Oh Sukrasana, adikku. Piye kabarmu, Le? Ini kakangmu, Bambang Sumantri.
Seandainya insiden di Taman Sriwedari itu nggak pernah terjadi, wah pasti pagi ini kita masih bisa kongkow-kongkow berdua di dahan jambu monyet tepi telaga di ujung Dukuh Argasekar. Sambil rasan-rasan soal apa saja, dan sesekali mengganggu kucing kawin yang nggak tahu tempat.
Ketika kamu lahir, aku sempat bertanya kepada ibu kita, Dewi Darini, “Kita sekandung, sedarah, tapi kenapa kita amat sangat berbeda?” Aku terlahir nyaris sempurna sebagai pria gagah dan rupawan. Sementara kamu, sori, pendek tambun dan punya wajah yang mirip raksasa. Oh adikku, jangan anggap pernyataanku ini sebagai bentuk body shaming, ya. Aku nggak bermaksud demikian.
Jawaban Ibu waktu itu singkat saja, Le. Katanya, “Berbeda tapi toh tetap satu juga.”
Sedangkan penjelasan lain yang kuperoleh dari bapak kita, Resi Suwandagni, katanya kamu terlahir seperti itu lantaran kutukan dewata kepada Ibu. Pasalnya, ibu kita ini ketika dalam masa pertapaan nggak sabaran dan gampang ngeluh. Sikap yang membuat dewata geram dan akhirnya menimpakan hukuman pada janin yang sedang ia kandung. Janin yang kemudian terlahir sebagai dirimu, Sukrasana, adikku.
Oh Sukrasana, adikku. Seandainya kita nggak pernah kepincut buat jadi staf milenial di rezim Arjunasasrabahu di Maespati, mungkin hari ini kita masih bareng-bareng. Menikmati pagi di sebuah gumuk belakang rumah sambil berburu kalau-kalau ada kijang yang berkeliaran. Dan sore harinya, seperti biasa, kita akan sama-sama mendengar Bapak mewejang di sela-sela berlatih ilmu kanuragan.
Aku akui, kamu adalah pembelajar yang ulet. Kamu bisa menangkap wejangan Bapak dengan sekali dengar saja. Kau bisa mempraktikkan jurus-jurus yang bahkan hanya diperagakan Bapak hanya dalam sekali gerak. Yah, itu semua adalah modal berharga untuk mem-backup kekurangan fisikmu.
Aku memberanikan menulis obituari ini, Le, agar orang-orang tahu bahwa kamulah tokoh di balik pencapaian-pencapaian bombastis Republik Maespati. Terutama agar pihak kepresidenan tahu yang sebenar-benarnya, bahwa kamu bukan setan penunggu Taman Sriwedari seperti yang kadung dinarasikan Dewi Citrawati.
Kamu masih ingat? Waktu itu kita adalah dua pemuda idealis yang pengin mengabdi demi bangsa dan negara. Akhirnya, kita berdua sepakat berangkat ke Maespati. Kamu memintaku menghadap Prabu Arjunasasrabahu untuk mengajukan diri masuk ke dalam jajaran staf milenial kerajaan. Sementara kamu hanya akan bekerja dari belakang layar. Tanpa jabatan politis, tanpa legalitas apa pun. Itu lah yang kamu kehendaki sendiri, adikku. Bukan atas dasar kemauanku sepihak.
“Sepi ing pamrih, rame ing gawe (nggak banyak pamrih, tapi banyak bekerja),” begitu tuturmu waktu itu. Alhasil, beberapa capaian bombastis Maespati seolah-olah adalah hasil jerih payahku sendiri. Meski peranmu nyata-nyata jauh lebih besar dari yang pernah bisa aku lakukan. Tapi itu kan permintaanmu sendiri tho, Le?
Termasuk ketika Prabu Arjunasasrabahu menitahku untuk melamarkan Dewi Citrawati, putri raja Magada, Prabu Citradarma.
Eh, Le, Sukrasana. Kamu inget nggak, berapa raja yang pada saat itu turut hadir ke Magada buat melamar? Ada sekitar seribu raja, yang salah satunya adalah Prabu Darmawisesa dari Negara Widarba. Raja ini bahkan sudah memberi ultimatum, jika lamarannya ditampik, dia yang kemudian bersekutu dengan 70 raja lainnya nggak akan segan-segan mengobrak-abrik Magada.
Sialnya, pas aku sampai di istana kerajaan, Prabu Citradarma malah mengutusku untuk membereskan perkara pelik itu. Dengan iming-iming, boleh memboyong Putri Citrawati ke Maespati bilamana aku berhasil menang. Hla yo mumet tho, Le.
Tapi berkat kerjamu di balik layar, berkat kesaktianmu, seribu raja itu akhirnya malah tumbang satu per satu.
Termasuk juga soal pemindahan Taman Sriwedari itu. Sebagai hukuman atas kelancanganku pengin menguji kesaktian Prabu Arjunasasrabahu, aku disuruh untuk memindahkan taman Sriwedari dari kahyangan. Sebab itulah yang diinginkan Putri Citrawati yang sudah jadi permaisuri.
Tapi, lagi-lagi, berkat kerjamu pula akhirnya taman itu berhasil aku—lebih tepatnya kita—boyong ke Maespati.
Duh, Le, Sukrasana. Hingga akhirnya tragedi itu datang.
Ketika Putri Citrawati dan para emban kebetulan sedang jalan-jalan di Sriwedari, kau justru berkeliaran di depan mata mereka. Sontak saja mereka kalap dan ketakutan, mengiramu adalah setan penunggu Sriwedari. Keadaan nggak memberiku banyak pilihan, Le, maafkan kakangmu ini.
Aku ingin membiarkanmu kabur, tapi atas nama reputasi dan profesionalisme, aku juga harus menuruti perintah Sang Prabu untuk melenyapkanmu.
Kamu nggak salah, Le. Aku sendiri nggak tahu persis apa yang ada di benakmu hingga berani-beraninya kau menampakkan diri di hadapan rombongan Dewi Citrawati. Terlepas itu sengaja atau tidak, tapi harusnya dari awal memang kamu nggak sembunyi. Dari awal orang-orang harusnya tahu bahwa kamu telah bekerja dan berjasa jauh melampaui kekurangan fisikmu.
Le, tahukah kamu? Saat kabar kematianmu di tangan kakangmu sendiri ini sampai di telinga Bapak dan Ibu, betapa remuk hati mereka. Ibu bahkan sempat berbisik di telingaku, “Le, Sumantri, apakah dalam politik akal sehat dan hati nurani tidak diperlukan?”
Ah, mbuhlah. Aku kembali ke Maespati dielu-elukan bak pahlawan. Padahal di hadapan Ibu dan Bapak, oke fisikku sempurna, tapi nuraniku cacat dan buruk rupa. Dan sekarang aku pengin bertanya kepadamu, adikku. Seperti apakah aku di matamu?
Kutunggu jawabanmu pada mimpi malam nanti, Le. Itu pun kalau aku nggak sedang bergadang. Sebagai staf milenial rezim Arjunasasrabahu, aku masih harus kerja, kerja, dan kerja.
Salam dari Sumantri, kakangmu. Semoga kamu bahagia di Swargaloka.
Foto oleh FaizAttariqi via Wikimedia Commons
BACA JUGA Antasena dan Wisanggeni, Pemuda Pilih Tanding dari Negara Amarta dan tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.