Stasiun TV Pengin Netflix dan YouTube Tunduk UU Penyiaran? Nggak Salah, tuh?

Menerka Alasan Alur Cerita Sinetron di Indonesia Banyak yang Absurd terminal mojok.co

Akhir-akhir ini saya sibuk sekali melakukan aktivitas di rumah yang sesungguhnya nggak penting-penting amat. Kegiatannya apalagi kalau bukan scrolling timeline. Begitu saya buka Twitter beberapa teman tampaknya lagi kesal dengan berita dua stasiun televisi yang mengajukan uji materi UU Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Teman saya itu muntab betul membaca beritanya, sampai-sampai me-retweet dengan komentar yang agak menohok. Saya cekikikan saja membacanya. Bukan karena tweet-nya nggak menarik, melainkan saya merasa ada yang janggal dari pengajuan uji materi UU Penyiaran ke MK itu.

Apalagi duduk perkaranya karena dua televisi tersebut menilai ada perlakuan berbeda antara pihaknya dengan Netflix dan YouTube. Gampangnya mereka ini merasa nggak adil gitu, masa televisi mesti tunduk UU Penyiaran, sedangkan dua platfrom itu tidak. Halah! Iri bilang, Bos~

Saya bertambah ngakak lagi, saat tahu televisi yang melaporkan itu RCTI dan INews TV. Dua-duanya tergabung dalam satu naungan MNC Group yang bosnya sudah sangat kesohor. Yak, siapa lagi kalau bukan Harry Tanoesoedibjo. Hadeeh, dua televisi itu mbok ya ngaca dulu ngapa sebelum main ngadu begitu aja. Memangnya selama ini mereka-mereka tuh, tunduk sama UU Penyiaran? Kok berani bilang Netflix dan YouTube harus tunduk?

Beginilah kalau sudah iri, mereka nggak ngaca dulu, pantes tidaknya nggak dipertimbangkan dulu, pokoknya main asal mengadu saja. Udah seperti kakak yang ngadu ke ibunya, sebab adiknya dibelikan es krim, sedangkan dia tidak. Padahal MNC Group sering ngaco dan nggak taat sama UU Penyiaran.

Kita tentunya ingat, beberapa kali televisi besutan Harry Tanoesoedibjo itu nggak patuh terhadap UU Penyiaran. Bahkan nih ya, mereka ini acap kali curi-curi kesempatan biar nggak kena pasal UU Penyiaran. Di sisi lain, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) lamban banget ngurusin yang begituan.

MNC Group pernah beberapa waktu mendapatkan teguran—iya cuma teguran—atas masifnya tayangan iklan Perindo, partai politik yang juga milik Harry Tanoesoedibjo. Intensitas penayangan iklan Perindo di televisi-televisi MNC Group berhasil membuat sebagian besar penikmat televisi hafal betul lirik marsnya. Jujur saja, kamu-kamu juga hafal kan?

Padahal televisi harus menjaga netralitasnya. Hal ini diatur dalam Pasal 36 ayat 4 UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Hayo loh… apakah ini nggak termasuk melanggar? Sudah tahu melanggar dan diberi teguran, pihak MNC Group tetap ngeyel.

Mars Perindo terus didendangkan sejak 2015, hingga akhirnya KPI muntab dan ngasih sanksi ke MNC Group pada tahun 2017. Terhitung kurang lebih tiga tahun kita habiskan buat nonton televisi dan dicekoki berlatih menyanyikan mars Perindo.

Tak tanggung-tanggung, jika ditilik lagi kebelakang, bukan cuma perihal mars Perindo, MNC Group sering juga tak mematuhi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Luar biasa MNC Group ini, udah melanggar UU Penyiaran, eh nggak patuh sama P3SPS pula.

Fyi, P3SPS ini semacam pedoman buat stasiun televisi dalam melakukan aktivitas penyiaran. Fungsinya buat ngatur hal-hal yang nggak diatur dalam UU Penyiaran. Jadi P3SPS ini lebih detail.

Nah, MNC Group ini sering banget menyepelekan P3SPS. Sepanjang 2018-2019 saja, KPI banyak memberi catatan buat MNC Group, terutama televisi-televisinya. Mulai dari terlalu sering memutar ulang program acara dan berita, yang jumlahnya tak sedikit.

