Memilih Suzuki SX4 bekas sebagai mobil pertama, sebenarnya bukan sebuah hal aneh bagi kami. Di tahun 2019, ketika tinggal di luar Jawa dan memiliki agenda tahunan, yaitu mudik lewat jalur darat, opsi membeli kendaraan roda empat adalah hal yang tidak bisa dinegosiasi, karena opsi lainnya adalah mudik 2 atau 3 tahun sekali dengan moda transportasi udara.
Tentu saja, opsi tersebut tidak saya pilih karena bisa membuat saya depresi dan kesal luar biasa pada Kemenhub yang tidak bisa membuat harga tiket pesawat lebih murah.
Kami meminang Suzuki SX4 di tahun 2019. Harga mobil tersebut berada di kisaran 70-80 juta-an untuk mobil produksi tahun 2008. Kami tidak mau buka berapa harga kami beli mobil tersebut, tapi range-nya segituan lah. Dan, usia mobil terhitung sudah 11 tahun, saat kami membeli mobil bekas tersebut.
Keluarga besar yang mendengar rencana kami membeli mobil memang sudah memberi usulan macam-macam. Terutama supaya membeli mobil Xenia atau Avanza saja yang perawatannya mudah dan onderdilnya pun relatif terjangkau. Muncul juga usulan lain, yaitu kredit mobil LCGC agar mendapat mobil baru.
Tapi, karena memang sudah berniat membeli mobil dengan budget seadanya dan menghindari merek mobil yang banyak kembarannya, akhirnya pilihan kami jatuh pada Suzuki SX4 tahun 2008 milik seorang dokter di Jakarta Selatan.
Suzuki SX4: awal yang manis, tapi ternyata pahit di belakangnya
Euforia punya mobil baru, meski bekas, saya rasakan cukup manis. Pergi ke mana-mana tidak khawatir kehujanan. Saat panas terik, AC di dalam mobil serasa angin surga. Kenikmatan itu sangat berarti bagi keluarga kecil dengan batita seperti kami.
Tapi, baru beberapa bulan, “penyakit” SX4 mulai bermunculan. Diawali dengan suara ‘terektektek terektektek terektektek’ yang tidak pernah absen saat mobil dalam kondisi standby. Bikin stres kalau bunyi-bunyian itu muncul saat kondisi macet atau saat lampu lalu lintas yang cukup lama.
Akhirnya, perbaikan pertama pun dilakukan karena suara mengganggu itu bikin berkendara tidak nyaman. Sumber penyakitnya berasal dari kompresor AC. Tidak berhenti sampai di situ. Perbaikan berlanjut pada penggantian AC secara total dan dua tahun setelah pembelian mobil, Suzuki SX4 kami dinyatakan harus turun mesin.
Dulu siap dengan biaya mobil bekas, tapi lama-lama berat juga
Secara penampilan, mobil bekas jelas tidak sekinclong mobil baru. Baik dalam maupun luarnya, bagi suami saya yang ‘gatal’ melihat ketidakkinclongan itu akhirnya sedikit demi sedikit mulai mendandani SX4.
Diawali dengan mengganti jok, mengecat ulang body agar warna abu metaliknya lebih glow, mengganti head unit dengan model layar sentuh, bluetooth, dan lain-lain. Langkah yang terbukti cukup boros, apalagi kalau ditambah biaya tahunan yang lebih penting, yaitu biaya sebelum mudik. Jelas lebih penting karena kami tidak mau waswas saat di perjalanan, maka harus dipastikan mobil tua ini dalam kondisi prima sebelum dibawa berkendara lintas pulau lintas provinsi. Pengecekan atau perbaikan kaki-kaki, ganti ban, servis AC, biaya totalnya tidak cukup satu juta rupiah.
Dan yang tidak terlupakan selama kepemilikan, Suzuki SX4 kami ini sudah dua kali mogok total sampai pernah harus diderek. Setelah diderek tentu tidak berhenti di situ saja masalahnya. Pasti akan keluar jutaan rupiah untuk perbaikan sampai mobil sehat kembali. Belum lagi kalau AC tiba-tiba hanya keluar angin saja, alamat harus ke bengkel AC mobil lagi. Iya, lagi, karena itu terjadi tidak cuma sekali.
Hal-hal tersebut lama kelamaan tidak hanya bikin megap-megap rekening keluarga, tapi juga harus menyiapkan mental kalau si SX4 tiba-tiba “sakit”.
Bensin adalah kebutuhan dasar yang bikin pengeluaran terasa berat
Kalau teman-teman kami melihat SX4 lalu bertanya soal konsumsi BBM-nya, rata-rata mereka akan tercengang setelah mendengar jawabannya.
Itu karena mobil yang tergolong mungil, tapi mesin 1.500 cc-nya membuat konsumsi BBM di dalam kota rata-rata cuma 1:9. Betapa mobil ini memang gampang ‘haus’.
Awalnya, kami memang pasrah saja dengan uang BBM yang di atas satu juta rupiah per bulan, karena mobil yang dipakai setiap hari menempuh jarak kurang lebih 25 kilometer. Tapi, dengan biaya perawatan, biaya tahunan, dan BBM yang harus ditekan, akhirnya di tahun keenamnya bersama kami, SX4 abu metalik itu harus kami relakan ke showroom mobil bekas.
Suzuki SX4 tetap kami rekomendasikan pada yang lega anggarannya
Andaikan budget perawatan mobil dan BBM kami lebih longgar, tentu SX4 akan kami pertahankan. Karena selama bersama kami, SX4 ini memberikan kenyamanan yang sangat kami syukuri.
Kalau dibandingkan mobil LCGC bahkan mobil pabrikan sejuta umat dengan harga yang setara, kedapnya SX4 masih menjadi juara. Desain mobil jelas tidak pasaran. Meskipun mobil kami termasuk mobil tua, tapi ketika berada di parkiran, modelnya masih tampak apik. Memang tidak banyak alasan untuk meminang SX4, tapi karena kala itu kami terpancang pada satu alasan, yaitu budget, SX4 yang kami pilih tidak membuat kami menyesal.
Bagi kami, meminang SX4 sebagai mobil pertama adalah one of a kind yang sangat berkesan di hati maupun di rekening. Setelah berhitung total keseluruhan pengeluaran dari awal membeli mobil bekas hingga perawatan terakhir saat kami lepas, bila mungkin kebanyakan orang akan merutuk soal betapa borosnya mobil ini, tapi kami ikhlas saja.
Alih-alih menyesali, malah tiap kali melihat Suzuki SX4 yang lebih muda di jalanan, mata kami auto berbinar karena sudah merasakan nyaman dengan versi tua Suzuki Crossover yang bagi saya tampan, meski dijuluki si semok oleh para pecintanya.
Penulis: Izzatun Nisa
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Mobil Suzuki Bukan Terkesan Murahan, tapi Ia Adalah Mobil yang Rendah Hati
