Starlink Biasa Saja, yang Indah-indah Hanya Imajinasi Netizen Indonesia

Starlink Biasa Saja, yang Indah Hanya Imajinasi Netizen Indonesia (Unsplash)

Starlink Biasa Saja, yang Indah Hanya Imajinasi Netizen Indonesia (Unsplash)

Sejak resmi masuk di Indonesia pada April 2024 lalu, Starlink menjadi topik perbincangan hangat masyarakat Indonesia. Di media sosial, televisi, hingga pasar dan warung kopi, saya nyaris selalu mendengar orang membicarakan Starlink. Mayoritas masyarakat Indonesia tentu saja menyambut baik kehadirannya dan memberikan banyak pujian pada perusahaan milik Elon Musk tersebut.

Starlink dianggap sebagi juru selamat yang akan membebaskan masyarakat Indonesia dari buruknya layanan internet dalam negeri. Bahkan, tidak sedikit orang Indonesia yang sudah membayangkan bisa berjualan paket internet murah skala RT/RW hanya dengan membeli satu perangkat. 

Apa benar kehadiran Starlink akan memiliki efek seindah itu? Atau, jangan-jangan semua yang indah-indah hanya imajinasi netizen Indonesia saja. 

Starlink biasa saja

Ada banyak berita dan video di media sosial yang membahas dan mereview perangkat Starlink. Banyak di antaranya mengatakan jika Starlink memiliki teknologi canggih karena sudah menggunakan satelit dan tidak membutuhkan kabel dan BTS lagi. Oleh karena itu, ia mampu memberikan kecepatan internet yang super kencang (baca: maksimal 300Mbps, rata-rata 200Mbps). 

Padahal, kecepatan 300Mbps itu sebenarnya biasa saja. Indihome (teknologinya Masih berbasis kabel fiber optic) juga ada yang menawarkan paket internet dengan kecepatan maksimal 300Mbps. Selain itu, teknologi satelit Starlink itu tidak 1:1 ya. 

Artinya, kecepatan download dan upload-nya berbeda. Kecepatan download-nya antara 20-200Mbps, sementara kecepatan upload-nya hanya 5-20Mbps atau tidak lebih baik dari kecepatan internet yang ditawarkan fiber optic. 

Biaya sewa masih mahal

Ada banyak warga Indonesia yang berkomentar di media sosial jika Starlink bisa digunakan ramai-ramai. Misalnya menguntungkan untuk bisnis rumahan skala RT/RW. Tolong diingat, Starlink bukan Menkominfo yang tidak tahu kalau rakyatnya terbiasa membuka situs ilegal dengan VPN

Starlink membatasi perangkat yang bisa digunakan untuk mengakses layanan internet mereka. Oleh karena itu, ada beberapa paket berlangganan yang ditawarkan dengan harga Rp900 ribu hingga Rp68 juta, tergantung mau pilih yang mana. Semakin mahal, semakin cepat dan nikmat. Uang adalah segalanya. 

Harga paket Starlink yang paling murah (residential) adalah Rp990ribu (saat ini masa promo dijual Rp750 ribu) dan harga perangkatnya Rp8,9juta (periode promo Rp4,8juta). Angka tersebut tentu masih mahal sekali untuk mayoritas orang Indonesia yang membeli paket internet bulanan Rp200 ribu saja sambatnya setengah mati. 

Kalau kita membandingkan dengan paket yang ditawarkan Indihome atau brand lain yang masih mengandalkan teknologi fiber optic, tetap masih murah yang fiber optic. Indihome misalnya, menjual paket internet dengan kecepatan maksimal 300Mbps dengan harga Rp880 ribu. Untuk biaya perangkat dan pemasangan tidak sampai Rp1 juta. 

Untuk saat ini, internet fiber optic di Indonesia belum akan mati oleh kehadiran internet satelit Starlink. Kaum mendang-mending masih akan memilih harga yang lebih murah.  Namun, hal tersebut bisa berubah jika pemerintah menggelar karpet merah (memberi kemudahan) kepada Starlink. 

Starlink sudah masuk di Indonesia sejak lama

Meskipun masyarakat Indonesia baru heboh akhir-akhir ini, sebenarnya kehadiran Starlink di Indonesia sudah lama. Sejak 2022, Starlink sudah melayani masyarakat Indonesia di pedalaman melalui Telkomsat, di bawah naungan Telkomsel

Pemerintah awalnya mengizinkan Starlink beroperasi di Indonesia dengan model bisnis B2B (business to business) atau transaksi bisnis antara satu perusahaan ke perusahaan lain (dalam hal ini Starlink ke Telkomsat di bawah naungan Telkomsel). 

