Surat Terbuka Dari Lelaki Putus Asa Untuk Wanita yang Akan Dilamar Seseorang

lelaki

lelaki

Kemudian di sela-sela waktu istirahat, aku adalah lelaki yang justru khawatir ada seseorang di sana hendak melamar kamu yang selama ini aku nantikan. Dan begitu pecundangnya—di tengah kekhawatiran itu—aku cuma sibuk merangkai kata untuk sekadar menyapa apakah kamu sudah makan siang atau belum melalui pesan WhatsApp.

“Udah masuk jam makan siang nih, udah makan belum? Makan ya, jaga kesehatan juga.”

Hubungan cinta itu sebetulnya sederhana. Indah dan menjanjikan masa depan yang sempurna seperti kisahnya tuan putri dan pangeran tampan di film animasi Disney yang sejak kecil jadi impian kita untuk bisa dewasa dan menjadi seperti mereka. Ya, cinta itu sederhana. Yang rumit itu jalanan dan memahami ibu-ibu naik motor dengan lampu sein kanan tapi belok kiri, meski itu semua tidak serumit memahami perasaan di antara kita. Titik!

Dipatahkan berkali-kali, dikecewakan dengan berbagai alasan, sampai berdiri di jurang keputusasaan tidak membuatku berhenti memperjuangkan. Sepertinya aku ini tipe lelaki pantang putus asa dalam berjuang tapi justru sebelum tidur air mataku berlinang. Ya karena saat dulu kita pernah bersama begitu dekat hingga satuan inci. Aku lelaki yang masih bisa bersahabat dengan kenangan baik darimu, sedang kamu justru sibuk membuat kenangan baru yang tidak ada aku di dalamnya.

Ketahuilah ini surat terbuka dan sedikit curhat untukmu. Semoga kamu baca karena asal kamu tahu membuat tulisan ini butuh usaha, waktu, tenaga, dan juga kopi. Meski kita sama pahamnya jika semua ini tidak lebih baik dibanding usahanya dia untuk melamarmu. Semoga kelanjutannya tidak ada kalimat “aku juga mau nikah sama kamu” terlontar dari mulutmu jika lelaki itu bukan aku. Egois. Biar. Tom pun begitu pada Summer, mementingkan diri dan cintanya tanpa mau memahami apa yang sebetulnya Summer inginkan dalam hubungan. Banyak kesamaan dari (500) Days of Summer dengan jalannya kita. Anak-anak dengan usia nanggung sering bilang “related as fuck” jika menemui hal serupa, ya begitulah kita.

Bagi beberapa orang, menulis bisa menjadi terapi melawan sepi. Justru aku semakin sadar bahwa aku memang kesepian dan butuh kamu. Selama ini yang kutuliskan di halaman wordpress pribadiku justru banyak tentang kita. Aku dan kamu dengan sesekali ada dia di beberapa bait kalimatnya. Mungkin jika aku berhenti pura-pura untuk selalu terlihat baik-baik saja di hadapan orang-orang, aku tidak akan merasa sekesepian itu.

Hingga habis waktu istirahatku, aku justru tidak mengirimkan pesan yang sedari tadi kurangkai untuk tahu kabarmu. Aku sibuk makan siang sebetulnya. Tidak. Tidak. Aku belum makan siang tapi malah sibuk membayangkan hal-hal yang kutakutkan terjadi. Aku mati esok pagi misalnya, atau kamu benar-benar ada yang melamar di sana. Pikiran-pikiran tidak penting yang membebani tapi tetap aku jalani. Bagaimanapun hidup harus terus berjalan meski semesta senang bercanda dan tidak membuatmu bahagia, kan? Karena aku sadar seberat apapun kenangan kita dulu, tidak lebih berat dari cintaku padamu. Ini serius! Tapi jika kamu ingin yang lebih serius, aku akan buktikan nanti di depan penghulu, saksi, dan wali, nanti!

“Nggak sekarang. Aku harus kerja lagi. Jam istirahatku udah habis. Nanti deh aku ambil cuti.” (*)

BACA JUGA Kala Cinta Butuh Jeda yang Sialnya Tak Sedikit Berakhir Dengan Luka atau tulisan Alvin Noor Syawal lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version