Stereotip Buruk Anak OSIS yang Jujur, Emang Ada Benernya

stereotip anak osis menyebalkan memang benar mojok

stereotip anak osis menyebalkan memang benar mojok

Pagi ini sambil memilah-milah baju-baju yang nggak kepakai lagi, iseng-iseng saya membongkar album foto lama yang terselip di antara tumpukan dalam lemari. Ada sekitar 4 album besar, terdiri dari album pernikahan orang tua dan potret mereka semasa masih lajang, album foto saya pribadi dari lahir sampai TK, terus ada juga foto keluarga dan penampakan rumah kami tempo dulu.

Namun saya lebih tertarik dengan satu album yang sebenarnya isinya cukup acak, Setelah saya balik dari satu ke lain halaman, beberapa adalah dokumentasi bertema pendidikan saya. Ada foto saat saya mengikuti lomba pidato SD tingkat kecamatan dan kabupaten, foto lomba hadroh, foto bareng kawan-kawan madrasah tsanawiyah, dan yang paling mencuri perhatian adalah foto ketika masih menjadi pengurus OSIS di SMA.

Saya cengar-cengir sendiri mengawasi muka saya yang sok serius, sok cool, sok keren, ah dan mungkin sekian banyak sok-sok yang lain. Saya akhirnya menyadari bahwa apa yang dulu pernah dilontarkan beberapa kawan tentang saya adalah benar adanya.

“Mentang-mentang jadi OSIS, sok-sokan!” begitu satu di antara sekian ungkapan yang sering saya terima selama dua tahun nimbrung di kepengurusan OSIS. Nggak jarang juga ada yang bilang kalau sedang mengenakan jas almamater OSIS, lagak saya udah mulai songong dan ngeselin. Ampun dah.

Beda dengan dulu, kali ini saya nggak akan bikin pernyataan macem-macem buat ngebelain idealisme saya. Sebab ternyata kalau saya perhatiin dari foto saya ini, omongan kawan-kawan betul juga, kok. Seandainya bukan saya, sudah saya tampol tuh orang dalam foto heuheuheu.

Sekarang mungkin saatnya mengakui beberapa stereotip negatif terhadap anak OSIS sebenarnya nggak meleset-meleset amat. Atau bisa dibilang semuanya tepat sasaran. Cuma emang dulu kami saja yang naif dan nggak mau mengakui. Gengsi lah, Buooosss. Kalimat andalan kalau sudah kena serangan, paling mentok ya bilang, “Kalau nggak ada OSIS, siapa yang mau meng-handle acara? Kami itu berkorban demi sekolahan!” Hilih kintil, ngiming ipi sih.

Nah, berikut adalah stereotip tentang anak OSIS yang harus diakui.

Stereotip anak OSIS #1 Jadi OSIS buat gaya-gayaan

Masa SMA yang masa pencarian jati diri bikin nggak sedikit anak berlomba-lomba nunjukin siapa sebenernya dia. Ada banyak medium yang bisa ditempuh untuk urusan yang satu ini. Jadilah nakal misalnya, Anda pun akan dikenal di seantero sekolahan,

Tapi menjadi anak OSIS tentu beda lagi sensasinya. Dengan berdiri di jajaran pengurus OSIS, Anda akan kelihatan lebih disegani. Karena seolah OSIS adalah tangan kanan pejabat sekolah. Ya iya dong, wong namanya saja Organisasi Intra Sekolah. Eh apa hubungannya anjiiirrr.

Cermati saja polah tingkah anak OSIS di sekitar Anda. Pasti ada beberapa yang kalau jalan petentang-petenteng, lagaknya udah kayak orang paling penting se-Galaksi Bimasakti. Lebih-lebih kalau udah pakai jas kebanggaan, wuuuhhh songongnya amit-amit dah.

Saya jadi keinget dulu pernah sama beberapa anak OSIS mendamprat salah satu siswa yang bikin ujaran, “Masuk OSIS buat majuin program sekolah? Dobolll. Jadi anak OSIS itu cuma buat gaya aja, biar ke mana-mana bisa pakai jas kesayangan.”

Waktu itu saya menjadi orang paling tersinggung karena ngerasa segala pengorbanan OSIS selama bikin event-event buat sekolah kayak-kayak nggak dihargai sama sekali. Tapi setelah saya pikir-pikir lagi, ternyata iya juga sih. Pokoknya dulu itu biar kelihatan keren aja di depan orang-orang, lebih-lebih adik kelas. Ini penting buat peningkatan jumlah follower. Adapun urusan event, sepertinya nggak pantes juga dijadiin dalih buat mengklaim kalau anak OSIS udah berkorban banyak. Itu mah bukan pengorbanan, emang konsekuensinya kayak gitu, kok.