Teknologi Starlink yang menggunakan satelit orbit rendah (LEO) digunakan back-up jaringan selular yang sudah ada (fiber optic) dan juga dioperasikan di daerah pedalaman yang belum memiliki infrastruktur telekomunikasi dan atau area blind spot. 

Namun, model bisnis B2B tersebut tiba-tiba saja diubah menjadi B2C. Sejak 2024, Starlink resmi masuk Indonesia dengan model bisnis B2C yang tidak membutuhkan perantara lagi, melainkan bisa langsung ke customer atau jualan eceran. Mengapa perubahan tersebut terjadi? Hanya Tuhan dan negara yang tahu. 

Karpet merah untuk Starlink berbahaya bagi perusahaan telekomunikasi dalam negeri

Jared Diamond dalam bukunya “Guns, Germ, and Stell” menulis bahwa dalam sejarah perkembangan manusia, peradaban yang maju selalu memusnahkan peradaban yang tidak maju. Perusahaan skala internasional yang memiliki teknologi dan kemampuan finansial lebih tinggi bisa menghancurkan perusahaan dalam negeri jika pemerintah tidak memberikan regulasi yang membuat persaingan keduanya seimbang. 

Persaingan bisnis itu perlu, kemajuan teknologi tak bisa dibendung. Kehadiran Starlink bisa memotivasi provider dalam negeri untuk berinovasi dan memberikan layanan yang lebih baik. Meminjam istilah netizen “Biar Telkomsel intropeksi diri, tidak monopoli pasar dan semena-mena kasih harga mahal, tapi tidak memberi kualitas layanan yang setimpal”. 

Kehadiran Starlink memang bisa membuat persaingan bisnis telekomunikasi lebih menantang. Mungkin juga hal-hal indah yang dibayangkan netizen terjadi (internet lebih cepat dan murah). Akan tetapi, tanpa regulasi yang jelas dari pemerintah, yang terjadi bisa sebaliknya.

Starlink yang memiliki kemampuan finansial di atas rata-rata dan mendapat dukungan teknologi yang mumpuni justru lebih berpeluang untuk memonopoli pasar dan melakukan predatory pricing. Jika ia memonopoli pasar, harapan masyarakat Indonesia memiliki layanan internet cepat dan murah malah akan berakhir sebatas imajinasi. Setelah kita tergantung dengan Starlink, suka-suka mereka mau kasih harga berapa? Demo pun tidak bisa, ha wong mereka bukan perusahaan milik negara. 

Harus memiliki NOC di Indonesia

Pemerintah dianggap memberikan Starlink karpet merah lantaran saat ini belum terlihat memiliki NOC (Network Operation Center) di Indonesia. Layanan customernya saja masih ke kantor pusat. Padahal NOC ini penting untuk mengawasi, memantau, dan mengamankan jaringan. Jika tidak ada NOC di Indonesia, Starlink akan mengancam kedaulatan siber Indonesia.

Bahkan, spirit Menkominfo untuk memerangi judi online akan sia-sia. Tanpa NOC, semua pengguna Starlink bisa judi, nonton film bokep, dan melihat semua situs yang disensor pemerintah, loh. Bahkan, bisa digunakan untuk tindakan terorisme. 

Tanpa kehadiran Starlink saja banyak data pribadi warga Indonesia bocor. Apalagi kalau ada Starlink tanpa keamanan? Yo remuk redam kita, Ges. 

Selama ini, pemerintah beralasan masuknya Starlink akan membantu masyarakat pedalaman memiliki akses internet cepat. Misalnya, membantu puskesmas di Ambon, dan juga sekolah-sekolah di Papua yang belum tersentuh jaringan telekomunikasi. Ia digambarkan sebagai pahlawan yang akan menyelamatkan hidup warga pedalaman dari nihilnya akses internet. Namun, bukankah seharusnya tugas negara untuk memastikan infrastruktur telekomunikasi merata? 

Mengapa negara seolah melepaskan tanggung jawabnya kepada perusahaan swasta dan meminta masyarakat mencari solusi hidup sendiri? Butuh internet cepat di pedalaman? Kan sudah ada Starlink, silakan beli. Lalu, infrastruktur telekomunikasi yang seharusnya dibangun, sekalipun uangnya sudah dikorupsi, tidak diteruskan, dan ditinggalkan begitu saja. 

Pada akhirnya, tetap rakyat yang menjadi mangsa utamanya, mau internet cepat? Gampang saja asal ada uang. Kalau kamu miskin ya nangis aja di pojokan.

Penulis: Tiara Uci 

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Dunia Ini Sebenarnya Tidak Terlalu Butuh Sosok Elon Musk

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version