Hidup di Kendal itu serba nanggung karena banyak fasilitas publik yang prematur. Penataan alun-alunnya acakadut, nggak punya terminal bus yang “hidup”, pasar induk dengan status terkungkung, dan masih banyak lagi fasilitas publik lainnya yang dibangun namun tak berdenyut. Cuma satu fasilitas publik yang patut dibanggakan di Kendal, yang setidaknya menyelamatkan wajah Kendal dari pisuhan perantau atau pendatang yang tiba di Kendal, yaitu Stasiun Weleri.
Stasiun Weleri terletak di Desa Karangdowo, Kecamatan Weleri, Kabupaten Kendal. Stasiun ini jadi satu-satunya stasiun yang beroperasi dari total 4 stasiun yang ada di Kabupaten Kendal. Tiga stasiun lain yang nggak beroperasi adalah Stasiun Kaliwungu, Stasiun Kendal, dan Stasiun Kalibodri. Stasiun Weleri merupakan satu dari sekian banyak bangunan tua yang diremajakan agar tetap kokoh dan kuat.
Setahu saya, stasiun ini setidaknya disinggahi oleh 6 kereta api. Keenam kereta tersebut adalah Kamandaka, Kertajaya, Joglosemarkerto, Jayabaya, Dharmawangsa, Kaligung dengan tujuan mulai dari Jakarta, Purwokerto, Surabaya, Malang, dan kota-kota besar lainnya.
Meski merupakan stasiun kecil, Stasiun Weleri memiliki fasilitas yang cukup lengkap, ruang tunggu dan musala yang nyaman, serta toilet yang bersih. Selain itu ada banyak stopkontak yang terletak di pojokan, baik ruang tunggu loket maupun ruang tunggu di dalam stasiun.
Terlibat sengketa lahan
Ada yang menarik dari stasiun satu ini. Pada tahun 2018, tanah Stasiun Weleri pernah menjadi sengketa karena statusnya yang dianggap nggak jelas antara milik PT. KAI atau milik desa, terutama di area luar sekitaran stasiun. Warga setempat kemudian melakukan aksi demo karena perluasaan wilayah stasiun untuk kebutuhan parkir yang dianggap melanggar batas tanah milik desa.
Hingga kini persoalan tersebut tak pernah menemui titik terang. Terlebih ketika Pasar Weleri terbakar. Perkara ini kemudian menguap begitu saja tanpa ada penyelesaian yang konstruktif. Oleh karena itu, hingga saat ini, Stasiun Weleri belum memiliki fasilitas parkir yang memadai. Bahkan tak ada pagar yang mengelilinginya.
Terlepas dari itu, sebelum Pasar Induk Weleri terbakar, Stasiun Weleri mungkin jadi salah satu stasiun paling strategis di Jawa Tengah. Setiap penumpang yang turun di stasiun ini baik di pagi, siang, malam, maupun subuh, akan disambut dengan ramainya aktivitas ekonomi di pasar. Stasiun ini terletak di distrik paling padat di Kabupaten Kendal saat itu.
Penumpang yang turun di pagi hari menjelang siang, akan disambut dengan pedagang sayur dan aneka jajanan pasar yang bisa dibawa pulang sebagai buah tangan. Sementara mereka yang pulang tengah malam hingga dini hari bisa mampir ke angkringan atau pedagang soto yang ramai dikunjungi para penjual sayur dari berbagai daerah dataran tinggi seperti Bandungan, Temanggung, dan Wonosobo. Menyeduh teh atau kopi saset oplosan jagung sembari ngobrol menjadi momen yang biasa ditawarkan ketika turun di Stasiun Weleri.
Jadi lebih sepi ketika Pasar Weleri terbakar
Sayangnya romantisme dan suasana itu kemudian lenyap ketika Pasar Weleri terbakar. Stasiun Weleri terlihat lebih sering sunyi ketimbang ramai. Ibarat seseorang yang diam dan sedih sepeninggalan sahabat karibnya.
Walaupun demikian, Stasiun Weleri tetap menjadi pilihan bagi perantau dan pendatang. Stasiun ini jadi persinggahan bagi mereka yang ingin pergi ke daerah selatan seperti Sukorejo, Limbangan, Boja, atau Temanggung dan Wonosobo. Atau bahkan ke daerah barat seperti Gringsing yang masuk wilayah Kabupaten Batang.
Bagi mereka yang ingin ke Gringsing, Stasiun Weleri biasanya lebih dipilih oleh para pendatang atau perantau ketimbang Stasiun Pekalongan karena harus melalui Alas Roban yang terkenal angker dan gelap. Tak perlu khawatir jika tiba tengah malam atau dini hari, tak jauh dari stasiun terdapat Masjid Jami yang bisa menjadi tempat menunggu pagi, sebelum akhirnya menaiki bus ke tempat tujuan.
Stasiun Weleri memang jadi penyelamat wajah Kabupaten Kendal. Dengan fasilitas yang ia miliki, stasiun ini menyambut para pendatang dengan ramah dan mengantarkan para perantau dengan kenangan. Ia menjadi saksi dari pertemuan dan perpisahan yang pastinya sarat dengan perasaan emosional. Oleh karena itu, sudah semestinya masyarakat Kendal patut berbangga karena mereka masih punya fasilitas publik yang masih bisa diandalkan.
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Terminal Bahurekso Kendal, Hidup Segan Mati Tak Mau.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.