Menginjakan kaki di halaman kampus kali pertama seolah menjadi kebanggaan tersendiri bagi banyak manusia-manusia yang sekarang telah resmi menyandang gelar mahasiswa dan meninggalkan kehidupan SMA dengan pakaian seragam putih abu-abu, batik, dan pramuka setiap minggunya. Kini tidak ada lagi namanya pakaian diatur seperti dulu kala asal sang maha benar dan di matanya kita selalu salah, Dosen, mengiyakan boleh-boleh saja.
Entah mengapa cerita dunia perkuliahan selalu menjadi bahasan yang menarik untuk dibahas apalagi mengenai sambat kita yang seolah-olah mahasiswa adalah mahluk paling menderita di muka bumi. Di awal menyandang predikat mahasiswa kala masih polos-polosnya membuat kita senang dan jumawa sebab bisa diterima berhasil menyingkirkan berbagai orang yang ingin juga merebut satu kursi dambaan namun sayang kampus tidak memilihnya.
Usai maba, semester berikutnya telah memiliki adik tingkat, menjadi senior jujukan dari adik tingkat kiranya kita menjadi sumber kredibel mengenai kehidupan pahit-manis di kampus mulai mendongengkan motivasi atau cerita membanggakan diri sendiri semisal; kamu kuliah harusnya jangan terpaku pada kegiatan akademis saja, organisasi harusnya juga menjadi prioritas utama karena disanalah kamu akan menemukan relasi berguna untuk masa depan mencari kerja setelah wisuda kelak. Atau juga menjadi rujukan dari adik-adik tingkat mengenai Dosen killer dan berhati mulia.
Namun pertanyaanya, apakah saat kita kuliah selalu dapat melewati tuntutan rintangan dengan mulus semulus cerita yang kita ceritakan pada adik-adik tingkat? Jawabanya mungkin iya dan tidak. Bisa iya jika kita bercerita saat semester belum tua-tua amat, bisa jadi tidak kalau semester yang kita emban katakanlah sudah tua, nah kalau sudah begini bagi kita mahasiswa yang sadar bukan penghamba eksistianlisme pada adik tingkat akan merasa bersalah menggaungkan-gaungkan dengan amat cakap motivasi besar dan enaknya bangku perkuliahan.
Berbeda lagi dengan mahasiswa eksis ingin dianggap penting akan tetap santai menghadapi pelbagai masalah tersebut, bersikap tidak mempunyai beban di semester-semester tua. Tapi sebagai manusia yang baik kita patut berbaik sangka, apa yang telah ditampilkan kepada public dengan gaya teramat santai bisa jadi kenyataanya dia merupakan manusia yang bingung, mungkin saja dia sedang bermain peran seperti apa yang telah diungkapkan oleh Eving Gofman soal Dramaturgi disana dikenal Panggung Depan (Front Stage) dan Panggung Belakang (Back Stage) anggap saja begitu untuk meredam hal yang mengada-mengada semisal; dia bisa santai karena tidak mau kelompokan, tugas-tugasnya dikerjakan anggota kelompok lainya dan dia hanya mendompleng nama.
Kini, tugas dari hari ke hari menumpuk, satu tugas selesai dikerjakan berharap dapat rebahan di kasur empuk kostan nyatanya harus sedia meluangkan waktu istirahat demi revisian. Setiap hari bergelut dengan tugas, malam pun harus rela begadang mata panda tidak lagi dapat terhindarkan konsekuensi memang menjadi mahasiwa, lelah diri tidak untuk bekerja mencari pundi-pundi penghasilan melainkan bagaimana caranya agar tugas dapat terselesaikan serta lelah hati akibat diberi harapan palsu oleh Dosen dengan pledoinya yang tidak dapat diganggu gugat.
Ingin sekali sebagai anak kalau sudah hampir menyerah begini menyandarkan kepala pada pundak Ibu dan besar keinginan rambut lusuh ini dibelainya sambil beliau memberikan seutas semangat pada anaknya “yang semangat nak, jalani saja pingin hidup mulia ya harus mau menjalani pahit kehidupan terlebih dahulu, semangat nak” betapa kita merindukanya momen-momen tersebut, sampai hari ini hanya beliau yang dapat menjadi tempat berkeluh kesah hingga sampai air mata berlinang penanda petuah-petuahnya telah aku tanamkan kuat-kuat dalam hati.
“Bu, saya ingin pulang rindu terhadap cerita-cerita yang dapat menumbuhkan gairah menjalani hidup sebagai manusia dewasa, rindu terhadap masakan sayur asam dan ingin sekali saya menjauh dari ucapan berpamitan darimu, dari jauh sini anakmu rindu, Bu”.
Kenyataanya sekarang sudah bukan SMA lagi, setiap harinya dapat bertemu Ibu, sekarang sudah berpisah dalam tenggang waktu yang cukup lama demi memperjuangkan bekal hidup untuk masa depan kelak. Semoga saja anakmu ini dapat mengemban amanah baik-baik menjadi mahasiwa beradab berguna bagi keluarga, nusa dan bangsa. Jika sudah begini rasanya ingin sekali kembali ke SMA lagi.
BACA JUGA Gondrong itu Identitas, Bukan Sekedar Gaya-Gayaan atau tulisan Yudi Kuswanto lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.