Tangerang Selatan dan Jakarta Sama Aja, Sama-sama Baiknya Ditinggalkan

Tangerang Selatan dan Jakarta Sama Aja, Sama-sama Baiknya Ditinggalkan

Tangerang Selatan dan Jakarta Sama Aja, Sama-sama Baiknya Ditinggalkan (Unsplash.com)

Belakangan saya merasa punya banyak alasan untuk angkat kaki dari Tangerang Selatan. Terlepas dari kontroversi politiknya yang menjadi diskursus beberapa waktu lalu, menurut saya, Tangsel adalah kota ketiga yang mesti segera ditinggalkan setelah Depok dan Bekasi.

Terhitung sudah tujuh tahun saya mengadu nasib di Tangerang Selatan. Selama tujuh tahun itu pula saya menyusun alasan-alasan paling masuk akal untuk segera meninggalkan kota ini. Terlebih bagi saya yang kerja di Jakarta dan pulang ke Tangerang Selatan. Akhir-akhir ini saya kepikiran, memangnya ada hal yang membuat Tangsel lebih layak dipilih ketimbang Jakarta?

Gaya hidup di Tangerang Selatan sama saja kayak di Jakarta, sama-sama kebanyakan gaya

Sebagai kota aglomerasi, nggak heran kalau gaya hidup di Tangerang Selatan dan Jakarta hampir sama. Hal yang mesti dimaklumi karena Tangsel sendiri punya dua kota mandiri, BSD dan Bintaro Jaya. Masing-masing kota mandiri ini punya lebih dari dua mall dengan harga yang relatif sama jika dibandingkan mall-mall di Jakarta.

Begitu juga kadai-kedai kopi kekiniannya. Awalnya saya pikir selisih rata-rata penghasilan hingga Rp396.590 tiap bulan bisa menekan harga coffee latte tanpa gula di Tangsel. Nyatanya harganya ya nggak jauh beda sama Jakarta. Bahkan saya pernah menemukan kopi di salah satu kedai di Tangerang Selatan yang harganya lebih dari Rp30 ribu.

Kalau sudah begitu sih mending sekalian ngopi saja di Jakarta. Biasanya tempat yang ditawarkan lebih instagrammable, nggak begitu panas, dan yang penting harga dan rasa kopinya sesuai.

Baca halaman selanjutnya: Harga makanan sama mahalnya…

Harga makanan sama mahalnya

Waktu awal merantau, saya memilih tinggal di Tangerang Selatan karena harga makanan di sini tergolong murah. Dulu saya masih bisa menemukan warung makan yang menyediakan nasi, sayur, tempe orek, dan ikan tongkol seharga Rp13 ribu. Tentu harga tersebut masih terjangkau saat upah minimum Kota Tangerang Selatan masih berkisar Rp3,6 juta per bulan.

Tapi sekarang, harga seporsi nasi goreng gerobakan di Tangsel setara harga makanan di Cikini Jakarta, yakni Rp20 ribuan. Begitu juga masakan di rumah makan yang terkenal murah, di sana saya bisa menghabiskan uang Rp16 ribu untuk makan nasi sayur buncis dan kentang mustopa. Padahal kan upah minimum di sini Rp4,6 juta, selisihnya lumayan kalau dibandingka Jakarta yang upah minimumnya menyentuh angka Rp5 jutaan.

Dua kota mandiri pertegas ketimpangan infrastruktur di Tangerang Selatan

Tangerang Selatan sendiri tercatat punya tujuh kecamatan. Ketujuh kecamatan itu adalah Ciputat, Ciputat Timur, Pamulang, Pondok Aren, Serpong, Serpong Utara, dan Setu. Dari tujuh kecamatan, hanya Serpong dan Pondok Aren yang memiliki tata letak kota lebih baik. Gimana nggak, dua kecamatan itu masuk dalam kawasan dua kota mandiri.