Stereotip anak OSIS #2 Jadi OSIS biar ada alasan bolos pelajaran

Saya inget banget dulu saya atau kawan saya sesama OSIS pasti kalap kalau tahu ada yang gibahin kami yang jarang di kelas karena alasan rapat atau prepare acara. Ada juga yang nyindir secara terang-terangan sih.

Tiap kali kami bikin surat izin meninggalkan kelas dengan stempel OSIS, satu atau dua pasti ada yang berseloroh, “Halah, alasan aja tuh biar nggak pelajaran.” Kami jelas tersinggung dan pastinya bakal murka, “Dasar nggak tahu diuntung. Kami ini rela ninggalin pelajaran demi apa? Demi kesukseskan acara sekolah kita tahu!”

Sungguh pernyataan apologis yang rasa-rasanya kok sangat memalukan. Meski memang ada beberapa izin yang bener-bener untuk kebutuhan acara, tapi akui saja, persentese izin yang murni buat prepare acara pasti jaul lebih sedikit dibanding izin yang dibuat-buat. Padahal rapat atau prepare-nya bisa dicukupkan di luar jam pelajaran. Tapi nggak tahu enak aja gitu kalau motong jam kelas. Apalagi kalau di jam yang gurunya nggak asik, ah merdeka rasanya~

Dan ini yang paling parah nih. Kadang malah nggak ada acara apa pun, cuma karena bosen dan males di kelas akhirnya bikin surat sendiri biar bisa ke kantor OSIS. Kalau nggak tidur-tiduran sambil main hape ya main PES di laptop yang tersedia di kantor.

Stereotip anak OSIS #3 Jadi OSIS biar punya pacar sesama pengurus

Meski sudah disepakati kalau dalam satu tubuh organisasi haram hukumnya saling cinta, tampaknya itu komitmen semu aja. Larangan ini lahir sebagai upaya untuk menjaga profesionalitas selama menjalankan organisasi. Tapi yang namanya perasaan, ditahan sakit, diloske kok nyalahin aturan.

Akhirnya bikinlah dalih baru, sesama pengurus OSIS boleh kok pacaran, asalkan hubungan mereka nggak kebawa sampai organisasi aja. Alhasil, ada lah beberapa yang kemudian menjalin tali kasih dengan sesama pengurus. Dan usut punya usut—terutama yang dari para cowok—pikiran tersebut sudah terpatri jauh-jauh hari sebelum dirinya resmi diterima. “Kayaknya pacaran sama sesama pengurus asik juga.”

Stereotip anak OSIS #4 Suka bikin razia padahal anak OSIS sendiri sering ngelanggar aturan

Kalau seandainya ada satu kata yang pas buat menggambarkan sosok anak OSIS, mungkin “nggatheli” adalah pilihan tepat.

Pasalnya begini. Anak OSIS itu kan sering bikin sidak. Dari mulai razia hape, kosmetik, rokok, sama hal-hal yang menurut aturan nggak boleh dibawa ke sekolahan. Kalau dicecar dengan pertanyaan, “Kalian kok tega sih sama temen sendiri?” Jawaban apologisnya pasti, “Tega nggak tega, ini kan upaya menegakkan aturan sekolah.”

Hassshhh sekarang mengaku saja wahai anak-anak OSIS di seluruh pelosok tanah air. Kalian sendiri sebenernya juga bawa hape, kosmetik, rokok, palu, arit, eh yang dua terakhir ini nggak ding. Cuma karena kebetulan kalian yang bikin acara, ya seolah-olah aja kalian nggak bawa barang-barang tersebut. Saya bocorin nih, hape atau rokoknya anak OSIS pas musim sidak begitu kalau nggak ditaruh di lemari kantor paling-paling ya sengaja nggak dibawa. Main aman, Bro, urusannya sama nama baik je.

Mungkin, itu empat dari sekian stereotip minor terhadap anak OSIS yang sebenarnya fakta dan harus diakui. Suka atau tidak. Untuk kawan-kawan OSIS lainnya yang ingin bikin pengakuan serupa, bisa lanjutkan tulisan ini di kolom komentar~

BACA JUGA Pemerintah Nerima Sumbangan Dana dari TikTok Padahal Dulu Sudah Ngeblok, Eh dan tulisan Aly Reza lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version