Sehingga, hal ini berpotensi membuat publik yang nonton kebingungan. Apalagi kalau itu program berita. Lucu mereka tuh, beritanya kapan ditayanginnya kapan. Alhasil beritanya jadi nggak aktual lagi.

Kemudian soal program Hotman Paris Show. Acara tersebut tayang di INews TV yang juga ditegur KPI karena menampilkan pertengkaran artis. Program tersebut juga kedapatan telah mengeksploitasi perempuan di layar kaca.

Lewat contoh-contoh itu saja, kita sudah bisa menilai bahwa tindakan RCTI dan INews TV yang meminta Netflix dan YouTube tunduk UU Penyiaran, cuma iri saja. Kalau mau mengadu, perbaiki dulu kualitas tayangan televisinya, dong! Saya curiga, jangan-jangan mereka pengin Netflix dan YouTube tunduk UU Penyiaran juga, supaya pemerintah sibuk sehingga pengawasan terhadap mereka menjadi lebih longgar. Terbaca caramu, Kemmy~

Ajaibnya—untuk tak menyebutnya aneh—aduan itu ditanggapi pula oleh anggota DPR. Begini jawaban dari salah seorang anggota DPR, “Bagi saya semua gugatan dari MNC Group akan selesai jika revisi UU Penyiaran selesai,” kata anggota Komisi Satu DPR RI dari Fraksi NasDem, Muhammad Farhan. Saya mengutipnya dari CNN Indonesia.

Lantas, di mana letak ajaibnya? Kalau kamu jeli, pernyataan beliaulah ajaib itu sendiri. Sebuah aduan dianggap akan selesai jika revisi UU Penyiaran rampung. Ajaib bukan? Tanpa proses dan prosedur panjang, simsalabim, abrakadabra, revisi UU Penyiaran selesai, masalah juga rampung.

Eitsss, tunggu dulu, Bosque. Nggak sesepele itu masalahnya. Memangnya yakin revisi UU Penyiaran nggak bermasalah? Nggak cacat? Nggak janggal? Nggak kurang duitnya? Kalau revisi UU Penyiaran tanpa ada sesuatu yang aneh dan keliru sih, boleh-boleh saja dilanjut.

Cuma, revisi UU Penyiaran itu sudah ngawur bahkan sejak dalam usulan apalagi dalam praktiknya. Coba kamu renungkan sendiri, silakan berkontemplasi. UU Penyiaran hadir untuk mengawasi lembaga penyiaran, baik itu televisi maupun radio. Bukan dunia maya.

Netflix dan YouTube adalah media yang sifatnya konvergensi. Semua pihak atau orang berhak masuk di dalamnya. Keduanya mempunyai standar dan pedoman sendiri dalam menayangkan konten. Akan sangat merepotkan apabila pemerintah ikut campur untuk mengaturnya.

Misalnya nih, sebelum menggunakan Netflix kita harus bayar dulu. Sudah sewajarnya, ketika kita telah membayarnya atau langganan, kita berhak menikmati seluruh kontennya. Demikian juga pada YouTube yang punya aturan sendiri. Saya pernah hendak nonton video di YouTube disuruh verifikasi umur terlebih dahulu.

Sementara televisi dan radio masuk kategori media konvensional. Keduanya memakai frekuensi publik, sehingga masyarakat luas bisa menyaksikan televisi tanpa menguras dompet. Oleh sebab itu, pemerintah perlu mengatur lalu lintas frekuensi publik ini, supaya hak-hak publik untuk mendapatkan informasi terpenuhi.

Sayangnya, media daring lebih laris ketimbang media konvensional. Televisi pun akhirnya jengkel, merasa diperlakukan tidak adil, dan menuntut supaya platfrom daring seperti Netflix dan YouTube tunduk pada UU Penyiaran. Alih-alih mereka memperbaiki kualitas tayangannya.

BACA JUGA Nggak Cuma YouTube dan Netflix, Ini Media yang Juga Harus Diawasi KPI dan tulisan Muhammad Arsyad lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version