Sulitnya Memilih Mode Jilbab yang Bebas Stigma

Tradisi Kupatan sebagai Tanda Berakhirnya Hari Lebaran Masa Lalu Kelam Takbir Keliling di Desa Saya Sunah Idul Fitri Itu Nggak Cuma Pakai Baju Baru, loh! Hal-hal yang Dapat Kita Pelajari dari Langgengnya Serial “Para Pencari Tuhan” Dilema Mudik Tahun Ini yang Nggak Cuma Urusan Tradisi Sepi Job Akibat Pandemi, Pemuka Agama Disantuni Beragama di Tengah Pandemi: Jangan Egois Kita Mudah Tersinggung, karena Kita Mayoritas Ramadan Tahun Ini, Kita Sudah Belajar Apa? Sulitnya Memilih Mode Jilbab yang Bebas Stigma Kenapa Saf Tarawih Makin Maju Jelang Akhir Ramadan? Kenapa Kita Sulit Menerima Perbedaan di Media Sosial? Masjid Nabawi: Contoh Masjid yang Ramah Perempuan Surat Cinta untuk Masjid yang Tidak Ramah Perempuan Campaign #WeShouldAlwaysBeKind di Instagram dan Adab Silaturahmi yang Nggak Bikin GR Tarawih di Rumah: Ibadah Sekaligus Muamalah Ramadan dan Pandemi = Peningkatan Kriminalitas? Memetik Pesan Kemanusiaan dari Serial Drama: The World of the Married Mungkinkah Ramadan Menjadi Momen yang Inklusif? Beratnya Menjalani Puasa Saat Istihadhah Menghitung Pengeluaran Kita Kalau Buka Puasa “Sederhana” di Mekkah Apakah Menutup Warung Makan Akan Meningkatkan Kualitas Puasa Kita? Kenapa Saf Tarawih Makin Maju Jelang Akhir Ramadan? Apakah Menutup Warung Makan Akan Meningkatkan Kualitas Puasa Kita? Mengenang Serunya Mengisi Buku Catatan Ramadan Saat SD Belajar Berpuasa dari Pandemi Corona Perlu Diingat: Yang Lebih Arab, Bukan Berarti Lebih Alim Nonton Mukbang Saat Puasa, Bolehkah? Semoga Iklan Bumbu Dapur Edisi Ramadan Tahun Ini yang Masak Nggak Cuma Ibu

Jilbab, tanktop, celana jeans, atau pakaian apa pun yang biasa dipakai oleh perempuan memang paling enak untuk diperdebatkan. Seperti buku-buku tentang perempuan muslim yang beredar di toko-toko buku, perempuan itu memang seolah-olah makhluk endemik neraka. Apa pun yang dikenakan atau dilakukan, berpotensi menuju neraka. Dan mirisnya, tulisan atau perdebatan tentang perempuan yang akan menuju neraka itu biasanya bukan ditulis oleh perempuan. Lalu ke mana suara perempuan? Oh iya lupa, aurat ya. Hanya suara, ide gagasan, dan pemikiran yang tidak berasal dari perempuan yang boleh didengar di muka bumi ini.

Gagasan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dipakai oleh perempuan pun, belakangan ini sudah tidak dapat menjadi haknya sendiri, melainkan suara pasar lah yang menentukan. Hal ini dibuktikan dengan hadirnya berbagai tren fashion muslimah yang terbaru. Strategi pemasaran yang digunakan pun tak main-main, surga dan neraka taruhannya. Penah lihat postingan di Instagram yang berisi ancaman neraka bagi perempuan berpakaian tertentu? Yang kemudian di slide selanjutnya mereka menawarkan solusi mulia supaya tak masuk neraka, yaitu mengenakan produk jilbab dari mereka. Subhanallah, sekarang kita sudah bisa beli kapling surga lewat penjual jilbab.

