Tanggapan Saya Soal Tulisan Kalis tentang Masa Iddah-nya BCL

Tanggapan Saya Soal Tulisan Kalis tentang Masa Iddah-nya BCL

Tulisan saya ini, sesuai dengan judulnya, ingin sedikit menanggapi tulisan Kalis Mardiasih berjudul, Biar Nggak Salah Paham dengan Iddah-nya BCL, yang dianggap kontroversial dan melanggar prinsip kebenaran syariat.

Perlu disampaikan terlebih dahulu bahwa Kalis bicara soal itu bukan atas nama ahli agama yang menuntut penulisnya untuk membicarakan persoalan agama secara ketat dan normatif. Pasalnya, bila ngomongin agama apa-apa harus pakai dalil yang rigit dan normatif agaknya sudah tidak mungkin dilakukan. Sekarang ini, hampir semua orang bicara agama dan merasa benar atas pikiran-pikirannya.

Dengan begitu, apa yang ditulis Kalis seputar tema Iddah lebih pada level psiko-sosiologi agama, bukan secara normatif atau doktrinal yang menuntut penulisnya harus memakai seperangkat metodologi ilmiah dan objektif. Bila pada sisi ini bisa dipahami, orang akan menjadi mudah memahami bahwa agama itu bukan hanya soal hukum dan syariat, agama juga berkaitan dengan kondisi-kondisi sosial dan kebudayaan.

Pada titik ini, banyak orang salah paham dengan tulisan Kalis dengan tuduhan bahwa Kalis telah melanggar prinsip syariat atas tulisannya yang terkesan menganggap masa iddah sudah tidak relevan bagi zaman sekarang.

Padahal, Kalis sendiri tak mempersoalkan masalah iddah dalam arti menunggu untuk tidak menikah. Yang dipersoalkan adalah apakah perempuan boleh keluar rumah atau tidak saat masa iddah berlangsung? Dalam hal ini, secara spesifik Kalis menanggapi masa iddah-nya BCL yang belum lama ini ditinggal meninggal suaminya.

Dalam kitab-kitab fikih standar dijelaskan bahwa sekurang-kurangnya ada empat hal yang tidak boleh dilakukan oleh perempuan yang sedang dalam masa iddah. Di antaranya: menerima khitbah, menikah, keluar rumah, dan berhias. Dari keempat hal ini, hanya hal ketiga saja yang dipersoalkan Kalis bahwa boleh-boleh saja bagi BCL untuk keluar rumah lantaran ia ada tuntutan pekerjaan.

Pertanyaannya, bagaimana sebenarnya Islam mengatur masalah iddah? Apakah perempuan betul-betul tak boleh keluar rumah saat masa iddah berlangsung? Atau ada hal-hal lain yang membolehkannya untuk tak mengindahkan aturan syariat itu?

Dalam tradisi fikih dijelaskan bahwa seorang perempuan yang sedang menjalani masa iddah diwajibkan melakukan apa yang disebut dengan mulazamtu as-sakan, artinya harus selalu berada di dalam rumah, tidak keluar dari dalam rumah, selama masa iddah itu berlangsung.

Ketentuan ini sudah sangat jelas tertuang dalam Alquran surat At-Thalak ayat 1, “Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah para wanita itu keluar dari rumah.” Meski begitu, para ulama telah bersepakat bahwa bila wanita itu sedang ada udzur, hajat, atau hal-hal yang harus ia lakukan di luar rumah, maka boleh baginya keluar rumah pada masa iddah itu.

Di antara ulama-ulama yang membolehkan perempuan untuk keluar rumah atas kepentingan-kepentingan tertentu adalah Imam Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Alasannya, karena perempuan itu sudah tidak mendapatkan nafkah lagi dari suaminya, baik ketika ia ditalak tiga maupun ditinggal mati. Dalam keadaan mendesak seperti ini, dia wajib mencari nafkah sendiri. Maka tidak masuk akal bila perempuan itu dilarang keluar rumah, sementara tidak ada orang yang berkewajiban untuk menafkahinya.

Dalam hal ini, yang menjadi ‘illat (alasan) atas kebolehannya semata-mata karena perempuan itu tidak ada yang memberi nafkah untuk menyambung hidup. Bila sudah ada yang memberi nafkah atau perempuan itu memiliki harta yang cukup, maka kebolehan ini menjadi tidak berlaku.

Pertanyaannya, apakah BCL tidak punya duit? Bukankah ia artis kaya raya yang tak butuh materi lagi untuk menyambung hidupnya selama masa iddah? Nah, pada titik inilah tulisan Kalis menjadi perdebatan.

Pasalnya, BCL adalah orang kaya, sedangkan ia keluar dari rumah hanya untuk tujuan bekerja yang dia sendiri mungkin tak butuh pekerjaan itu bila hanya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya selama masa iddah. Ditambah lagi, ada pelanggaran kedua yang dilakukan BCL, yakni ia keluar rumah dengan tujuan kerja disertai dengan memakai perhiasan yang juga tidak diperbolehkan pada masa iddah.

Dalam masalah ini, hal yang perlu diperhatikan adalah soal jenis pekerjaannya bahwa konteks pekerjaan di era modern ternyata bentuknya sangat kompleks. Di masa sekarang, bila kita kerja ikut orang, baik perusahaan maupun negara, kita tak bisa seenaknya sendiri mau bekerja atau tidak, apa pun alasaanya.

Ada aturan main dan kode etik pekerjaan yang sama sekali tidak boleh diabaikan begitu saja. Misalnya, BCL memang kaya raya, tapi sebagai artis, ia memiliki banyak kontrak kerja yang menuntut orang itu melaksanakan kontrak kerjanya. Dan apa pun alasannya, ia tetap harus menyelesaikan kontrak kerja itu. Pada sisi ini, betapa pun BCL kaya, ia tetap harus melaksanakan kewajiban pekerjaannya. Adapun soal memakai perhiasan dan mempercantik diri, itu sudah menjadi tuntutan pekerjaan, yang dia sendiri mungkin tak begitu menginginkannya.

Ringkasnya, perempuan yang sedang menjalani masa iddah tetap boleh bekerja. Dengan catatan, harus bisa memperhatikan asas kepatutan, dan tidak berpenampilan secara berlebihan. Asas kepatutan ini sifatnya juga fleksibel dan relatif, tergantung situasi dan kondisi.

Terakhir, saya ingin katakan bahwa tulisan ini tidak dimaksudkan untuk melakukan pembelaan terhadap tulisan Kalis, atau mendebat orang-orang yang membantah tulisan Kalis tersebut. Di sini, bila melihat tulisan Kalis pada level psiko-sosiologi agama, maka Kalis benar. Sementara orang-orang yang membantah tulisan Kalis juga benar, karena mereka menggunakan kaidah normatif-doktrinal dalam melihat Islam.

BACA JUGA Memberitakan Orang Meninggal, Kenapa Selalu Dikaitkan Sama Firasat? atau tulisan Rohmatul Izad lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version