Surat Hanoman kepada Sinta

Perang telah usai, Sinta. Kerinduanmu kepada Rama sudah waktunya diobati. Kembalinya engkau ke Ayodya bersama Rama, kukira sudah akhir dari semua cerita. Kau merdeka dari cengkeraman Rahwana. Dan, aku, Hanoman, sudah tidak ada keperluan dan kepentingan lagi di Ayodya. Kutinggalkan kota yang ramai itu untuk menyepi di gunung, untuk menjadi petapa.

Lalu kau mengirim surat kepadaku tentang nasibmu setelah perang usai. Aku bergetar ikut marah membaca suratmu, karena kau harus membuktikan kesucian cintamu dengan membakar diri ke api penyucian. Aku lega karena Dewi Agni dan Dewa Brahma menyelamatkanmu dari api. Karena engkau menjadi perempuan yang teraniaya.

Maaf, Sinta. Aku telah keliru. Kukira perang ini sudah selesai dengan menangnya Rama dan dapat memboyongmu kembali. Aku pun merenung. Mempertanyakan untuk apa perang antara pasukan kera dengan pasukan raksasa dari Ngalengka? Kutahu akhirnya Gunawan Wibisana menjadi raja di Ngalengka. Sinta, apakah kau berpikir sama denganku? Bahwa perang ini adalah perang untuk membuktikan siapa yang lebih kuat untuk menaklukkan negara lain?

Lalu aku ini berperang untuk apa dan siapa sebenarnya? Jika yang kuperjuangan, akhirnya disengsarakan. Kurasa perang ini sia-sia saja, Sinta. Aku menyesal ikut perang.

Sinta, Sinta. Kutahu dari suratmu pula, rakyat Rama tidak mempercayaimu, juga kepada rajanya. Bahkan kekasihmu itu lebih mendengarkan kawulanya, daripada engkau orang terkasihnya. Kau pun diantar Laksamana dalam keadaan hamil tua ke hutan lagi. Mereka menganggap bayi yang sedang kau kandung itu sebagai anak haram. Oh, Sinta, apa kau tak ingin menyusulku ke sini saja? Ah, mungkin karena kau hamil, kau tak kuat naik gunung, ya?

Kau juga mengabari bahwa anakmu lahir kembar, Kusa dan Lawa. Resi Walmiki juga akhirnya mengubah Ramayana dan menciptakan nyanyian “Ramachandra”. Sedangkan anak-anakmu menjadi trubadur ulung yang menceritakan tentang kesaktian ayahnya dan kesucian dirimu. Hingga Rama juga tahu bahwa mereka anak-anaknya. Tapi ayahnya terlambat tahu.

Seminggu setelah kau kirim surat, kudengar kau memilih moksa dipeluk Dewi Pertiwi, Sinta. Angslup ke dalam bumi. Mengapa kau tak memilih hidup saja Sinta, demi anak-anakmu? Mendidik mereka agar tidak seperti ayahnya. Daripada mereka harus menjadi yatim saat masih bocah, mereka kehilangan kasih sayang seorang ibu. Mereka hanya korban, Sinta.

Ah, Sinta. Aku juga mempertanyakan kepada pengripta (penulis) Ramayana. Mengapa meletakkan perempuan dalam keadaan terbuang dan diragukan keberadaannya? Apakah pujangga tersebut punya dendam kesumat kepada perempuan? Atau menganggap bahwa kesetiaan itu harus dibuktikan dengan api? Ya, api kesucian.

Dari kisahmu, aku belajar bahwa perang itu hanya sia-sia belaka. Pengorbanan akan darah-darah pengorbanan itu tak pernah ternilai.

Aku masih hidup, Sinta, seusai kisah Ramayana. Hidup hingga cerita Mahabharata. Pujangga Jawa-lah yang menghidupkanku. Hanya saja, aku menolak ikut perang dalam kurusetra antara Pandawa dan Kurawa. Aku sudah kecewa dengan perang antara Rama dan Rahwana. Aku kapok ikut perang, membela salah satu pihak untuk memenangkannya. Jika akhirnya kisahnya sepertimu, Sinta.

Bahkan di Mahabharata aku tahu ada perempuan yang dijadikan taruhan dadu, Sinta. Drupadi namanya. Bahkan pada kekalahan Pandawa, Drupadi dipersembahkan karena harta mereka sudah habis. Ia dipermalukan di balairung perjudian oleh Dursasana, adik Dauryudana. Dursasana ingin menelanjangi Drupadi dengan melucuti pakaiannya. Hanya saja, tiba-tiba kainnya menjadi penutup maha panjang dan berlapis-lapis, hingga Dursasana kewalahan.

Hingga akhirnya Drupadi bersumpah tidak akan keramas sampai darah Dursasana akan dijadikan sampo olehnya. Bima pun yang mewujudkan sumpah Drupadi dengan membunuh Dursasana dan darahnya dipersembahkan ke Drupadi.

Aku curiga, Sinta. Jangan-jangan pengripta Ramayana dan Mahabharata ini saling kenal, sehingga pemikiran mereka hampir mirip dalam memosisikan perempuan? Meski di sini Drupadi lebih beruntung dari engkau. Tapi Drupadi juga tidak bisa menolak ketika dijadikan taruhan, ia tak punya digdaya. Pada akhirnya dia diselamatkan oleh kain yang tak ingin lepas dari empunya.

Aku juga tahu, Sinta. Pada akhirnya kalian punya keberanian untuk melindungi harga diri kalian. Engkau dengan memilih moksa daripada menerima Rama kembali yang telah membuangmu. Dan Drupadi dengan sumpahnya ingin menjadikan darah Dursasana untuk mengeramasi rambutnya.

Sinta, Sinta. Jika dalam Ramayana, adik-adik Rahwana harus menjadi korban atas keegoisan sang kakak, kecuali Gunawan Wibisana. Maka di Mahabharata ini anak-anak Pandawa dijadikan korban untuk kemenangan ayah-ayah mereka. Lalu apa gunanya mereka menang dan menikmati singgasana tanpa keturunan? Siapa pewaris tahta mereka selanjutnya?

Aku mengawasi mereka hanya dari gunung tempatku bertapa, Sinta. Menyesali mengapa harus perang menjadi salah satu tujuan pengakuan diri untuk menang?

Pada akhirnya, kita hanyalah wayang yang hanya manut kersane dhalang. Atau manut kersane pujangga yang menulis nama kita dalam kitabnya. Kita sudah digariskan menjalani lakon-lakon kita, Sinta. Atau kita menjadi pujangga saja untuk menuliskan kisah yang kita inginkan, Sinta?

Kau telah dahulu merdeka, di surga sana. Sudah lepas dari belenggu dan pesona Rama. Tunggu saja aku di surga, ya Sinta. Aku masih belum ingin mati sekarang.

BACA JUGA Seandainya Saya Jadi Sinta dalam Kisah Ramayana dan tulisan Ervinna Indah Cahyani lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version