Sulitnya Jadi Warga PSHT di Tengah Stigma: Bangga, tapi Juga Harus Siap Dicap Macam-macam

Jadi Warga PSHT di Tengah Stigma: Antara Bangga dan Harus Siap Dicap Macam-macam

Jadi Warga PSHT di Tengah Stigma: Antara Bangga dan Harus Siap Dicap Macam-macam (Shutterstock.com)

Punya seragam hitam dan sabuk putih di lemari itu kadang rasanya kayak punya dua identitas sekaligus. Di satu sisi, bangga karena itu simbol proses panjang dari latihan, jatuh-bangun, dan beratus kali keringat netes di lapangan latihan. Di sisi lain, harus siap pasang wajah datar kalau ada orang yang tiba-tiba nyeletuk, “Wah, PSHT, ya? Jangan berantem, Mas.”

Saya sudah tidak heran lagi, setiap kali bertemu orang baru dan mereka tahu saya anggota PSHT (Persaudaraan Setia Hati Terate), obrolannya hampir selalu belok ke urusan tawuran, rusuh, atau konvoi. Mungkin karena hal-hal itulah yang lebih sering tersorot media. Padahal, ada banyak sisi positif yang mungkin tidak banyak orang ketahui, dan justru saya alami sendiri sebagai warga PSHT. Tapi ya, itulah risiko punya atribut yang sering muncul di berita kriminal.

Masalahnya, stigma itu nggak muncul di ruang hampa. Memang ada oknum yang bikin rusuh, dan sayangnya yang terekam kamera atau masuk media selalu yang model begini. Jadilah citra PSHT di mata banyak orang identik dengan kekerasan. Padahal, kalau mau jujur, yang rusuh itu cuma sebagian kecil, tapi efeknya terasa ke seluruh anggota-termasuk yang kerjaannya cuma latihan, kerja, kuliah, dan tidur.

PSHT: dari lengah sitik agomo sampai dicap suka ribut

Sejak 2022 resmi menjadi anggota PSHT, saya sadar betul kalau atribut itu punya beban sosial. Pakai kaos hitam dengan logo di punggung saja sudah cukup membuat sebagian orang langsung menaruh perhatian, apalagi di tengah berita-berita miring soal PSHT. Nongkrong di warung kopi sambil pakai jaket sablonan PSHT? Bisa jadi ada yang diam-diam menilai, “Oh, ini yang sering ribut di jalan.”

Di lingkaran internal, gurauan itu malah sering jadi hiburan. Teman sesama anggota pernah bilang sambil menirukan sound TikTok yang lagi viral, “Lengah sitik, agomo,” sambil nunjukin logo di baju saya. Semua tertawa, tapi di balik itu kita sama-sama paham kalau kesan orang luar belum tentu sama dengan kenyataan di dalam.

Padahal kalau mau fair, perilaku rusuh itu nggak ada di ajaran resmi. PSHT berdiri dengan nilai persaudaraan, bukan permusuhan. Tapi stigma memang bandel sekali melekat, susah dihapus. Orang lebih gampang mengingat berita kerusuhan yang viral di Instagram ketimbang cerita bakti sosial yang sepi liputan.

Sisi baik yang jarang orang lihat

Kalau orang mau datang ke tempat latihan, mereka bakal lihat sesuatu yang berbeda jauh dari gambaran di kepala. Di sana, kami diajari sabar, disiplin, dan saling menghormati. Latihan bukan cuma soal pukulan dan tendangan, tapi juga soal mengendalikan diri. Ada filosofi yang diajarkan: “Ojo seneng gawe susah wong liya” (jangan suka membuat susah orang lain). Ironisnya, pepatah ini jarang disebut ketika PSHT dibahas di luar

Saya pribadi banyak merasakan manfaat dari bergabung. Fisik jadi lebih kuat, mental lebih tahan banting. dan yang paling penting, punya jaringan saudara di mana-mana. Pernah suatu kali, saya bepergian ke kota lain, nggak kenal siapa-siapa, tapi karena ketemu sesama warga PSHT, langsung disambut, dikasih makan, dan bahkan diantar pulang. Itu momen yang bikin saya sadar, persaudaraan ini nyata, bukan sekadar slogan di spanduk latihan.

Selain itu, ada juga kegiatan sosial yang rutin dilakukan seperti donor darah, kerja bakti, sampai membantu korban bencana. Sayangnya, kegiatan begini jarang masuk berita. Sepertinya media memang lebih doyan berita bentrokan ketimbang berita bakti sosial.

Antara bangga dan harus waspada

Buat saya, jadi warga PSHT itu mirip punya medali. Bangga bisa meraihnya karena berhasil mendapatkan hasil latihan dari, tapi harus paham konsekuensi memakainya. Medali itu bisa jadi simbol kehormatan, tapi di mata orang lain, kadang dianggap sebagai tanda bahaya. Saya paham kenapa anggapan itu ada,  karena beberapa kali memang terjadi insiden di jalan atau bentrokan antarkelompok yang melibatkan oknum berseragam PSHT.

Tapi di saat yang sama, saya juga merasa penting untuk menunjukkan bahwa itu bukan wajah tunggal dari organisasi ini, dan ada banyak sisi lain yang layak dikenal orang.

Makanya, sebagai anggota, saya merasa punya kewajiban pribadi untuk jaga sikap. Bukan cuma demi nama baik saya, tapi juga demi nama organisasi. Kalau ketemu orang yang langsung menilai negatif, saya coba tunjukkan lewat tindakan bahwa nggak semua warga PSHT itu keras kepala atau hobi bikin masalah. Nggak selalu berhasil mengubah pandangan, tapi minimal mereka punya gambaran lain selain berita buruk.

Akhirnya, saya paham bahwa citra PSHT nggak akan berubah hanya dengan kata-kata. Harus dibuktikan dengan perilaku sehari-hari. Kalau semua anggota mau ambil bagian menjaga nama baik, lambat laun stigma itu bisa luntur. Persaudaraan yang sejati bukan cuma di dalam lapangan saja, tapi juga di luar termasuk persaudaraan dengan mereka yang awalnya memandang kita miring.

Penulis: Mukhamad Bayu Kelana
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Derita Orang Madiun, Mau Sombong ke Daerah Lain tapi Kena Cap Jelek karena Ulah PSHT hingga Dicap Sarang PKI

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version