Jika membandingkan Kecamatan Pondok Aren dan Kecamatan Ciputat, sudah tentu dua dunia yang berbeda. Pondok Aren terhitung punya 3 mall dengan ruas trotoar jumbo di depannya yang selalu jadi pilihan malam minggu muda-mudi Tangerang Selatan. Ciputat juga punya Ramayana, posisinya pas di turunan fly over, di seberang Pasar Ciputat yang modernnya ragu-ragu.

Jika dibandingkan Jakarta, jelas nggak ada bedanya. Ketimpangan infrastruktur Jakarta bisa dilihat langsung sepanjang jalur KRL Pondok Ranji hingga Tanah Abang, begitu jalur KRL yang melingkar di Jakarta. Trotoar-trotoar jumbo juga cuma bisa ditemui di kawasan Jenderal Sudirman-M.H Thamrin.

Kehadiran dua kota mandiri mempertegas ketimpangan infrastruktur di Tangerang Selatan. Di Jakarta, tanpa kota mandiri pun ketimpangan infrastruktur jelas terlihat meski didapuk jadi pusat ekonomi setelah ibu kota dipindah.

Cuma punya gedung arsip, bukan perpustakaan daerah

Sebagai lulusan Sastra Indonesia dari salah satu kampus kebanggaan Pemerintah Kota Tangerang Selatan, saya sendiri bingung dengan kantor Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Tangerang Selatan. Pernah sekali saya berkunjung ke sana, dengan harapan banyak menemukan buku-buku dari penulis besar. Sesampainya di gedung utama perpustakaan itu, sejauh pandangan mata saya, hanya ada buku resep masakan dan buku anak.

Padahal moto Pemerintah Kota Tangerang Selatan “cerdas, modern, dan religius”, gimana caranya kalau jendela dunia saja terbatas? Tapi paling nggak, Tangerang Selatan punya Perpustakaan Pahala, yang dikelola per orangan. Jaraknya nggak lebih dari 3 kilometer dari Stasiun Sudimara. Di sana saya banyak temukan novel-novel dari penulis beken, dalam dan luar negeri.

Intinya, upaya memperdalam khazanah kesusastraan lebih baik di Perpustakaan Pahala ketimbang yang dikelola Pemerintah Kota. Padahal penulis Tangerang Selatan pun nggak kalah bersaing karyanya, lihat saja rekam jejak Radhar Panca Dahana.

Panas banget, nggak cukup pakai dua kipas

Secara rata-rata harian, panas di Tangerang Selatan sendiri nggak jauh berbeda dengan Jakarta, yakni 33 derajat Celcius. Akan tetapi, Jakarta lebih unggul lantaran Tangerang Selatan punya Kecamatan Ciputat yang sempat disematkan wilayah terpanas di Indonesia dengan suhu 37,2 derajat Celcius.

Panasnya Tangerang Selatan agaknya perlu dimaklumi. Kenapa? Berdasarkan hasil studi salah satu dosen di kampus saya, kegiatan ekonomi di kota ini masih didominasi sektor real estate dengan kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 12.503,61 di tahun 2022. Itulah kenapa ada dua kota mandiri di kota ini.

Tapi anehnya, para pengusaha real estate di sini seolah tak tahu malu. Seenaknya saja memberi nama Asri, Hijau, hingga Rimbun, untuk kluster-kluster yang dibangun lewat proses alih fungsi lahan rawa yang buat kota ini nyaris sepanas Myanmar. Jujur saja, jika sedang terik-teriknya, ada dua kipas dalam satu kamar kos saja rasanya kurang.

Begitulah rasanya tinggal di Tangerang Selatan yang sama saja penuh masalah seperti Jakarta. Memang kota satu ini semakin berkembang, tapi saya rasa memang baiknya ditinggalkan saja biar nggak sambat mulu setiap hari.

Penulis: Andi Hidayat
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Unpopular Opinion: Ulasan di Google Maps Lebih Valid daripada TikTok untuk Rekomendasi Tempat Wisata.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version