Sebelum jauh berbicara tentang jilbab yang akan membawa ke surga atau yang akan menjerumuskan ke neraka, ada baiknya kita berkenalan terlebih dahulu dengan apa yang sebenarnya disebut sebagai jilbab atau yang saat ini berbondong-bondong disebut hijab. Jilbab secara bahasa berarti kain yang digunakan untuk menutupi bagian tubuh tertentu. Batasan kata “tertentu” inilah yang kemudian banyak ditafsirkan sesuai kebutuhan pasar pemahaman keilmuan. Sedangkan hijab yang sedang nge-tren bahkan sampai ada di botol shampo ini, sebenarnya adalah kata yang digunakan untuk menyebut sebuah kain atau benda yang menjadi pembatas ruangan atau dalam terminologi waris, didefinisikan sebagai halangan untuk mendapat harta waris. Jauh ya bedanya?

Tidak hanya kesalahan terminologi yang terjadi dalam urusan jilbab ini. Lebih jauh bahkan membawa stigma yang seolah-olah dapat dijadikan sebuah pembenaran untuk melabeli seseorang. Jilbab pendek yang biasa digunakan oleh perempuan muslim dari daratan Eropa dan sebagian Asia ini sekarang menjelma menjadi sebuah tren yang tidak hanya kuno, tapi dosa.

Iya, pergeseran tren sekarang ini nggak cuma kuno dan up to date lho, bahkan sampai urusan dosa dan pahala. Betapa tidak, kita bisa melihat campaign-campaign yang tersebar di media sosial bahwa perempuan baik-baik akan menjaga diri dengan menutupi lekuk-lekuk tubuhnya yang kemudian dikerucutkan maknanya menjadi berpakaian serba longgar, tertutup, bahkan sampai jatuh terinjak-injak. Dan sebaliknya, para pengguna jilbab pendek seperti saya (yang sekarang) adalah perempuan yang akan diancam masuk neraka.

Jangan dikira yang memilih jilbab panjang tidak akan lepas dari stigma. Saya pernah mengalami masa di mana dituduh sesat dan calon teroris hanya karena berpakaian serba panjang. Tapi keuntungannya, karena jilbab panjang pula saya juga jadi dianggap sebagai ahli agama bahkan menjelma menjadi mufti yang boleh memberi fatwa ini itu terhadap segala situasi. Ngeri ya? Hanya bermodalkan selembar kain yang kita kenakan, tiba-tiba kita bisa jadi ahli hukum, atau sebaliknya dengan selembar jilbab pendek yang kita kenakan, tiba-tiba kita jadi ahli neraka.

Padahal kita semua ini hanya manusia yang kemampuannya hanya melihat dan mengamati. Jobdesk kita sebagai manusia, sebagai hamba, itu tidak sampai kepada memberi penilaian atau bahkan penghakiman terhadap apa yang tampak dari diri seseorang. Coba deh kita bayangkan, kalau kepada sesama manusia, sesama muslimah, yang sama-sama berjilbab saja kita bisa berprasangka yang macam-macam, bisa memberi penilaian sesuai dengan apa yang kita lihat. Lalu, bagaimana cara kita menjaga prasangka, meneguhkan keimanan kepada Allah dengan segala keagungan Dzat-Nya yang tak cukup kita nilai dengan mata kita?

Terkadang dalam kelibat lamunan, saya membayangkan sebuah peradaban yang benar-benar memerdekakan perempuan. Tidak ada lagi anggapan bahwa menjadi salihah itu hanya milik mereka yang berjilbab besar. Tidak ada lagi orang yang sembarangan meminta fatwa kepada seseorang karena pakaiannya. Tidak ada lagi buku berjudul “perempuan-perempuan penghuni neraka”, tidak ada lagi ucapan yang menganggap sepele keilmuan seseorang yang sedang di atas mimbar hanya karena pilihan kain yang ia gunakan. Iya, suatu hari nanti saat kita sudah menjadi konsumen cerdas yang tidak terperdaya oleh dalil-dalil yang dikonfigurasi oleh kepentingan pasar.

BACA JUGA Esai-esai Terminal Ramadan Mojok lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version