Tulisan ini saya buat tepat pada hari ulang tahun saya ke-21. Saya menulisnya di malam hari. Ditemani suasana syahdu yang cocok untuk kemulan dan overthinking tentang apa saja yang telah saya jalani seumur hidup.
Setelah hidup selama 20 tahun, pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan seakan tiada putus. Pertanyaan-pertanyaan ini ada kalanya menimbulkan keputusasaan ketika saya berusaha menemukan jawabannya. Sebab, secara tidak langsung pertanyaan itu telah dijawab oleh orang tua saya bahkan sebelum saya bisa berbicara apalagi bertanya.
Salah satu pertanyaan yang tak hentinya mengusik saya adalah tentang sehelai kain yang telah dikenakan kepada saya sejak balita: jilbab. Kain ini, begitu orang melihatnya, mereka langsung bisa memindai sekian identitas saya. Orang yang memandang kain yang cemanthel di kepala saya akan langsung tahu bahwa saya seorang muslimah dan ibadah model apa yang saya kerjakan. Juga tentang hal yang boleh dan tidak boleh saya lakukan.
Seiring beranjak dewasa, hal-hal itu membuat saya tidak nyaman. Terlepas dari beragam kontroversi tentang hukum jilbab dalam Islam, mengenakannya masih menjadi misteri bagi saya. Sangat tidak mudah menjadi muslimah yang punya perasaan menyesal berjilbab.
Jilbab yang saya kenakan tak jarang membuat saya merasa bersalah pada kerabat yang telah menaruh harapan-harapan. Ada juga perasaan berdosa pada diri sendiri karena belum mampu memberanikan diri mengikuti hati kecil saya: melepaskan jilbab itu.
Jilbab adalah sesuatu yang kini terasa begitu berat. Kain ini baru saja terasa sebagai beban setelah 20 tahun saya kenakan. Namun, sudah telanjur dipakaikan oleh orang tua saya sejak balita, meskipun belakangan saya tidak menyetujuinya.
Mungkin ada yang berpikir, “Ya udah to, tinggal copot aja jilbabnya, kan gampang.”
Bagi saya perkara ini tidak mudah. Tidak sekadar menanggalkan kain di kepala. Saya tahu saya punya hak seutuhnya terhadap diri saya, namun keterlanjuran yang dilakukan orang tua ini menyulitkan saya. Saya terbebani bayangan, apa kata orang apabila saya menanggalkan jilbab di saat muslimah lain kini berbondong-bondong memakainya?
Saya bayangkan, mestinya ada banyak hal yang tidak perlu terjadi jika saja orang tua saya mau menunggu sampai saya bisa setuju atau tidak setuju dengan jilbab ini.
Ah, sudahlah. Akan tak habis-habis jika menyalahkan orang tua. Mungkin, adanya banyak sekali dalil untuk menghormati dan mengasihi orang tua karena Tuhan sudah tahu mereka bakal banyak salahnya. Sampai-sampai mengasihi saja harus disuruh dulu. Astaghfirullah, suudzon sekali saya ini.
Pengalaman saya dijilbabi secara paksa namun tidak sengaja ini membuat saya belajar satu-dua hal. Bahwa kalau kamu tidak melihat ada yang salah terhadap sesuatu, tidak berarti itu sepenuhnya benar.
Baru-baru ini saya membaca sebuah artikel di internet. Artikel ini juga membahas tren jilbabisasi pada balita. Berbeda dengan pendapat saya pribadi, penulisnya percaya diri mengatakan tidak ada yang salah dengan mengenakan jilbab pada anak. Toh, itu merupakan bentuk pengenalan ajaran agama Islam sejak dini. Alias… doktrinisasi tentu lebih mudah dilakukan ketika target tidak mengetahui apa-apa, bukan?
Kini yang menjadi pertanyaan saya adalah, apakah kamu bisa belajar bermain bola hanya karena memakai jersey Barcelona? Apakah kamu bisa menjadi koki hanya karena memakai celemek Chef Arnold?
Berangkat dari segala keresahan yang entah datangnya dari mana, setidaknya saya jadi tahu kejadian yang saya alami ini tidak perlu terjadi lagi kepada generasi muslim mendatang, di mana pun ia berada. Setidaknya kepada balita-balita yang ketika dewasa berpotensi tumbuh menjadi sosok overthinking seperti saya.
Namun, bagaimana orang tua dapat mengantisipasi hal itu sebelum mengambil keputusan yang salah?
Ya mana saya tahu. Saya kan ikan.
BACA JUGA Kerudung di Negeri Ini dan Tafsir yang Dilekatkan Pada Kami
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.