Banjarnegara adalah kabupaten dengan luas 37,56 kilometer persegi yang terletak di Provinsi Jawa Tengah. Sayangnya, nama kabupaten satu ini kurang familier di telinga kebanyakan orang Indonesia. Padahal ada Dieng yang sebagian wisatanya berlokasi di Banjarnegara. Namun tetap saja hal itu nggak serta merta membuat Banjarnegara lebih terkenal daripada Wonosobo.
Gara-gara namanya yang kurang familier inilah para perantau asal Banjarnegara merasa kesulitan ketika berada di perantauan. Apalagi ketika mereka berkenalan pertama kali dengan orang asing di perantauan.
Jadi gini, kebanyakan mahasiswa dari mBanjar kuliah ke daerah bandek seperti Jogja atau Semarang. Beberapa ada juga yang ke Purwokerto dan Solo. Nah, di perantauan itulah mahasiswa mBanjar ini biasanya akan berkenalan dengan orang baru. Masalah pun bermula dari situ.
Nggak tahu di mana letak Banjarnegara
Suatu hari teman saya bercerita, dia pernah mengalami percakapan yang kira-kira seperti ini:
“Asalnya dari mana, Mas?” tanya seseorang.
“Dari Banjarnegara,” jawab teman saya santai.
“Itu perjalanan berapa hari dari sini, Mas?” terdengar agak basa-basi, tapi menyebalkan.
“Itu masih Jawa Tengah, Mas. Sekitar 3 jam saja. Lha, sampean dari mana, Mas?” teman saya mulai agak emosi.
“Magelang, Mas,” si penanya tersenyum tanpa merasa bersalah.
Bayangkan, tetangga kabupaten yang hanya dibatasi oleh Wonosobo saja nggak tahu Banjarnegara ada di mana! Saya dan teman saya kemudian berdiskusi dan mendapati kesimpulan bahwa mungkin bagi sebagian orang, daerah asal kami ini ada di sebelah “sono”nya Indonesia kali, ya?
Pernah juga terjadi kasus serupa, kira-kira begini:
“Dari mana, Mbak?” tanya seorang perempuan.
“Banjarnegara, Mbak,” menjawab dengan mulai menaruh rasa curiga.
“Oh, Kalimantan, ya? Jauh, dong?” bertanya dan sepertinya benar-benar nggak tahu.
“Itu kayaknya Banjarmasin, Mbak.”
“Kalau gitu di Jawa Timur?” mencoba menerka.
“Itu Bojonegoro, Mbak. Beda. Banjarnegara masih Jawa Tengah, kok” mencoba bersabar.
“Oh, ya? Di mana itu?”
“Dieng, Mbak” jawaban andalan sambil berharap orang-orang tahu lokasi Dieng.
“Oh, Wonosobo?” ternyata mbaknya cuma tahu kalau Dieng itu di Wonosobo, Gaes.
“Kabupaten sampingnya, Mbak. Sebagian Dieng kan masuk Banjarnegara. Dieng itu di gunungnya, rumah saya di kotanya.”
“Ooo…” masih bingung tapi nggak ingin memperpanjang obrolan.
Intinya, saya dan beberapa teman masih cukup sering menjumpai orang-orang yang nggak tahu sama sekali letak Banjarnegara, atau salah kaprah soal kabupaten satu ini. Sempat ada juga sih beberapa orang yang sudah tahu Banjarnegara, khususnya saat ada berita-berita negatif seperti bupatinya korupsi atau saat ada kasus pembunuhan oleh dukun abal-abal. Tapi, mosok terkenal karena jalur gituan?
Baca halaman selanjutnya
Habis mau gimana lagi, lha wong nggak ada yang menonjol, kok…
Habis mau gimana lagi, lha wong nggak ada yang menonjol dari Banjarnegara, kok. Udah tempat wisata utamanya kalah branding sama Wonosobo, gunung untuk mendaki nggak ada, pantai nggak punya, malnya kecil—bahkan saya nggak yakin bisa disebut mal?—, wisata alamnya rawan bencana longsor pula. Duh, kasihan sekali nasibnya.
Kalau ngomongin wisata kuliner, tentu yang paling terkenal adalah dawet ayu Banjarnegara. Sementara untuk makanan khasnya ada buntil, tapi memang nggak terlalu kondang, sih. Ada pula tempe mendoan, tapi dia lebih terkenal berasal dari banyumasan.
Ngapaknya beda
Banjarnegara masih termasuk daerah paseduluran ngapak. Namun, ngapaknya mBanjar itu berbeda dengan ngapaknya Cilacap, mBalingga, apalagi Tegal.
Jadi gini, kebanyakan orang mBanjar bahkan nggak mengatakan “inyong kencot” untuk mengekspresikan rasa lapar. Kencot di sebagian besar wilayah mBanjar memiliki arti “terinjak” alias “kepidek”. Kami lebih banyak mengatakan “nyong ngelih”. Jadi, ngapaknya mBanjar tuh nggak semedhok ngapak daerah lain.
Akan tetapi yang paling ngeselin dari ngapak ini adalah ketika berkenalan dengan orang baru, kadang ada aja yang bertanya, “Dari mBanjar kok nggak ngapak?” Hah? Gimana, gimana? Nanti kalau kami ngomong ngapak, kalian malah nggak ngerti kami ngomong apa. Serba salah, kan?
Lebih parah lagi kalau ada orang yang tahu kami dari daerah ngapak, terus tiba-tiba ngomong “inyhong kenjhod” atau “ora ngapak ora kepenak” dengan nada bicara yang dibuat-buat dan dimedok-medokkan seolah-olah kami senang mereka melakukan itu. Bukan apa-apa, kami justru merasa itu adalah hinaan buat kami. Tolonglah, bercandanya yang baik-baik saja. Rasanya tuh jadi ingin njejeg raine rika, deh.
Intinya, Lur, sebagai orang Banjarnegara yang merantau ke daerah mbandek (Joglosemar) maupun daerah lain, kami sering sekali mengalami kesulitan saat berkenalan pertama kali. Entah karena harus menjelaskan panjang lebar lokasi kabupaten kami, maupun stereotipe ngapak yang sudah kadung melekat. Memang susah deh kalau merantau dari mBanjar!
Penulis: Kamsu Aji Wiguna
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA 4 Kuliner Khas Banjarnegara yang Menggoyang Lidah.