, Pekalongan sudah punya tanggul raksasa, lho.
Saya menyebut Pekalongan karena tanggul itu membentang dari Kota dan Kabupaten Pekalongan. Jadi, tanggul ini adalah proyek dari pemerintah provinsi dengan bantuan dana dari pemerintah pusat. Clear, ya? Pemkot dan Pemkab nggak usah lempar-lemparan tanggung jawab lagi soal rob. Besok-besok mending kalian lempar-lemparan senyum saja.
Tanggul raksasa yang sudah berdiri itu kurang lebih memiliki panjang 7,2 kilometer. Harapannya sih untuk menghalau air laut. Ujungnya biar wilayah penduduk tak jauh dari pantai nggak terkena banjir rob. Sesederhana itu.
Tapi permasalahan banjir nggak sesederhana itu, Malih! Tanggul raksasa yang terbentang di wilayah barat, hanya efektif untuk wilayah barat atau tempat-tempat di dekat tanggul. Sementara lokasi yang nggak terjangkau tanggul tetap banjir. Itulah mengapa akan dibangun lagi tanggul raksasa di wilayah yang lain. Untuk proyek selanjutnya, konon akan selesai pada akhir tahun 2023.
Ha? Dibangun tanggul lagi? Betul. Saya juga bingung ini mau pakai teori ilmuwan mana lagi. Kemarin saya coba pakai teori dari ilmuwan berkebangsaan El Salvador, tapi saya tetap nggak menemukan alasan konkret bahwa tanggul raksasa adalah solusi yang solutif.
Ketika menulis ini, saya menemukan laporan dari BBC, bahwa di Venesia, Italia, juga mengalami ancaman tenggelam. Salah satu kota yang klub sepak bolanya pernah diperkuat pemain idola saya, Luis Nani, ternyata juga sedang berusaha mencari cara agar nggak tenggelam.
Ngeri membaca laporan BBC tersebut. Pekalongan dan Venesia ternyata senasib sepenanggungan. Bahkan di Venesia beberapa bangunan sudah mulai tenggelam dan rusak. Laporan itu memprediksi Venesia bisa hilang pada awal tahun 2100.
Ironisnya, Venesia masih rutin dibanjiri wisatawan. Di satu sisi, populasi lokal Venesia justru kian menurun. Karena merupakan kota kecil dan nggak punya dana besar, salah satu cara yang coba ditempuh Venesia adalah dengan proyek Modul Elektromekanis Eksperimental (Mose).
Proyek Mose adalah semacam tanggul penahan laut yang terdiri dari 78 gerbang penggerak. Jadi dalam situasi air tenang, gerbang itu nggak aktif dan baru akan aktif ketika air pasang. Konsepnya seperti tanggul, tapi nggak kayak di Pekalongan yang justru jadi tempat pemancingan ikan (kalau cari di Google malah masuk kategori tempat bermain).
Namun, proyek Mose di Venesia itu pun banyak diprotes. Apalagi proyek itu nggak bisa mencegah daratan yang lebih rendah terbenam air. Selain itu, proyek tersebut belum beroperasi. Kabarnya baru bisa dipakai pada 2023 mendatang.
Jakarta juga sudah membuktikan bahwa tanggul adalah solusi yang nggak solutif. Tahun 2002, pemerintah membangun tanggul penghalau pantai di Jakarta. Sayangnya itu cuma bertahan lima tahun. Pada 2007, tanggul itu terbukti nggak sebanding dengan banjir yang makin buruk di Jakarta.
Jika di Venesia dan Jakarta saja konsep mitigasi semacam tanggul nggak efektif, kenapa masih juga dipakai untuk Pekalongan? Lucu. Padahal di Pekalongan toh juga sudah terbukti nggak berguna, kok masih saja mau bikin satu lagi?
Pemerintah, khususnya Pemkot Pekalongan, saya cermati seperti orang linglung ketika menjelaskan soal penanganan banjir. Apalagi soal ancaman tenggelam. Pemkot seolah nggak punya landasan penelitian untuk mencegah hal itu. Kalaupun ada, saya kurang tahu apakah penelitian itu dijadikan landasan dalam penanganan banjir atau pencegahan tenggelam atau nggak.
Kayaknya sih nggak, ya? Terakhir beberapa berita yang saya baca, Pemkot Pekalongan justru dengan bangga bilang akan bekerja sama dengan Belanda. Belanda sendiri diakui beberapa negara sebagai negara yang sukses dalam menangani banjir.
Dengan mendatangkan Belanda, kemungkinannya ada dua. Pertama, Pemkot sudah nggak sanggup menangani rob. Kedua, Pemkot kayaknya nggak tahu cara menerapkan hasil penelitian, atau malas baca. Tapi kemungkinan yang kedua mustahil, deh. Masa Pemkot nggak bisa menerapkan hasil penelitian, apalagi malas baca hasil penelitian?
Nggak mungkin juga Pemkot Pekalongan nggak tahu kalau untuk menangani banjir, Belanda butuh waktu lebih dari sembilan tahun. Profesor di Worcester Polytechnic Institute di Massachusetts, Fabio Carrera seperti dikutip BBC, mengatakan proyek Delta untuk menangani banjir besar di Belanda itu membutuhkan waktu hampir 50 tahun!
Sekali lagi, Pemkot Pekalongan tahu dong bahwa manajemen pengendalian banjir yang dilakukan Belanda itu butuh waktu hampir 50 tahun? Ya kali nggak tahu?
Sudah dulu, deh. Sepertinya saya harus ngobrol bareng tuan Carl Fredricksen. Siapa tahu dia bisa ngajarin saya buat nerbangin rumah.
Penulis: Muhammad Arsyad
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Kota Kreatif, Pembangunan Terbaik, dan Kebohongan Lain tentang Kota Pekalongan yang Harus Diluruskan.