Video viral tentang bapak-bapak yang komplain ke kasir Indomaret karena anaknya top up sebesar 800 ribu memang sudah selesai. Si bapak sudah minta maaf dan perundungan dari netizen berangsur-angsur menyusut. Namun, masih ada pertanyaan yang tertinggal di benak saya, bagaimana bisa seorang bocah tidak segan meludeskan 800 ribu demi gim kesayangannya?
Dari kacamata awam, microtransaction—membeli barang digital dengan uang nyata—di dalam video gim memang nggak masuk akal. Ya saya paham, siapa sih yang nggak ngelus dada lihat orang top up ratusan ribu bahkan jutaan demi barang artifisial? Tapi, bagaimana jika kita menggunakan kacamata seorang pelaku bisnis microtransaction ini?
Ketika kebijakan microtransaction senewen Star Wars: Battlefront II jadi geger gedhen di jagat gaming dunia, Electronic Arts selaku publisher, membela diri dengan mengatakan bahwa kebijakan ini diterapkan supaya gamer mendapatkan “a sense of pride and accomplishment”. Meski pernyataan ini kontroversial, setidaknya kita bisa menarik kesimpulan: skin dan barang-barang digital yang dijual di dalam game didesain sedemikian rupa untuk “menaikkan derajat sosial” si gamer yang membeli barang tersebut. Kalau katanya pentolan media gaming The Lazy Monday, Rivaldo Santosa, “Menunjukkan lo lebih kaya dari orang lain.” Persis seperti kalian yang bawa Pajero atau Fortuner ke acara reuni SD.
Maka terjawab sudah, mengapa ada bocah yang rela menghabiskan uangnya demi barang-barang digital di game kesayangannya. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara meresponnya?
Pengawasan orang tua juga harus didukung kebijakan
Saya sebenarnya cukup prihatin masih banyak yang menyalahkan orang tua sebagai biang keladi ketika ada kasus viral yang melibatkan anak dan top up gim online. Sebagai seorang kakak yang berkali-kali disuruh emak menyelinap ke kamar adik untuk mengecek history laptopnya, saya paham susahnya mengatur apa yang seharusnya adik saya konsumsi dan apa yang tidak dari internet.
Terlepas dari apakah orang tua mampu atau tidak mampu mengawasi anaknya, saya yakin orang tua di manapun ingin anaknya bijak menggunakan uangnya. Tapi di sisi lain, kita juga mesti berpikir realistis: generasi orang tua kita tidak cukup tangkas menghadapi isu isu digital yang semakin gila-gilaan, contohnya microtransaction. Maka di sinilah peran kebijakan dibutuhkan.
Otoritas Belgia membatasi video gim yang mempunyai konten gacha sebagai buntut dari kontroversi Star Wars: Battlefront II. Gim-gim berlatar perang dunia kedua harus melalui proses sensor yang menghilangkan penggunaan lambang swastika apabila ingin didistribusikan di Negara Jerman. China mengharuskan gim menyertakan angka persentase bila item tersebut hanya bisa didapatkan melalui sistem gacha. Jepang mengharuskan developer video gim berkonten gacha wajib menyertakan “Pity System” di mana item yang tersedia hanya lewat fitur gacha harus pasti didapatkan setelah player melakukan gacha dalam jumlah tertentu.
Dari beberapa contoh tersebut, kita bisa melihat bahwa negara dan pemerintah punya hak untuk mengintervensi industri gim ini. Indonesia sayangnya belum serius menjawab dinamika gim online yang jadi primadona di kalangan remaja.
Lantas bagaimana seharusnya langkah taktis yang bisa diambil oleh pemerintah?
Pertama, klasifikasi video gim sesuai dengan kategori umur. Indonesia sebenarnya sudah punya. Melalui Kominfo, Indonesia telah menerapkan sistem Indonesia Game Rating System (IGRS). Namun, sejauh riset saya, sistem ini belum mengakomodasi microtransaction yang kerap jadi sumber polemik yang buntutnya adalah kasus viral. Setelah sistem ini diumumkan melalui BEKRAF Game Prime 2016, sistem ini tidak mengalami banyak perubahan.
Padahal, menurut saya, sistem seperti ini sangat strategis. Misalnya, gim dengan IGRS 7+, kan bisa tuh diterapkan aturan tidak boleh menyuntikkan microtransactions sama sekali. Misalnya lagi, pihak publisher dan developer video gim tidak boleh menjual item dengan harga lebih dari 150 ribu dan tidak boleh menghadirkan konten gacha berbayar, misalnya.
Sebagai tambahan, untuk pembuatan akun gim online, untuk gim dengan IGRS dibawah 18+, akun anak mesti diverifikasi terlebih dahulu oleh akun orang tuanya. Cara verifikasi akun seperti ini sudah berhasil China terapkan dengan Qiqi dan WeChat sebagai contohnya.
Kedua, pemerintah sebaiknya mulai membatasi microtransaction yang ada di gim-gim online. Misalnya seperti, membatasi penjualan skin dan item berbayar dalam kurun waktu tertentu. Jadi, pihak developer dan publisher tidak bisa memberondong kita dengan ratusan skin baru dalam kurun waktu yang relatif pendek. Sebab, industri gim biasanya menggunakan siklus triwulan dalam perhitungan neraca keuangannya, pihak developer dan publisher tidak boleh menjual lebih dari dua skin baru dalam satu triwulan.
Sebagai catatan, dalam rangka membantu pihak developer dalam menjaga iklim gaming yang fair, kebijakan juga harus tegas menghukum publisher-publisher nakal yang menyuntikkan item berbayar yang memberi keuntungan tertentu, skin yang nambah damage, ehm, misalnya.
Ketiga, merespon konten-konten yang mempromosikan microtransaction di media-media sosial. Kan di YouTube banyak tuh konten kreator dan influencer yang gencar membuat konten review skin dan top-up jutaan rupiah secara terang-terangan.
Saya tidak menyalahkan para konten kreator dan influencer, saya tahu mereka juga mengikuti tren untuk menggaet pemirsa. Namun, kita mesti sadari bersama bahwa tidak semua orang sudah bijak mengkonsumsi konten-konten seperti ini. Oleh karena itu kebijakan bisa diarahkan untuk membatasi peredaran konten-konten tersebut.
BACA JUGA Mitos dalam Game Mobile Legends yang Pernah Saya Percaya dan tulisan Nurfathi Robi lainnya.