Izin mini konser di Pilkada Serentak 2020 yang dibatalkan membuat saya masygul bukan kepalang bung. Padahal saat berita itu disampaikan, angin segar nan sepoi sudah sedikit saya rasakan. Namun, semua sirna. Walakin ritus harian pengobat rindu konser dengan berbagai varian dokumen di kanal YouTube kembali jadi solusi. Beberapa konser yang saya saksikan membawa ingatan saya menguar kemana-mana. Apalagi saat melihat dokumentasi Sheila on 7, saya jadi ingat jenis penonton konser yang menyebalkan.
Ironis tapi, ingatan yang muncul bukan tentang nada dan syair Om Duta dkk.. Tapi, malah menyoal Mas dan Mbak penonton konser di dekat saya yang sedang kasmaran dan menafikkan penonton lain yang sama-sama bayar. Bagaimana saya bisa lupa, coba? Saya ingat betul posisi keduanya di arah jam 10 di depan saya.
Kemesraan tidak pada tempatnya dan cenderung mengarah kepada hakikat yang merasa dunia ini hanya milik mereka berdua, sementara penonton lain ngontrak. Sebab baru lagu pembuka “Melompat Lebih Tinggi” dinyanyikan, keduanya sudah pada posisi berasyik masyuk saling berpeluk dengan posisi si Mbak di depan dan Masnya di belakang sama-sama menghadap panggung utama.
Logikanya dengan alunan distorsi gitar Om Eross Candra, ditambah betotan bass Om Adam, sama gebukan drum Om Brian, serta lengkingan vocal Om Duta yaaa harusnya lompat dong ya. Nah ini malahmasih asyik saling memeluk seperti mendengarkan komposisi “Für Elise” milik Ludwig van Beethoven. Apa blio itu nggak mempertimbangkan banyak jomblo yang rawuh?
Tentu kita dengan mudah bisa menebak, Mas dan Mbak penonton konser yang peluk-pelukan tersebut tidak memiliki sisi humanis kepada sekitar. Saya nggak bisa bayangkan bila Mbak Kalis Mardiasih melihat kejadian itu. Bisa jadi, keduanya akan mendapat kultum tentang banyak hal. Dan Mbak yang pelukan akan dapat maido khasanah perihal urgensi wanita memiliki otoritas atas dirinya sendiri.
Mbak Kalis Mardiasih Mulyadi, sang pemerhati isu perempuan suatu ketika pernah bersabda: “Tubuh kita memang milik Allah. Tapi, sudah dititipkan kepada kita dan jadi amanah buat kita. Memastikan tubuhmu selalu sehat dengan memastikan masuknya segala sesuatu yang halal dan thayyib, adalah otoritasmu. Memastikan tubuhmu tidak dilecehkan, tidak ikutan tren yang merusak, dan tidak disakiti, adalah otoritasmu. Memastikan tubuhmu tidak mendapat kekerasan seksual oleh siapa pun adalah otoritasmu. Memastikan tubuhmu aman saat beraktivitas di ruang publik dan ruang privat dengan mendorong penciptaan ruang publik aman untuk semua orang adalah otoritasmu.”
Ya walau Mas yang meluk mbaknya mungkin bakal punya alibi dengan dalih melindungi si Mbak dari tangan-tangan jahil penonton lain. Tahu sendirilah, kadang di konser-konser besar macam itu, ada aja tangan liar yang menyasar bagian tertentu. “Cari kesempatan dalam kesesakan konser” kata seorang teman saya yang pernah jadi pelaku.
Oke, Mbaknya mau dipeluk, Masnya niat ngelindungi, dan mereka sama-sama ridho. Kenapa saya heboh?
Ingat, saya bukan lelaki jomblo yang sok dan iri dengan nasib mujur Mas itu lho ya. Saya cuma merasa tidak terima ingatan yang seharusnya tentang Sheila on 7 justru terdistraksi dengan aksi kedua penonton konser yang hingga saat ini masih lekat jelas dalam ingatan alam bawah sadar saya.
Sebenarnya pelajaran yang bisa dipetik menurut saya hanya satu: kalau mau nonton konser sebisa mungkin hindari posisi di belakang pasangan muda-mudi yang sedang kasmaran macam ini. Minimal anda bisa menerapkan social distancing dengan penonton seperti itu, minimal lima meter dari TKP.
Cukup mudah sekali melihat tipe penonton macam ini. Pertama, memakai baju, jaket atau aksesoris lainnya yang kembar (couple). Baju yang digunakan pun bukan yang asal kembar. Tapi ada identitas khusus yang bertautan antar keduanya lho. Bisa yang cowok bertulis “LO” dan si cewek “VE”. Hadah hadaaah.
Kedua, gandengannya kaya orang nyebrang di Jalan Malioboro. Konser Sheila on 7 di Universitas Semarang (USM) itu bukan konser pertama yang saya tonton. Sebagai Sheilagank, garis lentur saya selalu menemui pasangan yang saling bergandengan tangan dalam setiap konser Om Duta dkk.. Tapi, pasti deh kalau tipe yang satu ini gandengannya bakal beda, Mypan.
Ketiga, tidak hafal lagu sama sekali. Alasan ini yang paling sentimentil, entah saya nggak tahu harus ketawa apa nangis. Saat Om Duta dkk nyanyi, penonton lain akan ikut bersenandung. Tapi, kok ya yang dua ini masih di posisi yang sama. Kadang menggerakan bibirnya untuk nyanyi pun selalu terlambat beberapa detik. Kesannya malah kaya dukun yang komat-kamit.
Saya sudah bisa bayangkan, bila konser Sheila on 7 diisi dengan tipe penonton semacam ini. Bisa jadi Om Duta bakal makin keras saat nyanyi “Kau harus bisa-bisa berlapang dada, kau harus bisa-bisa ambil hikmahnya,” sambil blio nunjuk saya.
Demikianlah pesan ini ditujukan kepada Mas dan Mbak penonton konser sedunia yang suka peluk-pelukan, khususnya di Konser Sheila on 7. Semoga kalian masih bisa “ambil hikmahnya” beneran.
BACA JUGA Tak Melulu Santet, Banyuwangi Juga Gudang Musisi dan tulisan Fareh Hariyanto lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.