Sebentar. Sebelum melanjutkan tulisan yang punya peluang jadi penuh ghibah ini, maaf, saya mohon izin untuk ketawa dulu. Hahahahaha.
Kata salah satu kutipan yang saya temukan di internet beberapa tahun silam, “Kesederhanaan adalah puncak pencapaian tertinggi manusia.”
Makna yang saya tangkap dari kutipan tersebut adalah manusia yang hidup sederhana, dianggap sudah mencapai tujuan hidup karena bisa menahan segala gejolak keinginan untuk berfoya-foya atau menghambur-hamburkan uang walau dirinya mampu melakukannya. Sepertinya begitu, kurang lebih. Walau definisi “sederhana” bisa aja diperumit lagi oleh siapa aja yang mau sekaligus kurang kerjaan. Hehe.
Lalu seiring berjalannya waktu, setelah saya papasan dengan kalimat tentang “kesederhanaan” itu, saya jadi sering nemu postingan orang tentang hal-hal berbau “kesederhanaan” yang sejenis. Mungkin yang bikin beda itu rangkaian katanya, semacam jadi “Aku hanyalah manusia biasa yang hidup sederhana, apa adanya, dan alhamdulillah selalu bersyukur dengan apa yang Allah beri.”
Atau “Lebih baik hidup sederhana yang apa adanya, daripada hidup bermewah-mewah, karena harta dan kemewahan nggak akan dibawa mati.” Ngeri, Mas, Mbak, bawa-bawa mati segala! Padahal mati nggak pernah bawa-bawa situ, lho.
Sebenernya saya seneng-seneng aja ada banyak orang yang berpemikiran kayak gitu, kemudian menyertakan dalil-dalil atau hadis pada kepsyen untuk memperkuat argumentasi serta berfungsi sebagai penyindir para tetangga atau musuh bebuyutan, yang pada akhirnya memperdalam pengetahuan saya tentang agama. Saya amat sangat berterima kasih karena hal itu.
Tapi entah sejak kapan saya tiba di sebuah titik di mana saya jadi agak-agak enggak enak hati saban kali nemu postingan tentang “kesederhanaan” ataupun omongan langsung soal begituan. Yaitu ketika ada kaum sosialita yang dalam kesehariannya suka foya-foya tapi ngakunya selalu hidup sederhana.
“Aku hanyalah manusia biasa yang hidup sederhana dan apa adanya,” kata isi kutipan sambil dibubuhi foto badan pakai celana setans jins, kaus serta jaket kulit manggis yang telah diekstrak, dan kacamata kuda riben. Posenya methengkreng di atas mobil, di depan sebuah rumah yang nggak bisa dibilang sederhana. Bikin jiwa jomlo misqueen saya yang masih hidup menumpang orang tua ini serasa dicubit sampai meronta-ronta minta dibebaskan.
Itu ibarat cewek dengan rambut dipirang-pirang, pakai gincu merah menyala, bedak tebal, maskaraan, dan baru selesai melukis alis, lalu dia bilang, “Dandananku natural banget dan nggak neko-neko.” Ya mbak, iyaaaa. Saya ngerti, itu dandanan yang natural banget. Kebangetan, malah. Saking naturalnya saya sampai nggak berani bayangin, dan cukup berterima kasih kalau disuruh niru. Semacam itulah. wqwq
Mungkin maksudnya emang mau merendah, bukan mau bikin saya ketawa sampai ngakak segala. Tapi setahu saya, orang-orang yang biasa hidup sederhana dan apa adanya aja emang nggak sampai segitunya –maksud saya, nggak sengobral dan sekoar-koar itu. Mereka ya biasa aja tingkahnya.
Mereka juga nggak sempet ngomong atau bikin status kalau diri mereka adalah orang sederhana dan selalu tampil apa adanya, biarpun kenyataannya begitu. Tanpa harus ngasih pengumuman ke seluruh alam semesta jagat raya melalui media sosial, orang-orang yang lihat juga udah tahu kalau mereka ini begini dan begitu. Mereka cenderung menunjukkan, ketimbang omong doang.
Terlebih, zaman sekarang ini orang-orang saya justru lebih percaya pada apa yang orang lain lakukan ketimbang apa yang orang lain katakan. Makanya biarpun mungkin niatnya cuma mau merendah dan memberi teladan, itu malah jadi bahan bakar bagi jiwa hina saya dan hiburan bagi saya yang suka ketawa sampai ngakak online ini, karena nggak sesuai dengan apa yang bisa saya lihat.
Belum lagi kata “sederhana” dan “tampil apa adanya” udah terlalu pasaran di mata dan telinga. Meski kenyataannya udah pasaran, ya nggak perlu diobral-obral juga lah. Orang lain nggak perlu dikasih woro-woro sesering itu. Koar-koar soal begituan tuh ya biar apa juga, gitu? Oh, mungkin maksudnya orang-orang yang kalau bepergian suka naik angkutan umum mau meniru gaya hidupnya yang terlalu sederhana banget itu kali, ya?
Tapi asli, beneran saya masih nggak ngerti kenapa ada yang suka obral-obral tentang hidupnya yang amat sangat sederhana itu. Ngalah-ngalahin penjual perabotan sepuluh ribu dapet tiga aja, deh. hihi (*)
BACA JUGA Yang Paling Nyesek Dari “Harusnya Aku yang di Sana” atau tulisan Lestahayu lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.