Sejak kuliah, saya jadi punya banyak teman dari berbagai daerah. Berkat itu, saya jadi tahu banyak trivia dari mereka. Misalnya, di Jember ada makanan fusion pecel rawon. Lalu, orang Madura selalu mengenakan sarung di banyak kegiatan. Nggak cuma itu, pengalaman mereka supaya terbiasa hidup di Surabaya juga menjadi cerita yang seru bagi saya, orang Sidoarjo.
Saya jadi mengerti kekaguman serta sambatan-sambatan mereka terhadap kota ini. Kalau menggambarkannya dalam satu kalimat, kurang lebih akan seperti ini: Hidup di Surabaya itu enak, asal betah panas dan nggak baperan.
Daftar Isi
Di Surabaya, biaya hidupnya nggak mahal-mahal amat
Alasan paling utama bagi saya yang asli Sidoarjo dan teman-teman dari berbagai daerah lain jadi betah di Surabaya adalah biaya hidupnya yang terjangkau. Bukan murah ya, tapi terjangkau.
Jadi, kalian bisa memilih sendiri, mau hidup hemat bisa, kalau mau hedon dan bakar duit juga bisa. Semua tergantung kekuatan dompet masing-masing.
Sebagai gambaran, harga kos di sekitar kampus Surabaya yang pakai kipas dengan fasilitas seadanya itu sekitar Rp500 sampai Rp800 ribu. Tapi, kalau mau bagusan dikit dengan AC dan kamar mandi dalam bisa di atas Rp1,2 juta. Nah, kalau mau yang lebih fancy lagi, apartemen misalnya, harganya berkisar Rp2 sampai Rp3 juta per bulan.
Urusan perut juga nggak bikin orang Sidoarjo khawatir. Kuliner murah berserakan di sini. Kalian jalan sambil merem juga bakal ketemu. Juga nggak usah khawatir soal rasanya, aman, wes.
Bahkan, teman saya pernah bilang kalau dia bisa hidup layak hanya dengan Rp1,5 juta. Ini sudah termasuk uang kos dan biaya sehari-hari, ya. Hidupnya pun nggak yang tersiksa dan menyedihkan gitu. Masih bisa jajan sambil nongkrong tipis-tipis. Jadi, meskipun Surabaya itu metropolitan, biaya hidup di sini masih masuk akal.
Baca halaman selanjutnya: Meski panas, Surabaya itu kota yang nikmat. Yah, asal tau “caranya”.
Banyak tempat nongkrong estetis dan ekonomis
Alasan berikutnya yang membuat teman-teman saya betah di Surabaya adalah banyak tempat nongkrong. Mulai dari warkop sampai kafe bernuansa estetis bertebaran di setiap sudut kota ini. Hebatnya lagi, sebagian besar kafe di sini harganya masih ramah di kantong. Cocok untuk kaum BPJS (Budget Pas-pasan Jiwa Sosialita) yang butuh asupan Instagram Story.
Oh, kalian butuh tempat yang gratisan? Tenang, nongkrong gratisan pun masih bisa dilakukan di Surabaya. Teman-teman saya beberapa kali mampir ke Jalan Tunjungan, Alun-Alun Surabaya, atau Balai Kota hanya berbekal air mineral, sebungkus rokok, dan uang parkir. Jadilah mereka nongkrong di sana sambil menikmati lalu lalang kendaraan. Nyeni poll, Lur. Menyenangkan banget buat orang Sidoarjo.
Butuh yang bisa buat nugas? Ada juga, dong. Perpustakaan Bank Indonesia menjadi tempat andalan saya dan teman-teman untuk nugas. Di sana enak, AC-nya dingin, internetnya kenceng, banyak novel terbaru, dan gratis. Nah, alternatif lainnya kalau mau yang agak di tengah kota, kami biasa mampir ke Koridor Coworking Space di Jalan Tunjungan.
Syarat hidup nyaman di Surabaya
Beberapa kawan saya sepakat bahwa ada 2 hal yang harus dikompromikan agar bisa menikmati hidup di Surabaya, yakni betah panas dan nggak gampang baperan. Surabaya panas itu sudah jadi 2 kata yang nggak bisa dipisahkan. Lha gimana, musim hujan aja masih panas. Makanya, ungkapan seperti neraka bocor alus akan sering kalian dengar di sini.
Selain itu, perantau juga wajib punya mental nggak gampang baperan, terutama ketika mendengar celotehan orang Surabaya yang dikit-dikit misuh. Kalau bagi saya, yang asli Sidoarjo, hal kayak gini biasa dan nggak bikin tersinggung. Tapi, ternyata, bagi teman-teman saya nggak. Misuhnya orang Surabaya kadang masih melukai perasaan mereka.
Ya, meskipun pada akhirnya mereka ngerti kalau nggak semua misuh itu konotasinya jelek dan bermakna mengumpat. Tapi, percayalah kalau perlu pembiasaan diri untuk nggak tersinggung mendengar kata jancok langsung dari sumbernya.
Begitulah sedikit gambaran kehidupan di Surabaya menurut saya yang asli Sidoarjo dan teman-teman dari daerah lain. Ada baik, juga ada buruknya. Lagi pula, Surabaya memang nggak sempurna dan nggak akan pernah sempurna. Sebab, kesempurnaan hanya milik Tuhan Yang Maha Esa dan Jogja. Eh….
Penulis: Dito Yudhistira Iksandy
Editor: Yamadipati Seno
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.