Saya sering sekali membaca postingan warganet dengan bunyi macam ini: prestasi anak bangsa, terutama prestasi bidang agama tak pernah diliput media, sedangkan keburukan pemuka agama diliput, dan semacamnya. Kata-kata ini seolah menganggap para wartawan berpihak pada musuh agama tertentu.
Untuk mendapat jawaban yang memuaskan, saya bertanya kepada teman saya yang seorang wartawan. Saya mengajukan pertanyaan netizen kebanyakan. Istilahnya, saya jadi perwakilan mulut para netizen. Tapi, demi keselamatan teman saya tersebut, nama dan identitas lain tak saya beberkan.
Berikut jawaban teman saya terkait alasan mengapa media kurang tertarik meliput prestasi bidang agama yang diraih anak bangsa.
“Sebagai wartawan gurem, saya sebenarnya kurang kompeten. Tapi, untuk memuaskan dahaga para netizen yang dimaksud, saya akan jawab pertanyaan netizen.
“Bagaimana mau kami liput, wong tidak ada rilis berita atau informasi dari pihak yang mendampingi si juara. Lalu, apa sisi menariknya bagi orang dari agama lain? Pas kami liput, eh kena ejek lagi dari SJW kalau kami memihak agama mayoritas padahal jurnalistik itu tentang berdiri di tengah-tengah keragaman. Serba salah kami. Duhhh.
“Kembali ke lomba bidang keagamaan tingkat dunia. Kalau dilihat-lihat yah, segmentasinya cukup besar sih. Berita macam ini bisa menyasar kalangan penganut taat dan warga negara yang senang dengan simbol-simbol agama tertentu. Apalagi kalau berita ini disebar ke ormas-ormas agama mayoritas, gaungnya bisa ke mana-mana.
“Tapi, lagi-lagi tapi, bandingkan dengan berita pembunuhan dan semacamnya? Mana yang lebih menguntungkan dalam perspektif media mainstream? Ya jelaslah, berita pembunuhan yang lebih universal dan menjangkau banyak kalangan.
“Ketertarikan masyarakat Indonesia kebanyakan adalah berita macam itu. Ketertarikan mayoritas ini yang secara tak langsung membentuk pasar dan selera redaktur serta pengarah liputan. Apalagi bagi kami yang bekerja di media yang menjilat pantat SEO, ya berita macam prestasi bidang agama itu bukan prioritas.
“Berita macam itu baru akan menjadi prioritas ketika si juara punya latar belakang hidup yang bisa membangkitkan emosi tertentu. Misalnya si juara adalah anak yatim piatu, si juara ternyata memiliki keterbatasan fisik, si juara tidak didukung pemerintah, si juara tinggal sendiri di tengah hutan dan semacamnya.
“Sisi-sisi yang saya sebut di atas adalah nilai utama sebuah peristiwa diliput dan informasi diulik sedalam-dalamnya. Jika tak ada unsur menarik tersebut, berita itu akan menjadi pelengkap berita pembunuhan, penggerebekan pasangan bukan suami-istri, dan perselingkuhan orang ternama.
“Nilai unik yang bisa memancing jari mengklik tautan adalah yang utama. Ditambah judul yang click-bait, maka berita bisa mendatangkan lalu lintas view yang padat. Imbasnya adalah, bagian iklan kami lebih percaya diri menyodorkan kerjasama ke perusahaan dengan jaminan view itu.
“Paham? Kalau belum, saya jelaskan lagi deh. Begini.
“Berita artis selingkuh atau kena grebek di hotel jauh lebih menarik bagi kebanyakan orang dan punya peluang mengundang klik. Ayo ngaku saja? Kamu juga salah satu orang yang terpancing mengklik tautannya kan?
“Ini berita yang bisa membuat kami para wartawan spesialis click-bait untuk bergegas ke kantor polisi, ke pengelola hotel, ke keluarga korban, ke keluarga yang memesan korban dan semacamnya. Kami akan luangkan waktu lebih menggali informasi hingga ke ranting-rantingnya. Berita ini akan terpecah-pecah dan memenuhi halaman awal situs berita kami dan akan tersebar di sosial media macam Facebook, Line Today, atau malah menjadi topik perbincangan WA Group.
“Ini berita yang bisa bikin kami dapat bonus karena menguntungkan dari sisi bisnis. Berita tentang prestasi bidang agama juga penting untuk kalangan tertentu, tapi sumbanganya pada bisnis ya gitu deh. Bukannya kami menolak yah. Kami hanya berusaha bertahan di tengah persaingan beragam media memperebutkan ‘sepotong kue’.
“Untuk mereka, khususnya netizen yang ngomong di medsos bahwa kami para wartawan tak meliput prestasi bidang agama tingkat internasional dan bisanya hanya menyudutkan pemuka agama, ini yang mau saya katakan. Wartawan seperti saya butuh makan, bukan memenuhi keinginan dan kebanggaan primordialmu, Bangke.
“Kalian, netizen yang mengeluh demikian, bisa coba membuat media sendiri. Isinya adalah berita juara bidang keagamaan tingkat internasional dan semacamnya. Berita yang menurut kalian layak disajikan ke komunitas kalian sendiri. Kalau mau lihat kenyataan di lapangan, cobalah lakukan ekspansi dengan konten yang menurut kalian layak disebar. Semoga kalian bisa bertahan secara mandiri. Supaya kalian tidak mengucapkan hal goblok lagi.”
Demikianlah hasil tanya jawab saya dengan teman tersebut. Semoga dengan jawaban tersebut, kalian, para netizen yang berdiri di luar bisnis media dan tak tahu dapurnya, akan lebih paham bahwa kalian yang ingin berita prestasi bidang agama diliput, pas beritanya sudah bisa diklik, toh hanya berhenti sampai di judul saja.
BACA JUGA Coki Pardede Nggak Salah, tapi Nggak Lucu Aja